²©²ÊÍøÕ¾

Sudah Darurat! PETI Harus Dituntaskan Secara Permanen

Pratama Guitarra, ²©²ÊÍøÕ¾
28 July 2022 17:50
Tambang Emas Ilegal di Sulteng Longsor. (AP/M. Taufan)
Foto: Tambang Emas Ilegal di Sulteng Longsor. (AP/M. Taufan)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pertambangan Tanpa Izin (PETI) semakin marak dan perlu dituntaskan secara tuntas dan permanen. Maraknya kegiatan PETI salah satunya didorong oleh harga komoditas yang sedang tinggi seperti batu bara dan mineral.

Berdasarkan data Ditjen Minerba Kementerian ESDM, hingga kuartal III 2021 PETI mencapai 2.700 lokasi. Sebanyak 2.645 lokasi PETI Mineral dan 96 lokasi PETI batubara. Aktivitas PETI terbanyak berada di Sumatera Selatan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menegaskan bahwa penyelesaian masalah PETI harus total football. Governance dari perusahaan, hubungan perusahaan dengan masyarakat sangat berhubungan dengan maraknya kegiatan PETI karena akarnya adalah kesenjangan sosial.

"Yang kami harapkan adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan berkah dari lonjakan harga (komoditas), karena sangat krusial bagi cadangan sumber daya minerba dan investasi," kata Hendra dalam Webinar Berantas Tuntas Pertambangan Tanpa Izin" yang digelar Kamis (28/7)

Menurut dia, PETI seringkali marak terjadi ketika ada lonjakan harga komoditas. Disparitas harga tinggi memberikan peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak kegiatan di titik pertambangan tanpa izin di sektor mineral. Meski banyak di konsesi penambangan mineral dibanding batu bara, namun nilai kerugian lebih masif di batu bara. "PETI tidak hanya merugikan penambang, tapi juga negara dan masyarakat," kata dia.

Meski dalam beberapa bulan terakhir harga batu bara melandai, praktis sejak Oktober 2021 lonjakan harga sudah diatas rata-rata. Dengan kondisi harga yang terjadi saat ini dikhawatirkan kegiatan PETI akan makin marak ke depannya.

"Jadi perlu diselesaikan secara permanen. Ini bukan hanya keinginan pemerintah saja, tapi pelaku usaha agar kegiatan PETI bisa diselesaikan secara permanen," kata Hendra.

Antonius Agung Setiawan mengatakan bahwa Kementerian ESDM tidak menutup mata terhadap merebaknya PETI, meski aturannya hanya ada di UU No. 3/2020. "Hal-hal berupa formalisasi supaya kegiatan pertambangan ini legal dan berpihak pada rakyat akan terus diupayakan dalam rangka meningkatkan kemakmuran bangsa dan negara," kata dia.

Antonius mengatakan, PETI disebabkan adanya keterbatasan lapangan kerja, desakan ekonomi, tidak diperlukan syarat pendidikan, tergiur hasil yang instan, dan mudah dikerjakan. "Pelaku PETI umumnya merupakan masyarakat yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan pekerjaan di bidang formal," kata dia.

Menurut Antonius, strategi pemerintah untuk menangani PETI tentunya berlandaskan hukum pertambangan tanpa izin, yakni pasal tindak pidana PETI adalah UU No. 3/2020 jo UU No. 4/2009 pasal 158, 160, 161. Tidak ada dasar hukum lagi selain yang ada di UU tersebut. "Amunisi dari sisi regulasinya sangat kurang menurut saya. Penafsiran kami adanya kegiatan PETI ini masuk ranah pidana," tegas dia.

Antonius mengungkapkan jika dibandingkan dengan sektor kehutanan atau kelautan, PETI ini sangat berbeda. Di kehutanan ada perangkat untuk mengamankan hutan, demikian juga wilayah laut. "UU No. 3/2020 bukan UU kewilayahan, tapi UU Pengelolaan untuk mengusahakan minerba," tukasnya

Strategi dan upaya penanganan PETI yang dilakukan Kementerian ESDM, menurut Antonius, dengan melakukan penataan wilayah pertambangan dan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, meningkatkan peran PPNS dalam pembinaan terhadap pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan kegiatan PETI oleh inspektur tambang, hingga upaya formalisasi menjadi wilayah pertambangan rakyat dan IPR.

Pengamat Hukum Sumber Daya Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi mengatakan PETI mempunyai karakter khusus, bekerja secara individu bahkan korporasi. Korporasi modusnya itu menambang di luar WIUP-nya karena sudah habis sumber cadangannya.

"Yang hari ini menjadi masalah sosial adalah yang dilakukan kelompok kecil sehingga ada 200-ribu orang yang potensial masuk penjara," kata dia.

Ada dua faktor yang menurut Redi menjadi penyebab dari PETI, yakni faktor sosial dan hukum. Faktor sosial adalah di mana kegiatan sudah menjadi pekerjaan turunan karena dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat setempat. Terdapatnya hubungan yang kurang hamornis antara pertambangan resmi atau berizin dan masyarakat setempat. "Terjadinya penafsiran keliru tentang reformasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa batas," kata dia.

Faktor penyebab PETI secara hukum, akibat dari ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan.

Kelemahan penerapan peraturan di bidang pertambangan tercermin dalam kekurangberpihakan kepada kepentingan masyarakat luas. "Selain itu, tidak adanya sanksi terhadap pertambangan resmi atau berizin yang tidak memanfaatkan wilayah usahanya (lahan tidur). Kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan," tegas Redi.

Dia menekankan pentingnya mendorong pemberantasan PETI secara terus menerus karena isu penyelesaiannya sangat penting untuk pertambangan nasional. "Satgas perlu dibentuk karena menjadi bentuk keseriusan negara sehingga bisa mendapatkan penerimaan negara dari penambangan legal. SDA adalah karunia Tuhan bagi masyarakat yang ada di sekitar wilayah tambang," kata dia.


(pgr/pgr) Next Article RI Darurat Pertambangan Tanpa Izin, Ini Sebabnya..

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular