
Resesi Global 2023, RI 'Ketularan' Atau Tidak?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Tanda-tanda resesi global 2023, semakin kuat seiring dengan rencana Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan negara-negara di dunia.
Managing Director IMF Kristalina Georgieva menyatakan risiko resesi dan ketidakstabilan keuangan terus meningkat.
Menurutnya, prospek ekonomi global 'gelap' mengingat guncangan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, serangan Rusia ke Ukraina, dan bencana iklim di semua benua. Hal itu bisa menjadi lebih buruk.
Pemangkasan proyeksi IMF untuk ekonomi dunia akan diumumkan hari ini, Selasa (11/10/2022) pada pukul 20.00 WIB atau 09.00 waktu Washington DC.
Lantas, bagaimana dengan nasib Indonesia? Apakah Indonesia juga akan mengalami resesi?
Mantan menteri keuangan M.Chatib Basri mengatakan ekonomi Indonesia tidak akan terperosok hingga membukukan pertumbuhan negatif.
Dia yakin Indonesia akan tetap tumbuh, tetapi pertumbuhannya melambat.
"Jadi, misalnya konsumsi growth-nya 5 koma sekian jadi 4 koma. Itu mirip waktu sama tapering-lah," ujar Chatib dalam dialog bersama ²©²ÊÍøÕ¾, dikutip Senin (10/10/2022).
"Waktu taper tantrum kita masih bisa tumbuh 5,8% lho, turun dari 6,5%. Jadi, akan ada slowdown," tambahnya.
Dengan demikian, Chatib percaya ekonomi Indonesia tidak akan sampai krisis ataupun resesi.
"Trennya itu slowdown. Kalau orang beranggapan ada ekonom kita akan krisis, saya mungkin gak beranggapan akan begitu. Tapi slowdown akan iya," tegasnya.
Minggu ini, dunia dihadapkan dengan perang yang semakin intens antara Rusia dan Ukraina, seiring dengan bergabungnya pasukan Belarusia dalam perang tersebut.
Di sisi lain, utang Argentina membengkak hingga lebih dari Rp515 ribu triliun, jika dirupiahkan dengan kurs Rp 15.290 per dolar AS.
Negara ini sudah bersiap menggunakan sistem barter dalam menghadapi krisis utang tersebut.
Di Indonesia, salah satu tanda krisis yang mencuat adalah isu PHK massal.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Nurjaman blak-blakan soal adanya PHK massal sudah terjadi saat ini.
"Kami tidak ingin gelombang PHK terjadi. Tapi, memang sekarang sudah ada. Sudah ada riak. Biasanya, dimulai dengan memutus karyawan kontrak dulu, baru kemudian PHK karyawan tetap. Ini harus dicegah, jangan sampai jadi gelombang PHK. Karena efisiensi itu memang tidak bisa dihindari," kata Nurjaman.
(haa/haa) Next Article Apakah Dunia Segera Jatuh ke Lubang Resesi? Baca Ini!