
Gawat Raja Salman, Amerika Diminta Hukum Arab Saudi! Kenapa?

Jakarta, CNCB Indonesia - Seruan agar Amerika Serikat (AS) menghukum Arab Saudi muncul. Ini digaungkan anggota parlemen Paman Sam.
Padahal selama ini negeri Raja Salman bin Abudulaziz dikenal sebagai sekutu dekat Washington. Apa yang terjadi?
Hal tersebut akibat langkah OPEC+, yang memangkas produksi minyak sebesar dua juta barel per hari. Arab Saudi adalah pemimpin OPEC dan OPEC+ merupakan gabungan Arab Saudi cs dengan pengekspor minyak bumi lain di luar OPEC, termasuk Rusia.
Keputusan pemangkasan akan berlaku November. Langkah ini dirancang untuk memacu pemulihan harga minyak mentah, yang telah turun menjadi sekitar US$ 80 per barel, setelah sempat mencapai US$ 120 per barel pada awal Juni.
Namun ini membuat Gedung Putih meradang. AS mengatakan Arab Saudi berpandangan sempit sehingga akan menyakitkan bagi negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Apalagi inflasi sejumlah negara mengalami kenaikan akibat harga energi. AS sendiri mencatat inflasi mendekati level tertinggi dalam 40 tahun.
Bukan Tiba-Tiba
Kekecewaan AS terhadap sikap itu tidak datang secara tiba-tiba. Negeri itu telah berkali-kali meminta agar produksi minyak digenjot untuk mengatasi krisis energi dan menurunkan harganya di hilir.
Selain itu, Presiden AS Joe Biden juga berkepentingan untuk menjaga harga bahan bakar jelang pemilihan paruh waktu pada bulan depan. Dalam sebuah pernyataan, Gedung Putih mengatakan Biden kecewa dengan keputusan 'picik' OPEC+ untuk memangkas kuota produksi sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari serangan Putin ke Ukraina.
Biden pun telah mengarahkan Departemen Energi untuk melepaskan 10 juta barel lagi dari cadangan minyak strategis bulan depan.
Sebelumnya, sekitar tiga bulan yang lalu, Biden juga tiba di Arab Saudi dengan misi mendesak negeri itu untuk meningkatkan produksi dalam upaya membantu menurunkan harga bahan bakar. Perjalanan itu merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan hubungan diplomatik dengan Riyadh, yang runtuh setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018.
Namun, beberapa minggu kemudian, OPEC+ hanya meningkatkan produksi minyak sebesar 100.000 barel per hari. Ini secara luas ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Biden.
Setop Jual Senjata AS ke Arab Saudi?
Sementara itu, senator AS Richard Blumenthal dan anggota Kongres Ro Khanna menuding Arab Saudi berkolusi dengan Rusia. Hasil keputusan OPEC+Â diyakini akan meningkatkan pendapatan energi Moskow.
Keduanya meminta penjualan senjata AS ke Riyadh dihentikan. UU bahkan diusulkan ke Senat dan DPR AS.
"Amerika seharusnya tidak memberikan kendali tak terbatas atas sistem pertahanan strategis seperti itu kepada sekutu musuh terbesar kita, pemeras bom nuklir (Presiden Rusia) Vladimir Putin," tegas mereka dalam sebuah pandangan yang ditulis media Politico, dikutip media RT, Selasa (11/10/2022).
Hal sama juga dikatakan Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Bob Menendez. Ia pun meminta pemerintah AS untuk membekukan semua aspek kerjasamanya dengan Arab Saudi.
"Tidak ada ruang untuk memainkan kedua sisi konflik ini," katanya.
"Tidak akan memberi lampu hijau kerjasama dengan Riyadh sampai Kerajaan menilai kembali posisinya sehubungan dengan perang di Ukraina," tegasnya.
Senator lain Chris Murphy, dari negara bagian Connecticut, juga mengatakan akan ada konsekuensi yang di dapat Arab Saudi. Mengutip CNN, ia mengungkit pembunuhan jurnalis Jamal Ahmad Khashoggi yang diyakini pelapor PBB, melibatkan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS).
"Pasti ada konsekuensi untuk itu. Apakah itu mengangkat kekebalan kartel atau apakah itu memikirkan kembali kehadiran pasukan kita di sana, hubungan keamanan kita, saya hanya berpikir inilah saatnya untuk mengakui bahwa Saudi tidak memperhatikan kita," tegasnya.
"Kita akan mengetahui ketika chip turun, ketika ada krisis global, apakah Saudi akan pilih kami daripada Rusia," tambah Murphy.
(sef/sef) Next Article Sanksi Arab Saudi, Biden Setop Pengiriman Senjata