
Boeing Tanggung Jawab! Babak Baru Pilu di Sidang 737 MAX AS

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kasus kecelakaan pesawat Boeing memasuki babak baru. Para keluarga korban kecelakaan Boeing 737 MAX meminta hakim federal untuk menjatuhkan sanksi yang lebih keras pada perusahaan kedirgantaraan Amerika Serikat (AS) tersebut.
Beberapa kerabat bersaksi dengan air mata selama sidang tiga jam pada Kamis di Fort Worth, Texas. Salah satunya adalah Catherine Berthet, di mana putrinya, Camille, tewas dalam penerbangan Ethiopian Airlines Maret 2019.
Ethiopian Airlines jatuh setelah kecelakaan Lion Air Oktober 2018 di Indonesia. Kedua kecelakaan itu merenggut 346 nyawa dan menyebabkan pesawat MAX di-grounded secara global selama lebih dari satu setengah tahun.
"Boeing harus bertanggung jawab, ini jelas. Tidak ada yang ditangkap atau didakwa," kata Berthet di pengadilan, mengutip AFP, Jumat (27/1/2023).
Keluarga korban menantang perjanjian penangguhan penuntutan (DPA) DOJ dengan Boeing. Ini mengharuskan raksasa penerbangan itu membayar denda US$2,5 miliar (Rp37,3 triliun) dan restitusi sebagai ganti kekebalan dari tuntutan pidana atas tuduhan menipu pemerintah selama sertifikasi MAX.
DPA, yang diumumkan pada Januari 2021, tampaknya menutup pintu penuntutan pidana terhadap Boeing dan pimpinan senior. Sehingga kerabat para korban meminta hakim federal untuk merombak penyelesaian pidana AS tersebut.
Kerabat para korban pun mulai menantang DPA pada tahun 2021 dan pekan lalu, memenangkan perintah dari Hakim Distrik AS Reed O'Connor yang meminta Boeing hadir pada Kamis untuk dakwaan dalam kasus pidana tersebut.
Sidang Kamis dimulai sebagai dakwaan formal, di mana pengacara Boeing mengajukan pembelaan "tidak bersalah" atas DPA tersebut. Setelah itu, sekitar selusin kerabat dan perwakilan hukum mereka berpidato dengan emosional di pengadilan.
Tuntutan mereka termasuk agar O'Connor menunjuk pengawas independen untuk mengawasi DPA. Sementara pengacara DOJ menentang perubahan perjanjian tersebut.
O'Connor meminta informasi tambahan dari pemerintah. Dia mengatakan akan meninjau materi dari para pihak sebelum mengambil keputusan.
Dalam pembukaan perjanjian pada Januari 2021, DOJ menggambarkan DPA sebagai penegakan keras atas perilaku "penipuan" Boeing terhadap regulator Administrasi Penerbangan Federal selama sertifikasi MAX.
Diketahui perusahaan berusaha menghilangkan fakta-fakta kunci tentang Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver (MCAS), sebuah sistem penanganan penerbangan yang tidak berfungsi dengan baik pada kedua kecelakaan tersebut.
DPA membebaskan kepemimpinan Boeing. Ini menyimpulkan kesalahan Boeing tidak "meresap" atau "difasilitasi oleh manajemen senior", menurut DPA.
Tetapi keluarga menolak keabsahan perjanjian tersebut, dengan alasan dalam laporan hukum bahwa imunisasi Boeing dari penuntutan harus dicabut karena DOJ melanggar Undang-Undang Hak Korban Kejahatan AS, yang mengharuskan pemerintah untuk berunding dengan mereka sebelum menandatangani perjanjian.
(sef/sef) Next Article AS Denda Boeing Rp 3 Triliun, Buntut Kecelakaan Maut Lion Air