
Bos Hotel Teriak, Marak Staycation di Kos-kosan & Apartemen

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Maraknya fenomena turis di kota sendiri alias staycation di apartemen maupun kos-kosan bertarif harian membuat para pengusaha hotel menjerit. Pasalnya, penyewa apartemen maupun kost tersebut tidak membayar pajak maupun izin mengoperasikan hotel.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Iwantono mengatakan, pihaknya berharap agar aparat pemerintah daerah khususnya, untuk bisa menertibkan hal-hal semacam itu.
"Kita mengharapkan itu ditertibkan, jangan mereka tanpa izin hotel tapi beroperasi seperti hotel," kata Iwantono kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Selasa (7/2/2023).
Iwantono menyebut, dengan adanya apartemen dan kost yang disulap jadi seperti hotel, justru tak membawa keuntungan bagi pemerintah, karena tidak ada pajak yang disetorkan.Â
"Itu tentu pemerintah juga nggak diuntungkan karena nggak ada pajak, nggak ada perizinan sementara hotel-hotel yang taat kepada perizinan, taat bayar pajak malah dirugikan," ujarnya.
Untuk hotel non bintang atau hotel kelas melati, katanya, paling banyak mengalami tekanan dari praktik non-hotel tersebut. Hotel non bintang saat ini okupansinya masih berkisar di antara 30%. Jika itu terus dibiarkan, menurut dia, bisnis hotel tersebut akan menjadi sulit.
"Hotel bintang 1 ke bawah sekarang ini banyak tekanan dari apartemen yang disewakan secara harian atau bahkan kost jam-jaman, yang ini saya kira, itu aneh ya," tuturnya.
"(Hal itu) sangat terasa. Kan misalnya, yang biasa nginep di hotel sekarang, nggak nginep di hotel lagi. Ya itu dampaknya sudah pasti okupansi kita mandek bahkan bisa turun," tambah dia.
Iwantono membenarkan alasan utama terjadinya persaingan antara hotel dengan non-hotel ini adalah karena persaingan harga.
Dari harga yang begitu murah, ditambah para penyewa apartemen ataupun kost juga tidak memiliki izin dan membayar pajak, sedangkan untuk hotel dikenakan pajak agar bisa mengoperasikan hotelnya.
"Ya harganya jauh lah. Misalnya, (harga sewa apartemen) satu jam Rp 100 ribu, kan pasti orang ke sana, kalau hotel biasa yang kelas melati kan Rp 250 ribu. Ya itu bukan persaingan lagi, tapi itu saling membunuh," tuturnya.
Selain itu, Iwantono menyebut, dengan adanya non-hotel yang beroperasi di wilayah pemukiman, itu tentu juga akan mengganggu penduduk setempat. Oleh sebab itu, ia meminta kepada pemerintah agar segera menertibkan praktik operasi non-hotel karena sangat merugikan banyak pihak.
"Jangan hanya hotel resmi saja yang dikejar-kejar, tapi yang tidak tercatat itu dibiarkan menjamur," pungkasnya.
(dce/dce) Next Article Parah! Apartemen 'Pembunuh' Hotel Ternyata Tak Bayar Pajak