²©²ÊÍøÕ¾

Tak Jalur Hukum, Ini Jurus PLN Sukses Negosiasi dengan Swasta

Verda Nano Setiawan, ²©²ÊÍøÕ¾
15 February 2023 21:40
PLN
Foto: dok PLN

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kesuksesan PT PLN (Persero) melakukan renegosiasi kontrak dan penundaan jadwal operasi sejumlah pembangkit listrik dengan perusahaan listrik swasta alias Independent Power Producer (IPP) rupanya bukan melalui jalur hukum.

Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo.

Darmawan bercerita, kontrak jual beli ketenagalistrikan dari penyedia listrik swasta melalui sistem kontrak Take or Pay (TOP) sejatinya sangat kuat alias powerful. Ini berkaca dari kekalahan pemerintah dan PLN yang sempat melakukan renegosiasi secara legal di arbitrase internasional terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas pada tahun 2000 silam.

"Dengan terpaksa kita bayar punitive damage waktu itu US$ 380 juta, ditambah legal fee dari potential partner kita US$ 25 juta pun dibebankan ke PLN," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (15/2/2023).

Belajar dari pengalaman di masa lalu itu, pihaknya kemudian membangun suatu argumen yang berbeda. Pasalnya, apabila dilakukan dengan cara yang sama, PLN akan kembali mengalami kekalahan.

"Untuk itu kami membangun apakah ada klausul force majeure ternyata tidak ada, kemudian apakah kalau demand tidak tercapai apakah ini menjadi bebannya mereka? Ternyata ini secara kontrak beban demand ada di PLN," kata dia.

Karena itu, menurut Darmawan, PLN tidak lagi menggunakan istilah force majeure untuk proses renegosiasi kontrak dengan para IPP. Namun lebih tepatnya yakni karena kondisi kesulitan atau hardship.

Dia menjelaskan, kondisi hardship itu yakni pada saat perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) itu ditandatangani, asumsinya dianggap benar, maka kontrak tersebut sebenarnya fair. Tetapi begitu asumsinya tidak terpenuhi, maka kontrak yang tadinya fair bergeser menjadi tidak fair.

"Nah itu lah yang kami sampaikan ke partner-partner kami dan kami bukan ingin inisiasi legal battle, tapi kami menyampaikan bahwa dulu ini fair sesuai asumsi yang ada, tapi begitu asumsi tidak terpenuhi, maka beban itu di PLN dan kami menyampaikan ingin berbagi beban, tapi bukan inisiasi legal battle," jelasnya.

Dalam argumentasi tersebut, Darmawan juga menyampaikan apabila ekosistem ini menjadi rapuh, maka partner-partner PLN tentunya juga akan turut terdampak. Mengingat, kondisi keuangan yang stabil dari mitra-mitra tersebut bergantung pada kemampuan PLN dalam membayar mereka.

"Inilah suatu semangat kebersamaan dan kami pun tidak ingin partner kami bangkrut karena kalau partner kita bangkrut pun ternyata ekosistem kelistrikan yang tadi kondusif untuk berinvestasi menjadi kembali ke ekosistem yang dulu sangat sulit untuk undang investasi di sistem kelistrikan," kata dia.

Seperti diketahui, PLN telah berhasil melakukan renegosiasi dengan para IPP untuk memundurkan jadwal operasi pembangkitnya. Adapun dari hasil renegosiasi itu, penghematan yang didapat PLN hingga 2022 mencapai Rp 47,05 triliun.

Menurut Darmawan, pihaknya menghadapi kondisi kelebihan pasokan (oversupply) listrik di Pulau Jawa selama 12 bulan, karena adanya tambahan kapasitas pembangkit listrik yang baru beroperasi sekitar 7 Giga Watt (GW). Sementara itu, penambahan permintaan listrik hanya tumbuh sekitar 1,2-1,3 GW.

"Sampai akhir 2021 kami berhasil menekan Take or Pay (TOP) sebesar Rp 37,21 triliun, di tahun 2022 upaya ini terus dilakukan, sehingga tambahan TOP yang bisa ditekan adalah Rp 9,83 triliun dan untuk itu total TOP yang berhasil ditekan Rp 47,05 triliun," tuturnya.


(wia) Next Article RI Kelebihan Listrik, Tapi Bisa Jadi Malapetaka Bagi PLN?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular