²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Diplomasi Ala Xi Jinping & Dominasi AS yang Mulai Memudar

luc, ²©²ÊÍøÕ¾
10 April 2023 13:10
Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping selama pertemuan pers bersama di Aula Besar Rakyat di Beijing pada 6 April 2023. (NG HAN GUAN/POOL/AFP via Getty Images)
Foto: Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping selama pertemuan pers bersama di Aula Besar Rakyat di Beijing pada 6 April 2023. (POOL/AFP via Getty Images/NG HAN GUAN)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Diplomasi ala Xi Jinping kembali mengejutkan dunia. Kali ini, Negeri Tirai Bambu menetapkan langkah signifikan terkait hubungannya dengan Eropa melalui kehadiran Presiden Prancis Emmanuel Macron di China.

Sekilas, kedatangan Macron tersebut tak ada bedanya dengan kunjungan kenegaraan yang kerap dilakukan para kepala negara.

Namun, kali ini momen tersebut menjadi spesial lantaran dilakukan di tengah ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat (AS) yang sejauh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan Benua Biru.

Pertemuan itu pun menimbulkan pertanyaan tentang 'loyalitas' Eropa terhadap AS yang dikenal memiliki hubungan cukup baik dan kerap seiya sekata dalam sejumlah kebijakan.

Memang, pertemuan tersebut tak berarti Eropa, khususnya Prancis, benar-benar 'membelot' dari AS. Namun, hal itu cukup memberikan sentimen kurang sedap terhadap Negeri Paman Sam.

Bagaimana tidak, dalam perjalanan pulang usai melakukan pembicaraan selama 6 jam dengan Xi Jinping, Macron mengatakan Eropa harus mengurangi ketergantungannya pada AS dan menghindari terseret ke dalam konfrontasi antara China, AS, atas Taiwan.

Macron juga menekankan teori "otonomi strategis" untuk Eropa, yang mungkin dipimpin oleh Prancis, untuk menjadi negara adikuasa ketiga.

Dilansir Politico, Minggu (9/4/2023), dia mengatakan risiko besar yang dihadapi Eropa adalah "terjebak dalam krisis yang bukan milik kita, yang mencegahnya membangun otonomi strategisnya."

Xi Jinping dan Partai Komunis China dengan antusias mendukung konsep otonomi strategis Macron dan pejabat China terus-menerus merujuknya dalam urusan mereka dengan negara-negara Eropa. Para pemimpin partai dan ahli teori di Beijing yakin Barat sedang mengalami kemunduran dan China sedang naik daun dan melemahnya hubungan transatlantik akan membantu mempercepat tren ini.

"Paradoksnya adalah, diliputi kepanikan, kami yakin kami hanyalah pengikut Amerika," kata Macron.

Juru Damai

Aksi diplomasi halus China di tengah meningkatnya ketengangan dengan AS juga telah terlihat baru-baru ini yang ditandai dengan pertemuan Xi Jinping dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Pertemuan antara dua sekutu itu menjadi pengingat jika China dapat menjadi perantara kekuatan global dan AS dalam bahaya karena kehilangan tempatnya sebagai pemimpin 'tak terbantahkan' dalam diplomasi internasional.

Kunjungan Xi tak hanya menggarisbawahi hubungan yang makin dekat antara Moskow dan Beijing, tetapi juga dampak diplomatik atas rencana perdamaian China yang makin progresif.

Beberapa waktu lalu, China berhasil membuat Arab Saudi dan Iran berdamai dan memulai hubungan diplomatik kembali. Ini terjadi setelah hubungan antara Riyadh dan Teheran beku selama 6 tahun terakhir.

Kesepakatan keduanya muncul saat perwakilan kedua negara bertemu di Beijing, China, pada Jumat (10/3/2023). Terlihat foto yang menunjukan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani berjabat tangan dengan penasihat keamanan nasional Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban.

Sementara itu, diplomat paling senior China, Wang Yi, berdiri di antara mereka. Diketahui, Beijing merupakan inisiator perdamaian ini.

Peran China ini sendiri terjadi saat hubungan Saudi dan Iran dirasa tidak akan membaik. Ini dikarenakan upaya Teheran yang konsisten menyokong pemberontak Houthi di Yaman, di mana kelompok itu diperangi oleh Saudi.

Beberapa analis mengatakan bahwa ini merupakan bukti makin kuatnya China pada arena politik global, mengalahkan AS yang merupakan rivalnya.

Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran China, termasuk pembukaan kembali kedutaan setelah enam tahun, adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut.

"Ini akan ditafsirkan, mungkin secara akurat, sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa China adalah kekuatan yang sedang naik daun," kata Feltman, yang juga seorang peneliti di Brookings Institution, kepada Reuters.

Hal serupa juga diungkapkan Daniel Russel, diplomat top AS untuk Asia Timur di bawah mantan presiden Barack Obama. Ia mengatakan tidak biasa bagi China untuk bertindak sendiri untuk membantu menengahi kesepakatan diplomatik dalam perselisihan yang bukan merupakan salah satu pihak.

"Pertanyaannya adalah apakah ini bentuk yang akan datang. Mungkinkah itu menjadi pendahulu upaya mediasi China antara Rusia dan Ukraina ketika (Presiden Xi Jinping) mengunjungi Moskow?" tuturnya.


(luc/luc) Next Article Bertemu Xi Jinping, Macron Ajak Eropa 'Lepaskan Diri' dari AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular