²©²ÊÍøÕ¾

²©²ÊÍøÕ¾ Insight

Charles Segera Resmi Raja, Sudi Inggris Minta Maaf ke Dunia?

MFakhriansyah, ²©²ÊÍøÕ¾
05 May 2023 16:30
Raja Charles III. (Lisa Maree Williams/Getty Images)
Foto: Raja Charles III. (Lisa Maree Williams/Getty Images)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Kamis 8 September 2022 siang, menjadi momen tak biasa bagi Kastil Balmoral, Skotlandia. Istana yang dibangun sejak 1390 itu, menerima kedatangan Ratu Elizabeth II seorang diri dengan kondisi berbeda.

Kondisi fisiknya menurun karena faktor usia. Mau tidak mau, dia harus dipantau ketat oleh dokter kerajaan selama 24 jam penuh.

Tak sampai sejam, anak, mantu dan cucu perlahan datang menemani Ratu Inggris itu. Di luar kastil, sudah ramai tersiar kabar bahwa Sang Ratu akan menemui ajal.

Presenter BBC bahkan sudah mengganti setelan jas berwarna gelap yang makin mengindikasikan hal tersebut. Hingga akhirnya kabar itu benar terjadi, tepat pukul 18.30 waktu setempat, Istana Buckingham menyampaikan pesan yang membuat jutaan orang meneteskan air mata: "Sang Ratu meninggal dengan tenang di Balmoral sore ini."

Sejak itulah, riwayat ratu berusia 96 tahun yang berkuasa selama 70 tahun itu resmi berakhir. Sesuai standar operasional, maka putranya, Charles resmi memegang takhta kerajaan.

Dan, delapan bulan setelah kematian, Sabtu 6 Mei 2023, Charles yang kini dikenal dengan nama Charles akan III dinobatkan menjadi raja baru Inggris. Sejumlah persiapan pun dilakukan termasuk dengan mengeluarkan budget fantastis 100 juta pound atau sekitar Rp 1,83 triliun.

Namun, pengangkatannya menjadi penguasa monarki bukan tanpa kritikan. Selain anggaran perayaan super besar di kondisi sulit, aspek utama kritikan lain adalah menyangkut beban kolonialisme.

Apa itu?

Sejarah tidak akan pernah lupa bahwa monarki Inggris pernah menguasai seperempat daratan bumi. Tercatat, dari 195 negara di dunia, hanya 22 saja yang tidak pernah dikuasai Inggris.

Tak heran pada saat-saat kelam itu, Inggris dinobatkan sebagai kerajaan terbesar di dunia. Namun, kolonialisme tentu tak membuat penduduk negeri terjajah tersenyum bebas.

Sejarawan Brooke Newman dalam "Throne of Blood" (2020) berkisah bahwa bukan rahasia lagi bahwa sejarah keluarga kerajaan Inggris terkait dengan mesin penggilas kolonialisme, yakni perbudakan. Mereka berdalih ini semua untuk "mencerahkan negeri jajahan" meski kenyataannya jauh berbeda. 

Raja Charles II (1630-1685), misalnya, dalam kurun 1660-1685 dengan sengaja melakukan investasi perdagangan budak Afrika. Penduduk lokal diperjualbelikan untuk memenuhi tenaga kerja murah, bahkan gratis, di perkebunan lokal.

Berkat legalisasi dari pihak kerajaan, pemilik budak memanfaatkan kehidupan dan tubuh orang Afrika untuk menghasilkan kekayaan komersial dan membangun kemegahan kerajaan. Sedangkan di India, negeri jajahan Inggris terbesar, kondisinya lebih parah lagi.

Merujuk studi "Colonialism was a disaster and the facts prove it" (2017) di The Conversation, Joseph McQuade menyebut selama periode penjajahan Inggris di India (1757-1947), tidak ada peningkatan pendapatan per kapita. Angka harapan hidup masyarakat pun menurun 20%, dengan angka warga tewas tak terhitung, baik karena sakit, penyiksaan, atau pertempuran.

Selama proses itulah, kekayaan alam India dikeruk tanpa henti dan diekspor untuk kepentingan London. Jason Hickel di Al Jazeera menyebut berkat upaya biadab ini Inggris mampu mengambil US$ 45 triliun dari India.

"Tentu, uang sebanyak itu dimanfaatkan untuk perut dan operasional kerajaan Inggris, termasuk juga untuk dimulainya berbagai proyek guna meraih hegemoni global," ujar Hickel.

Atas luka pahit kolonialisme maka wajar mereka di negeri bekas jajahan menuntut pihak kerajaan meminta maaf. Sebulan sebelum penobatan, media AS Newsweek pada 5 April 2023 merilis hasil survey yang menyebut bahwa 35% orang Amerika mendesak Raja Charles III untuk meminta maaf secara terbuka atas peran sejarah monarki dalam perdagangan budak.

Tak hanya itu, Afrika juga meneriakkan hal yang sama. Mengutip Al Arabiya, para pemimpin adat dari 12 negara persemakmuran, yang negaranya pernah dijarah dan diperbudak, menyerukan reparasi keuangan dan pengembalian harta budaya yang dicuri, termasuk tuntutan memulihkan perasaan rasisme, penindasan, kolonialisme dan perbudakan.

Tuntutan permintaan maaf ini sebetulnya selalu dilakukan dari masa ke masa. Tapi hasilnya nihil, di mana tak ada kata maaf keluar dari mulut pemegang takhta, termasuk Ratu Elizabeth II.

Paling maksimal yang mereka lakukan adalah meminta maaf melalui wakil kerajaan. Beberapa kali "para pembantu" menyatakan penyesalan.

Mengutip NPR, ini pernah dilakukan pada 2013 saat pemerintah Inggris meminta maaf atas kekejaman saat periode penjajahan di Kenya. Namun, sikap ini dikritisi karena tetap ada beban moral karena ucapan maaf tidak keluar dari Ratu Elizabeth II.

Lalu, pada 2018, Charles III pun pernah berkata bahwa perdagangan budak adalah tindakan kejam yang mengerikan. Tapi, lagi-lagi, dia tidak meminta maaf.

Meski begitu, Charles III sebetulnya lebih progresif menyikapi luka kolonialisme. Sebab, dia adalah perwakilan kerajaan Inggris yang berani memulai proyek penelitian ihwal keterlibatan bangsawan dalam perbudakan.

Bagi banyak orang, hal ini merupakan pendekatan berbeda ketimbang ibunya yang tidak mengakui peran monarki dalam perdagangan budak. Dan, itu menjadi pintu masuk bagi Charles III untuk meminta maaf, jika memang pendahulunya tidak mau menyatakan hal demikian.

Kepada Insider, sejarawan Universitas Princeton, Chika Okeke-Agulu, menyebut momen pergantian takhta menjadi kekuatan simbolis raja untuk melakukan perubahan nyata. Ketimbang, diam seperti sikap ibundanya.

"Memang raja-ratu adalah produk kerajaan. Tapi dia adalah anak kerajaan yang masih terhubung dengan ideologi dan pandangan dunia kerajaan," tutur Chika.

Benar, bahwa Charles III tidak memerintahkan perbudakan, tetapi ada beban moral yang menghinggapi pundaknya. Beban itulah berupa warisan masa lalu yang menyakitkan dan selalu 'menggentayangi' hidup keluarga kerajaan.

Atas dasar ini, menurut Jack Royston kepada Insider, tugas terbesar Charles adalah mengatasi hubungan sejarah keluarga kerajaan dengan perbudakan dan kolonialisme. Dengan bertanggung jawab dan mengucap maaf, maka Charles III, dan keturunannya, dapat melepaskan jeratan di kakinya agar bisa bergerak maju lebih bebas.

Jika tidak, maka konsekuensinya besar: Inggris tetap dipandang kerajaan penjajah dan, dia serta kerajaannya tak lagi dihormati, apalagi ini bisa menjadi pukulan keras sebab di Inggris mulai tumbuh gerakan anti-monarki. 


(mfa/sef) Next Article Minta Naik Gaji! Warga Inggris Berencana Mogok Kerja Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular