
Erdogan Menang Pemilu Turki, Rusia Senang-NATO & AS Nelangsa?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Era Presiden Recep Tayyip Erdogan kini berlanjut. Ia dipastikan memenangkan putaran kedua pemilu Turki, yang berlangsung Minggu.
Hasil resmi awal yang diumumkan Dewan Pemilihan Tertinggi Turki (YSK) menyebut Erdogan unggul 52,14% sementara oposisi Kemal Kilicdaroglu mendapat 47,86%. Diketahui, suara yang masuk mencapai 99,43%.
"Bagi Turki, masa jabatan ketiga dan terakhir Erdogan akan berarti kelanjutan hari ini," kata seorang peneliti di wadah pemikir Chatham House yang berbasis di London, Galip Dalay, dikutip Time, Senin (29/5/2023).
Erdogan sebenarnya sudah 20 tahun berkuasa di Turki. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Turki tahun 2003, peran yang ia jalani selama 11 tahun.
Di 2014, ia kemudian menjadi Presiden . Di 2018, ia melakukan referendum, merubah negara itu dari parlementer ke presidensil, yang membuat jabatan PM dihapus.
Dengan lima tahun lagi memimpin, banyak pengamat menilai kecil kemungkinan Erdogan akan mengubah agenda domestiknya. Mungkin akan melangkah lebih jauh.
Erdogan diyakini masih akan mempertahankan kebijakan kontroversial soal suku bunga yang membuat Lira tertekan. Di mana Erdogan berjanji membawa suku bunga terus turun sekaligus membuat inflasi satu digit.
Perlu diketahui, inflasi Turki merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, bahkan rekor mencapai 83,45% di September. Saat ini dari data Trading Economics, inflasi berada di 43,68%.
Lira sendiri setelah pengumuman kemenangan Erdogan ambruk ke 19,99 terhadap dolar AS. Mengutip Revinitif, ini merupakan rekor terendah sesak 1990-an.
Konsekuensi dari kemenangan Erdogan tidak hanya terbatas pada Turki. Ini akan memiliki konsekuensi internasional, termasuk bagi Barat, dalam hal ini NATO dan juga Rusia.
Tidak seperti anggota aliansi lainnya, Turki berusaha keras untuk menjalin hubungan dekat dengan Rusia. Pada 2017, Ankara secara kontroversial setuju untuk membeli sistem pertahanan rudal S-400 dari Moskow.
Sementara sebagian besar negara lain telah memberikan sanksi kepada Rusia setelah invasi besar-besaran ke Ukraina, Turki terus melakukan bisnis dengan Moskow. Dalam wawancara baru-baru ini dengan CNN International, Erdogan bahkan menggembar-gemborkan hubungan khususnya dengan Presiden Vladimir Putin.
"Anda akan melihat penguatan hubungan (Erdogan-Putin) itu lebih jauh," kata penulis Erdogan War: A Strongman's Struggle at Home and in Syria, Gonul Tol.
Erdogan telah berusaha untuk menggambarkan Turki sebagai mediator diplomatik yang berharga antara Rusia dan Barat. Beberapa kesepakatan kunci seperti membantu menengahi ekspor antara negara-negara yang bertikai tahun lalu juga dilakukannya.
"Dia menggunakan aksesi Swedia dan Finlandia ke NATO sebagai kartu truf untuk mendapatkan konsesi dari dunia Barat. Dan dia memiliki banyak cara, jadi dia akan mencoba memerah lebih jauh," tegas Tol lagi saat berbicara soal hubungan Erdogan dan dua negara yang baru dan ingrain bergabung ke NATO, Finlandia dan Swedia.
Perlu diketahui untuk menjadi anggota NATO, persetujuan harus diberikan semua anggota. Meski luluh ke Finlandia, Erdogan keras menentang Swedia karena masalah pemberontak Turki.
Namun, sebagian analis memperkirakan bahwa Erdogan pada akhirnya akan menyetujui keanggotaan Swedia. Kemungkinan ini terjadi di KTT NATO Juli atau akhir tahun. I
"Erdogan menghargai kehadiran Turki di NATO karena menurutnya hal itu memberinya pengaruh lebih jauh dalam urusan internasional," sambung Dalay.
(sef/sef) Next Article Putaran ke-2 Pemilu Turki Hari Ini, Posisi Erdogan di Atas?
