²©²ÊÍøÕ¾

Horor! Situasi Sekarang Lebih Chaos dari Ramalan Jokowi

Widya Finola Ifani Putri, ²©²ÊÍøÕ¾
30 May 2023 06:25
Infografis, Selamat atau Jatuh ke Jurang Resesi? Ini Daftarnya
Foto: Infografis/ Resesi/ Edward Ricardo

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Ekonomi dunia diramal menjadi lebih tidak kondusif atau chaos pasca berakhirnya pandemi Covid-19 yang telah memporak porandakan ekonomi global selama tiga tahun (2020-2022). Bahkan disebut akan lebih parah dari yang sudah diramalkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, ekonomi dunia pasca pandemi Covid-19 akan menimbulkan kekacauan.

"Butuh waktu cukup lama untuk perekonomian pulih, apakah akan menuju pada new equilibrium atau keseimbangan baru, atau justru masuk pada kondisi post-pandemic chaos, dimana variabel ekonomi menjadi sulit diprediksi dan fluktuasi ekonomi menjadi sangat cepat," jelas Bhima kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Senin (29/5/2023).

Bhima menyebut, ada empat indikator yang membuat ekonomi dunia sulit pulih pasca pandemi. Pertama, berdasarkan sumber World Trade Organization (WTO), volume perdagangan dunia 2023 diperkirakan mengalami perlambatan, yakni hanya tumbuh 1,7% dibandingkan ekspektasi tahun 2022 sebesar 2,7% secara tahunan (year on year/yoy).

Perlambatan volume perdagangan, disebabkan oleh gelombang proteksionisme, gangguan rantai pasok akibat perang, hingga pelemahan konsumsi domestik di negara industri.

Kedua, pertumbuhan ekonomi dunia mengalami tekanan hingga tumbuh terbatas 2,8%, lebih rendah dari pertumbuhan 2022 yakni 3,4%. Resesi akibat inflasi di zona Eropa cukup berdampak pada permintaan berbagai komoditas olahan primer dan bahan baku di sektor pakaian jadi, alas kaki, makanan minuman, furniture, mesin, otomotif, dan elektronik.

Ketiga, tren kenaikan suku bunga di berbagai bank sentral dalam rangka menjaga aliran dana asing, agar tidak keluar cukup membebani sektor perbankan dan konsumen.

Serta keempat, PMI Manufaktur global alami tekanan di level 49,6 atau di bawah level ekspansi 50.

"Ini menandakan berbagai perusahaan di sektor industri pengolahan tengah menahan pembelian bahan baku, karena kekhawatiran outlook permintaan yang tidak pasti beberapa bulan ke depan," jelas Bhima.

Nah, dampak gagal bayar utang AS, kata Bhima akan jauh lebih berbahaya dibanding krisis perumahan pada 2008. Skala gagal bayar utang akan menaikkan risiko di hampir seluruh sektor keuangan global.

"Investor yang panik akan melepas kepemilikan surat berharga baik utang maupun saham di negara berkembang," kata Bhima lagi.


(cap/cap) Next Article Jokowi Soal Covid-19 di 2020: WHO Bingung, Kita Juga Bingung!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular