²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

OECD Kerek Proyeksi Ekonomi Global Jadi 2,7%, Ada Tapinya sih

luc, ²©²ÊÍøÕ¾
07 June 2023 15:35
Logo OECD (File REUTERS)
Foto: Logo OECD (File REUTERS)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sedikit menaikkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia seiring dengan mulai meredanya inflasi dan pencabutan pembatasan ketat Covid di China. Namun, proses pemulihan masih akan menghadapi jalan panjang.

Organisasi yang berbasis di Paris tersebut memperkirakan ekspansi ekonomi tahun ini sebesar 2,7%, naik dari 2,6% dalam laporan sebelumnya pada Maret, dengan peningkatan untuk Amerika Serikat (AS), China, dan zona euro.

OECD menaikkan perkiraan pertumbuhan 2023 untuk Amerika Serikat, ekonomi terbesar dunia, menjadi 1,6% dan China, terbesar kedua, menjadi 5,4%. Keduanya kompak meningkat 0,1 poin persentase.

Zona euro juga mendapat sedikit kenaikan 0,1 poin persentase menjadi 0,9%.

Inggris pun diproyeksikan keluar dari jurang resesi, dengan pertumbuhan sekarang diperkirakan sebesar 0,3%.

Adapun, OECD secara tajam menurunkan prospek Jerman, ekonomi terbesar Eropa, dengan proyeksi pertumbuhan 0%.

Secara keseluruhan, proyeksi ekonomi global masih lebih rendah dibandingkan dengan realisasi ekspansi pada 2022 sebesar 3,3%.

"Ekonomi global sedang berbelok tetapi menghadapi jalan panjang ke depan untuk mencapai pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan," tulis kepala ekonom OECD Clare Lombardelli dalam Economic Outlook OECD, dikutip dari AFP, Rabu (7/6/2023).

"Pemulihan akan lemah menurut standar masa lalu," tulis Lombardelli.

Sementara itu, perkiraan pertumbuhan untuk 2024 tetap tidak berubah pada 2,9%.

Kebijakan Moneter

OECD menjelaskan penurunan harga energi, penguraian kemacetan rantai pasokan, dan pembukaan kembali China yang lebih cepat dari perkiraan telah berkontribusi pada pemulihan ekonomi.

Namun, inflasi inti, yang yang tidak termasuk harga bergejolak seperti energi, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. OECD mengatakan hal ini dapat memaksa bank sentral, yang telah menaikkan suku bunga dalam upaya menjinakkan harga konsumen, untuk terus menaikkan biaya pinjaman.

"Bank-bank sentral perlu mempertahankan kebijakan moneter yang ketat sampai ada tanda-tanda yang jelas bahwa tekanan inflasi yang mendasarinya mereda," kata Lombardelli.

Pada saat yang sama, organisasi tersebut memperingatkan bahwa suku bunga yang lebih tinggi di seluruh dunia makin dirasakan, terutama di pasar properti dan keuangan.

"Tanda-tanda stres sudah mulai muncul di beberapa segmen pasar keuangan karena investor menilai kembali risiko dan kondisi kredit makin ketat," kata laporan itu.

Adapun, sektor perbankan diguncang oleh jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB) di AS yang terpukul oleh suku bunga tinggi sehingga menurunkan nilai portofolio obligasinya.

Di Eropa, pemerintah Swiss memaksa raksasa perbankan Swiss UBS untuk mengambil alih saingannya yang bermasalah, Credit Suisse.

"Jika tekanan pasar keuangan lebih lanjut muncul, bank sentral harus menggunakan instrumen kebijakan keuangan untuk meningkatkan likuiditas dan meminimalkan risiko penularan," tulis Lombardelli.

Bahaya Utang

OECD juga memperingatkan bahwa hampir semua negara memiliki defisit anggaran dan tingkat utang yang lebih tinggi daripada sebelum pandemi karena mereka menopang ekonomi mereka untuk menahan guncangan pembatasan Covid dan perang Rusia di Ukraina.

"Saat pemulihan berlangsung, dukungan fiskal harus dikurangi dan ditargetkan dengan lebih baik," kata Lombardelli.

OECD menjelaskan karena harga energi yang melonjak setelah invasi Rusia ke Ukraina telah jatuh lebih jauh, pemerintah harus menarik skema yang ditujukan untuk mendukung konsumen.


(luc/luc) Next Article OECD Bagikan Kabar Baik, Ekonomi Dunia Gak Gelap Lagi!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular