
Dunia Makin Kacau, Chatib Basri Tak Ganti Ramalan Buat RI

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Dunia belum jua sembuh pasca-pandemi menerpa. Ekonomi global dinilai akan melambat pada tahun ini. Hal ini tidak lepas dari tekanan tensi geopolitik, perang Rusia-Ukraina dan dampak tingginya suku bunga global.
Hal ini pun tergambar oleh proyeksi Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan OECD. Meski melambat, ketiganya memang meramalkan angka pertumbuhan positif. Namun, di sisi lain, ketiganya kompak melihat ekonomi dunia yang akan terganjal risiko ketidakpastian.
Bank Dunia merupakan yang terbaru merilis proyeksi ekonomi global, dengan memberi peringatan perekonomian dunia masih dalam kondisi genting, setelah berlalunya masa-masa Pandemi Covid-19. Maka, perekonomian global masih akan terus melambat hingga 2024.
Sementara itu, IMF memperkirakan perekonomian global melambat dari 3,4% pada 2022 menjadi 2,8% pada 2023. proyeksi ini turun 0,1 poin persentase/pp dibanding proyeksi Januari, meski selanjutnya membaik ke level 3,0% di 2024 atau turun 0,1 percentage point (pp) dari perkiraan Januari.
Di tengah proyeksi tersebut, mantan menteri keuangan M. Chatib Basri menegaskan bahwa dunia boleh saja bergejolak dengan negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) yang berisiko resesi, tetapi dirinya tetap yakin Indonesia akan selamat dari jurang resesi.
"Indonesia tidak akan resesi. Yang terjadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh di bawah 5%, saya tidak seoptimis IMF dan Bank Dunia. Saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 4,5% sampai 5%," kata Chatib dalam dialog dengan ²©²ÊÍøÕ¾, Jumat (7/7/2023).
Proyeksi Chatib tersebut masih tidak berubah dari proyeksi dirinya yang pernah diungkapkan pada Oktober 2022 silam.
"Sesuai pandangan saya pada Oktober 2022, Indonesia less likely (resesi). Lumayan loh masih benar 9 bulan," ujarnya.
Kendati demikian, dia yakin pertumbuhannya tidak akan sekuat tahun 2022 sebesar 5,3%. Keseluruhan indikator ekonomi mulai dari konsumsi, investasi hingga ekspor dan impor diperkirakan akan melambat.
Dari sisi konsumsi masyarakat, Chatib mengutip data Survei Konsumen BI pada Mei 2023. Data ini mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2023 sebesar 128,3, lebih tinggi dibandingkan 126,1 pada April 2023.
Namun, dia menilai berdasarkan Survei Konsumen BI mengindikasikan adanya pengeluaran masyarakat tertahan, namun nilai tabungannya menurun.
"Artinya, bahwa orang untuk kelas menengah bawah tidak bisa menurunkan konsumsinya, orang kan harus hidup. Maka untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, yang dia lakukan adalah menarik tabungannya," jelas Chatib.
Kendati adanya potensi melemah, dia menegaskan pertumbuhan konsumsi tidak akan berada di bawah 4%. Dari sisi ekspor dan impor, dia memastikan adanya harga komoditas seperti batubara dan CPO yang banyak diproduksi di Indonesia akan mempengaruhi ekspor.
Hal ini telah tampak dalam enam bulan terakhir. Kondisi ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Jika pertumbuhan ekonomi global yang melambat, maka permintaan pasti akan turun. Negara mitra dagang utama RI, yakni China dan AS ekonominya belum pulih dari pandemi Covid-19, sehingga banyak permintaan dari dua negara tersebut berkurang dan berdampak terhadap kinerja ekspor domestik.
"Jadi ekspor dan impor itu pasti turun. Ekspor turun, impor turun. Nah impor turun bukan berita baik, karena 90% yang diimpor oleh Indonesia adalah barang modal dan baku. Jadi, kalau barang modal dan bahan baku turun, pasti investasinya turun," kata Chatib.
Di sisi investasi, Chatib melihat ruang penurunan suku bunga BI masih akan terbatas. Jika ada di akhir tahun, dia yakin dampaknya baru terasa pada 2024.
"Karena itu, satu, tingkat bunga masih akan tinggi, implikasinya adalah investasi akan slow down, dan datanya mulai kelihatan di 3 kuartal terakhir," ujarnya.
Jika mengandalkan belanja pemerintah, Chatib tidak yakin. Menurutnya, pemerintah bicara fiskal surplus. Namun, hal ini berbahaya.
"Tapi itu cerminan sebetulnya pemerintah tidak belanja," tegasnya.
"Kenapa fiskal terjadi surplus, artinya penerimaan pajak lebih besar dibandingkan yang dikeluarkan. Kalau pemerintah surplus, itu sungguh kontraksi. Karena yang ditarik dari masyarakat lebih banyak dibandingkan yang di-spend oleh masyarakat melalui belanja. Kalau surplus itu berarti fiskalnya kontraksi, berarti kalau fiskalnya kontraksi berarti G-nya (belanja pemerintah) turun," jelasnya.
Dengan demikian, dia meyakini investasi dan belanja pemerintah akan kontraksi. Namun, penurunan di semua lini penopang pertumbuhan ini tidak akan membawa Indonesia tumbuh negatif.Â
(haa/haa) Next Article Top Pak Jokowi! Bank Dunia & IMF Terkagum-kagum Sama RI