
Gawat! Tanda 'Kehancuran' Dunia Makin Jelas, Ini Gejalanya

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Cuaca ekstrem akan menjadi musuh utama manusia di masa depan. Perubahan iklim pemicunya yang kini menjadi ancaman nyata bagi bumi dan seisinya. Benar saja, panas ekstrem alias gelombang panas yang mencapai suhu maksimum bumi sudah menyerang beberapa negara di Asia dan Eropa.
Sebelum jauh kepada dampak, dulu perubahan iklim sering dianggap mitos yang terdengar hanya nama. Namun, seiring dengan fakta gelombang panas yang terjadi di negara dunia sebagian besar orang mulai menyadari bahwa perubahan iklim itu nyata.
Menurut PBB, perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini mungkin alami, seperti melalui variasi siklus matahari. Namun sejak 1800-an, aktivitas manusia menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas.
Berdasarkan laporan IPCC, yang diterbitkan pada tahun 2021 menemukan bahwa emisi manusia dari gas yang memerangkap panas telah menghangatkan iklim hampir 2 derajat Fahrenheit (1,1 derajat Celcius) sejak masa pra-Industri (mulai tahun 1750).
Maka dari itu, suhu rata-rata global diperkirakan akan mencapai atau melebihi 1,5 derajat C (sekitar 3 derajat F) dalam beberapa dekade mendatang. Perubahan ini akan mempengaruhi semua wilayah Bumi.
Dampaknya tak bisa dianggap remeh. Selain menjadi malapetaka bagi bumi dan seisinya, London School of Economics and Political Science (LSE) bahkan memperkirakan kerugian akibar perubahan iklim bisa menembus US$ 1-1,8 triliun pada 2050.
Berdasarkan perkiraan OECD dalam laporannya pada bagian Climate Tipping Points, ada beberapa potensi dampak yang dianalisis berdasarkan potensi paling kritis. Berikut klasifikasi dampak nyatanya.
Melelehnya Es di Greenland
Perubahan iklim dengan kenaikan suku yang drastis hingga melampaui taraf normal mampu menyebabkan setengah permukaan es meleleh. Akibatnya, lautan beku yang mengelilingi kawasan tersebut menjadi terdampak. Berdasarkan analisis dari Tim OECD, berikut perkiraan dampaknya.
Perubahan iklim memang menambah besar peluang dalam menciptakan kondisi cuaca yang menyebabkan lempengan es menjadi mencair sedemikian banyak. Jika tren ini berlanjut, menurut Profesor Edward Hanna selaku peneliti iklim dari Universitas Lincoln, Greenland bisa memecahkan rekor pelelehan tahun ini.
Pelelehan Es di Antartika Barat
Studi yang dipimpin para peneliti di Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA di dekat Los Angeles memunculkan kekhawatiran mengenai perubahan iklim berdampak terhadap kecepatan pelelehan es terapung di Antartika, yang dapat mempercepat kenaikan permukaan laut global.
Penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnal Nature ini mengungkapkan, hilangnya Es Antartika dari bongkahan gletser pesisir hampir sama besarnya dengan jumlah es yang hilang dikarenakan penipisan akibat pencairan lapisan es dari bawah oleh laut yang memanas.
Keruntuhan Sepanjang Tahun Dari es Laut Arktik
Perubahan iklim juga mengancam es laut Arktik. Lapisan es di laut Arktik biasa mengembang sepanjang musim dingin setiap tahun dan kemudian mencair kembali di musim panas. Namun, jumlah minimal keberadaan lapisan es di lautan wilayah itu makin mengkhawatirkan mengingat juga sejumlah variabilitas, terjun semakin dalam seiring dengan cuaca kutub utara yang semakin hangat.
Runtuhnya Seluruh Sirkulasi Pembalikan Meriditional Atlantik (AMOC)
Sirkulasi terbalik meridional Atlantik (AMOC), sistem arus laut yang membawa air hangat dari daerah tropis ke Atlantik Utara dan mengangkut air dingin dari belahan bumi utara ke selatan, adalah mekanisme mendasar untuk pengaturan iklim bumi.
Belt conveyor telah runtuh di masa lalu karena faktor alam.Keruntuhan terbaru memainkan peran kunci dalam deglaciation terakhir.AMOC sekarang terancam oleh pemanasan global, para ilmuwan telah menunjukkan, dan sebuah studi baru telah menemukan urutan peristiwa kerusakan di masa lalu.
Berdasarkan catatan OECD tahun 2020, ini potensi dampak nyata dan perkiraan keruntuhan AMOC di masa yang akan datang.
Permafrost Tiba-Tiba Runtuh
Permafrost atau lapisan tanah yang membeku di Kanada, Alaska, dan Siberia diperkirakan bakal hancur secara tiba-tiba dan bisa melepas simpanan gas rumah kaca lebih cepat dari yang diperkirakan, seperti yang telah diperingatkan oleh para ilmuwan.
Awalnya diperkirakan bahwa proses ini akan terjadi secara berkala dan memberi cukup waktu kepada umat manusia untuk melepas emisi karbon secukupnya, guna mencegah ±è±ð°ù³¾²¹´Ú°ù´Ç²õ³ÙÌýmencair, agar tidak terus meleleh sehingga dapat menciptakan pemanasan global.
Namun, menurut sebuah kajian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience belum lama ini, proyeksi jumlah karbon dioksida yang dapat dilepaskan oleh pencairan es secara perlahan dan stabil ini tidak memperhatikan beberapa jenis bongkahan es yang bisa hancur secara tiba-tiba dalam waktu hitungan hari.
Mati Pucuk Hutan Di Hutan Hujan Amazon dan Hutan Cemara Boreal
Meningkatnya pengaruh iklim dan perubahan global mengharuskan pengelolaan berbasis ekosistem untuk mengadaptasi praktek-praktek kehutanan untuk menghadapi ketidakpastian.
Maka dari itu, perubahan iklim tentu mengancam habitat dan kondisi hutan Amazon dan hutam Boreal. OECD juga mrangkum potensi dampaknya. Apa saja? simak dataya.
Dapat disimpulkan bahwa dampak terjadinya degradasi hutan dan lahan dapat berupa rusaknya fungsi hutan dan lahan, antara lain fungsi perlindungan, pengaturan iklim, keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta meluasnya lahan kosong yang perlu direhabilitasi.
Di Indonesia sendiri, dampak dari perubahan iklim atau panas yang berkepanjangan tentu menyebabkan kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan. Dampak utama kebakaran hutan dan lahan adalah lingkungan fisik, kesehatan, sosial ekonomi yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Besarnya dan laju perubahan iklim serta risiko terkait sangat bergantung pada tindakan mitigasi dan adaptasi jangka pendek, dan proyeksi dampak buruk serta kerugian dan kerusakan terkait meningkat dengan setiap peningkatan pemanasan global.Intergovernmental Panel on Climate Change |
Ini Ruginya Bagi Indonesia
Bagi Indonesia, perubahan iklim tentu punya tantangan tersendiri bagi aspek lingkungan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan. Untuk memitigasi hal itu, pemerintah harus saling bekerjasama dalam melakukan mitigasi, adaptasi ke dalam sistem perencanaan pembanginan nasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan kerugian dari bencana akibat perubahan iklim yang semakin menjadi-jadi di Tanah Air bisa mencapai 3,45% dari PDB pada 2030.
Jika dihitung berdasarkan PDB konstan per 2022, maka nilainya saja mencapai Rp 675,78 triliun. Tentunya nilai ini akan semakin membengkak pada 2030. Dengan demikian, ini dipastikan akan membebani kondisi keuangan negara dan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi.
Sri Mulyani pun mengatakan jika mengacu pada posisi PDB Indonesia saat ini, di kisaran Rp 20.000 triliun, dengan asumsi 5% atau maksimal 6-7%, maka besaran PDB Indonesia akan mencapai dua kali lipat dari posisi saat ini dalam tujuh tahun ke depan.
"Kerugian ekonomi yang diperkirakan nilainya bisa 0,66 persen hingga 3,45 persen dari PDB pada tahun 2030. 3,45 persen dari PDB, kalau PDB di tahun 2030 berapa ya Pak Febrio?" ujarnya bertanya kepada Kepala BKF Febrio N. Kacaribu dalam Indonesia EBTKE Conference and Exhibition 2023, dikutip Jumat (14/7/2023).
Dari perhitungan di atas, maka Sri Mulyani memperkirakan PDB Indonesia pada 2030 akan mencapai Rp 40.000 triliun. Dengan demikian, potensi ruginya mencapai Rp 1.380 triliun.
Itulah sebabnya, Indonesia harus punya upaya menanggulangi dan menghindari perubahan iklim bukan karena kita ingin ikut-ikutan dunia internasional. Namun, ini adalah untuk kepentingan negara dan bangsa kita sendiri.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH
(aum/luc) Next Article Makin Gawat! RI Ajak Tetangga Lawan 'Malapetaka Besar'
