
Ngeri! Ini Risiko yang Membayangi Tahun Terakhir Jokowi

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Prospek perekonomian global masih dibayangi berbagai tantangan yang berat ke depannya. Hal ini dipaparkan pemerintah dalam Buku II Nota Keuangan Tahun Anggaran 2024.
Pemerintah melihat meskipun pandemi Covid-19 sudah mereda, namun scarring effect yang ditimbulkan belum sepenuhnya teratasi, termasuk tekanan inflasi yang masih tinggi akibat disrupsi rantai pasok dan juga konflik Rusia - Ukraina yang belum usai.
"Tingginya tekanan inflasi telah mendorong pengetatan kebijakan moneter di banyak negara, terutama di negara maju, yang berakibat pada ketatnya likuiditas dan meningkatnya volatilitas di sektor keuangan global," kata pemerintah.
Berbagai tantangan menyebabkan semakin kompleksnya respons kebijakan yang harus dilakukan di banyak negara, yang berpotensi disruptif dan mengancam prospek pemulihan ekonomi global.
Tantangan tersebut juga bisa berdampak negatif bagi arus investasi asing yang masuk ke Indonesia, tingkat harga dan suku bunga, serta kinerja ekonomi domestik.
Selain itu, ketegangan geopolitik masih menjadi ancaman utama prospek ekonomi dan perdagangan global. Perang di Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.
Di sisi lain, tensi hubungan dagang antara AS dan Tiongkok juga menunjukkan peningkatan, khususnya dalam hal penguasaan teknologi. Selain itu, fenomena dedolarisasi dan konflik di beberapa kawasan seperti di Semenanjung Korea, Timur Tengah, dan Amerika Latin, berpotensi menimbulkan
disrupsi rantai pasok global, kenaikan harga komoditas, geoeconomic-fragmentation, serta deglobalisasi.
"Hal ini dapat memperburuk kinerja perdagangan dan investasi global yang dapat berdampak negatif terutama untuk negara berkembang termasuk Indonesia," ungkap pemerintah.
Perang dagang AS - Tiongkok yang berlangsung sejak tahun 2017 juga telah mendorong terjadinya fenomena "the US - China Decoupling" yang akan berdampak signifikan pada negara-negara berkembang.
Fenomena decoupling merujuk pada situasi di mana AS dan Tiongkok semakin tidak saling bergantung satu dengan lainnya. Dua faktor utama yang memicu meningkatnya fenomena decoupling adalah terkait isu keamanan (security concern) dan defisit perdagangan di AS yang menyebabkan
meningkatnya tensi geopolitik serta trade barrier antara kedua negara.
Meningkatnya fenomena decoupling memiliki potensi dampak untuk negara-negara berkembang. Bagi negaranegara yang memiliki pangsa ekspor besar pada kedua negara tersebut dapat menarik investasi asing akibat relokasi industri dari Tiongkok untuk menghindari proteksi perdagangan AS.
Namun, di sisi lain, kompetisi di antara negara berkembang juga meningkat, terutama apabila fenomena decoupling semakin mendorong peningkatan ketegangan geopolitik diantara negara-negara berkembang.
Tekanan inflasi global mulai mereda, namun tingkat inflasi masih cukup tinggi. Secara global, penurunan harga komoditas serta perbaikan supply chain telah mendorong perlambatan tingkat inflasi.
Namun, inflasi negara-negara maju khususnya di Eropa masih berada di atas rata-rata jangka menengah dan panjangnya.
Risiko lain yang perlu diwaspadai adalah tren Green Subsidy Race di negara-negara maju dalam rangka merespons isu perubahan iklim.
Tren tersebut merujuk pada kecenderungan munculnya kompetisi antarnegara dalam memberikan subsidi terhadap pembangunan teknologi hijau dan energi bebas karbon.
"Sebagai contoh, AS memberikan insentif pajak untuk promosi penggunaan clean energy, sementara Eropa menerapkan tarif untuk produk tinggi
karbon yang masuk ke Eropa," tulis pemerintah.
Kebijakan-kebijakan tersebut berpotensi memperparah fragmentasi perdagangan dan investasi global, termasuk meningkatnya risiko pengembangan
energi terbarukan di Indonesia yang masih membutuhkan investasi besar.
Terakhir, Pesatnya perkembangan teknologi, termasuk Artificial Intelligence (AI), juga memunculkan peluang sekaligus risiko. Perkembangan
teknologi tersebut perlu dimitigasi dengan respons kebijakan yang tepat dan berdimensi jangka panjang.
Pemerintahan Presiden Jokowi memandang hilangnya berbagai jenis pekerjaan seiring dengan kemajuan teknologi dan AI dapat berdampak negatif bagi tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, keberhasilan pemanfaatan teknologi akan sangat tergantung pada keberhasilan membangun soft dan hard infrastucture, berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta perluasan pembangunan infrastruktur terkait teknologi. Selain itu, iklim bisnis dan investasi yang ramah teknologi juga perlu terus diciptakan untuk meningkatkan arus investasi dan alih teknologi ke Indonesia.
"Kegagalan mempersiapkan soft dan hard infrastructure tersebut akan menghilangkan potensi Indonesia dalam mempercepat transformasi ekonomi menjadi negara maju," kata Pemerintah.
(haa/haa) Next Article Dibisiki Kabar Ini dari Bos IMF, Jokowi Auto Merinding
