²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Utang Inggris Menggila, Kena 'Kutukan' Perang Putin

Tommy Patrio Sorongan, ²©²ÊÍøÕ¾
24 August 2023 06:05
RICHMOND, ENGLAND - OCTOBER 24:A union flag flies outside Richmondshire Conservative Club in the heart of Rishi Sunak's constituency of Richmond (Yorkshire) on October 24, 2022 in Richmond, England. Rishi Sunak was appointed as Conservative leader and will become the UK's 57th Prime Minister today after he was the only candidate to garner 100-plus votes from Conservative MPs in the contest for prime minister. (Photo by Christopher Furlong/Getty Images)
Foto: Inggris (Photo by Christopher Furlong/Getty Images)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pemerintah Inggris saat ini berupaya menopang kondisi perekonomian dan keuangan negara itu yang sedang kesulitan. Hal ini diakibatkan oleh inflasi tinggi yang terjadi pascapandemi Covid-19 dan juga perang Rusia-Ukraina.

Utang bunga pemerintah pusat Inggris tercatat naik 7,7 miliar pound (Rp 149 triliun) pada bulan lalu. Sebagai perbandingan, jumlah tersebut setara dengan 11% anggaran pertahanan Inggris untuk seluruh tahun anggaran.

Sejak pandemi ini terjadi pada bulan Maret 2020, utang pemerintah Inggris telah melonjak lebih dari 40% menjadi hampir 2,6 triliun pound. Ini merupakan tingkat yang belum pernah terlihat sejak awal tahun 1960-an, dan kurang lebih sama besarnya dengan produk domestik bruto (PDB) tahunan negara tersebut.

Meskipun beberapa negara berutang lebih banyak berdasarkan persentase PDB, Inggris menonjol karena hampir seperempat utang pemerintahnya bersifat "index-linked", artinya utang tersebut terkait dengan inflasi.

"Jumlah tersebut dua kali lipat dibandingkan Italia, yang ketergantungannya pada utang terkait inflasi berada di urutan kedua setelah Inggris di antara negara-negara maju," menurut Fitch Ratings yang dikutip dari CNN International, Rabu (23/8/2023).

Inflasi yang mencapai dua digit di negara itu kemudian mendorong biaya pembayaran utang Inggris ke tingkat tertinggi. Menurut Fitch, Inggris kini menghabiskan lebih banyak uang untuk membayar utangnya dibandingkan negara maju lainnya, dalam persentase pendapatan pemerintah.

"Tahun 2020-an menjadi era yang sangat berisiko bagi keuangan publik," kata Office for Budget Responsibility, pengawas fiskal pemerintah Inggris, dalam sebuah laporan bulan lalu.

"Hanya dalam tiga tahun, mereka telah dilanda pandemi Covid pada awal tahun 2020, krisis energi dan biaya hidup sejak pertengahan tahun 2021, dan kenaikan suku bunga yang tiba-tiba pada tahun 2022."

Kondisi ini sendiri dikhawatirkan akan membawa guncangan dalam pasar keuangan negara itu. Tiga lembaga pemeringkat keuangan, S&P, Moody's, dan Fitch berkemungkinan untuk menurunkan peringkat kredit negara itu.

"Menjadi jelas bahwa lembaga pemeringkat semakin memperhatikan rasio utang terhadap PDB ketika mengambil keputusan," tulis Ellie Henderson, ekonom di Investec di London, dalam sebuah catatan pada hari Selasa.

Fitch saat ini menilai Inggris dalam pandangan negatif, yang berarti Inggris mempunyai risiko lebih tinggi untuk menurunkan peringkat ke A dari level AA- saat ini. Hal ini menunjukkan kualitas kredit yang 'tinggi' dan bukan 'sangat tinggi'.

Moody's dan S&P akan mempublikasikan perkembangan terkini mereka mengenai Inggris pada tanggal 20 Oktober. Ini kemudian diikuti oleh Fitch pada 1 Desember.

"Kami tidak memperkirakan adanya penurunan peringkat, merujuk pada fakta bahwa perekonomian dan keuangan publik Inggris telah berkinerja lebih baik dari yang diharapkan," Ruth Gregory, wakil kepala ekonom Inggris di Capital Economics.

"Bahkan jika penurunan peringkat terjadi, konsekuensinya mungkin tidak terlalu signifikan. Apapun pasar negara maju yang Anda lihat, imbal hasil obligasi tidak naik setelah lembaga pemeringkat kredit menurunkan peringkatnya," tambahnya.


(luc/luc) Next Article Kota Terbesar Inggris Bangkrut, Utang Menggunung Rp 14.000 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular