
Peta Baru China Bikin Marah Tetangga RI, Ini Kata Pakar Hukum

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Peta baru China yang dirilis pada awal pekan ini telah menimbulkan ketegangan di antara negara-negara tetangga Indonesia.
Terbaru, Filipina bergabung dengan Malaysia dan India dalam mempermasalahkan peta baru China tersebut yang mengeklaim perairan di lepas pantai negara-negara Asia Tenggara, serta bagian timur laut India.
Departemen Luar Negeri Filipina (DFA) mengatakan pihaknya menolak peta yang dikeluarkan pada Senin oleh Kementerian Sumber Daya Alam Beijing.
Peta baru ini menampilkan 10 garis putus-putus yang mencakup bagian timur Laut China Selatan yang disengketakan dan termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Manila sepanjang 200 mil laut. Filipina secara resmi menyebut wilayah ini sebagai Laut Filipina Barat.
Adapun, keputusan pengadilan arbitrase pada tahun 2016 telah menolak klaim Beijing atas sebagian besar Laut China Selatan, yang juga diklaim oleh empat negara Asean, yakni Filipina, Brunei, Malaysia, dan Vietnam serta Taiwan.
Namun, Beijing menolak untuk mengakui keputusan ini dan malah meningkatkan kehadiran militernya dan aktivitas pembangunan pulau buatan di perairan yang disengketakan.
Filipina mengatakan upaya terbaru Beijing untuk melegitimasi klaimnya atas fitur dan zona maritim negara tersebut di jalur air yang disengketakan tidak memiliki dasar berdasarkan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.
"Putusan Arbitrase tahun 2016 membatalkan sembilan garis putus-putus. Pernyataan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa 'wilayah maritim di Laut China Selatan yang termasuk dalam bagian yang relevan dari sembilan garis putus-putus bertentangan dengan Konvensi dan tidak memiliki dampak hukum sepanjang wilayah tersebut melampaui batas geografis dan substantif hak maritim China berdasarkan Konvensi," kata DFA dalam sebuah pernyataan, dilansir The Strait Times, Kamis (31/8/2023).
"Oleh karena itu, Filipina menyerukan China untuk bertindak secara bertanggung jawab dan mematuhi kewajibannya berdasarkan UNCLOS dan Keputusan Arbitrase tahun 2016 yang bersifat final dan mengikat," tambahnya.
Peta baru Tiongkok juga tumpang tindih dengan ZEE Malaysia di lepas pantai negara bagian Sabah dan Sarawak di pulau Kalimantan. Malaysia mempermasalahkan peta tersebut pada hari Rabu, menjadikannya negara Asean pertama yang melakukan hal tersebut.
"Malaysia tidak mengakui klaim China di Laut China Selatan, sebagaimana dituangkan dalam 'Peta Standar Tiongkok Edisi 2023' yang mencakup wilayah maritim Malaysia," kata Kementerian Luar Negeri Malaysia.
Kuala Lumpur menggambarkan masalah Laut China Selatan sebagai masalah yang "kompleks dan sensitif", dan mengatakan perselisihan tersebut harus "ditangani secara damai dan rasional melalui dialog" berdasarkan hukum internasional.
Malaysia mengatakan pihaknya mendukung pembuatan Kode Etik di jalur air yang disengketakan tersebut, yang saat ini sedang dinegosiasikan oleh negara-negara Asia Tenggara.
India juga memprotes peta baru Tiongkok, yang mengklaim negara bagian Arunachal Pradesh di timur laut dan dataran tinggi Aksai Chin yang disengketakan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri India Arindam Bagchi pada Selasa mengatakan klaim Tiongkok tidak memiliki dasar.
"Langkah-langkah pihak China seperti itu hanya mempersulit penyelesaian perbatasan yang dipermasalahkan," katanya.
Indonesia pun turut menanggapi peta baru China tersebut.
"Posisi Indonesia ini bukan posisi yang baru, tetapi posisi yang selalu disampaikan secara konsisten yaitu bahwa penarikan garis apapun, klaim apapun yang dilakukan harus sesuai dengan UNCLOS 1982. Itu posisi Indonesia yang selalu konsisten disampaikan," kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
Di sisi lain, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin membela peta baru tersebut, dengan menyebutnya sebagai "praktik rutin dalam pelaksanaan kedaulatan China sesuai dengan hukum".
"Kami berharap pihak-pihak terkait dapat tetap objektif dan tenang, serta tidak menafsirkan masalah ini secara berlebihan," ujarnya.
Terkait gonjang-ganjing peta baru China tersebut, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai klaim tak perlu ditanggapi oleh pemerintah karena akan terus berulang.
Menurutnya, Indonesia telah menegaskan tidak mengakui peta China yang sebelumnya terdapat sembilan garis putus-putus dan peta saat ini yang tak jauh berbeda.
Menurutnya, tanggapan pemerintah justru bisa dianggap bahwa ada pengakuan dari RI atas peta tersebut.
"Sampai kiamat nanti China akan melakukan ini kok. No room for us to negotiate atau apapun karena Indonesia tidak mengakuinya," katanya kepada ²©²ÊÍøÕ¾.
(luc/luc) Next Article China Rilis Peta Baru, India Ngamuk Wilayahnya Dicaplok
