
Rusia Kebobolan di Konser Maut Moskow, Kelemahan Putin Terungkap?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Serangan mematikan yang dilakukan sekelompok orang di Moskow, Rusia, Jumat lalu menyisakan pertanyaan besar. Hal ini terkait dengan langkah Rusia yang dianggap tidak waspada secara intelijen terkait kemungkinan serangan teror ini.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Amerika Serikat (AS), di mana Washington telah memberikan sinyal peringatan sebelumnya yang meminta warganya di negara itu menghindari kerumunan. Namun saat itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut peringatan itu sebagai 'upaya menakuti warga'.
Serangan di Crocus City ini sendiri terjadi saat negara itu masih dalam peperangan skala besar dengan Ukraina. Sejumlah analis menyebut FSB (Layanan Keamanan Federal Federasi Rusia) sibuk dengan perburuan terhadap kelompok anti perang dan LGBTQ, bukan kepada sel-sel terorisme yang mengancam negara.
Hal ini, kata mantan pejabat intelijen AS dan analis keamanan Barat, membantu menjelaskan mengapa Rusia mengabaikan ancaman lain, termasuk yang ditimbulkan oleh militan Islam, seperti ISIS-K, yang mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.
"Anda tidak bisa melakukan segalanya. Anda meningkatkan tekanan pada penduduk setempat dan terkadang Anda tidak mendapatkan informasi intelijen yang Anda perlukan mengenai potensi serangan teroris. Di situlah mereka gagal," ujarnya kepada Reuters, Selasa (26/3/2024).
"Mungkin saja mereka terlalu berlebihan dalam menangani perang di Ukraina dan menghadapi oposisi politik."
FSB mengatakan serangan di gedung konser hari Jumat itu direncanakan dengan susah payah. Lembaga itu menyebut para penyerang, yang merupakan 4 warga Tajikistan, menyembunyikan senjata mereka dengan hati-hati.
Putin pada Senin mengatakan bahwa kelompok Islam radikal adalah pihak yang melakukan serangan tersebut. Namun orang nomor satu Rusia itu mengatakan masih ingin memahami siapa yang memerintahkan serangan tersebut dan mengatakan ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Ukraina.
Putin mengeklaim Kyiv telah "menyiapkan jendela" bagi para teroris untuk melintasi perbatasan dari Rusia ke Ukraina. Ia bahkan tidak menyebut nama ISIS dalam pernyataan publiknya mengenai serangan tersebut.
Ketika ditanya pada hari Senin apakah serangan tersebut merupakan kegagalan dinas intelijen, Kremlin mengatakan bahwa kebuntuan Rusia dengan Barat membuat pembagian informasi intelijen tidak terjadi seperti dulu.
"Sayangnya, dunia kita menunjukkan bahwa tidak ada kota, tidak ada negara yang sepenuhnya kebal dari ancaman terorisme," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.
"Badan intelijen Rusia bekerja tanpa kenal lelah untuk membela negaranya," tambahnya.
Sementara itu, Ukraina dengan keras membantahnya. Intelijen militer Ukraina dan beberapa komentator Barat menyatakan bahwa semua ini hanyalah peristiwa "bendera palsu", yang diorganisir atau difasilitasi oleh Kremlin untuk konsolidasi upaya perang di Ukraina.
Tak Fokus dengan Teroris
Ada juga perasaan bahwa ancaman terorisme dalam negeri, yang selalu ada selama dekade pertama pemerintahan Putin, telah mereda. Taktik senjata yang kuat di wilayah Kaukasus Utara, ditambah dengan mengizinkan beberapa ribu kelompok radikal berangkat ke Suriah dan Irak beberapa tahun lalu, menimbulkan perasaan bahwa perang melawan teroris telah berakhir.
Namun dinamika yang terjadi dalam serangan hari Jumat ini, di mana sebagian besar pelakunya warga Tajikistan, menunjukan ancaman dari wilayah negara Asia Tengah lainnya. Ini berbeda dengan serangan teror di awal pemerintahan Putin, ketika para penyerang cenderung berasal dari Kaukasus Utara.
"Terorisme Islam di Asia Tengah masih menjadi masalah nyata bagi FSB. FSB memiliki banyak pengalaman dalam menangani ekstremis di Kaukasus, mereka telah menghabiskan sumber daya yang besar untuk hal tersebut, namun Asia Tengah lebih merupakan titik buta," kata Mark Galeotti, pakar badan keamanan Rusia, kepada The Guardian, Senin (25/3/2024).
Galeotti menambahkan bahwa mungkin akan ada pertanyaan politik serius yang muncul setelah serangan tersebut. Namun Putin jarang menghukum bawahannya atas kegagalan dan kemungkinan besar akan menghindari terlalu banyak pembicaraan mengenai bencana intelijen.
"Anda mungkin mengira FSB harus bertanggung jawab, namun tidak ada balasan yang berarti atas kegagalan intelijen mereka selama invasi ke Ukraina. Putin ragu untuk melakukan perombakan besar-besaran," paparnya lagi.
(luc/luc) Next Article 5 Fakta Penembakan Konser di Moskow: Pelaku Ditangkap-Ancaman Putin