²©²ÊÍøÕ¾

Ngeri! BI Buka-Bukaan 3 Risiko Besar yang Dihadapi Indonesia Tahun Ini

Rosseno Aji Nugroho, ²©²ÊÍøÕ¾
27 March 2024 18:30
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung memberikan pemaparan dalam acara ²©²ÊÍøÕ¾ Economic Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (29/2/2024). (²©²ÊÍøÕ¾/Tri Susilo)
Foto: Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung memberikan pemaparan dalam acara ²©²ÊÍøÕ¾ Economic Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (29/2/2024). (²©²ÊÍøÕ¾/Tri Susilo)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan ada tiga risiko yang sedang dan masih akan terus dihadapi perekonomian Indonesia memasuki 2024. Risiko itu teridentifikasi dalam Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) BI Nomor 42 per Maret 2024.

"Assessment terhadap risiko stabilitas sistem keuangan paling tidak ada tiga tantangan besar yang saat ini kita hadapi," ucap Deputi Gubernur BI Juda Agung saat peluncurkan KSK No 42 di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (27/3/2024).

Juda Agung menyebutkan, tiga risiko itu ialah ketidakpastian ekonomi dan pasar keuangan global akibat tak kunjung turunnya inflasi dan kebijakan suku bunga acuan di negara-negara maju, lalu risiko akibat perkembangan digitalisasi di sistem keuangan, dan terakhir risiko transisi ekonomi hijau keuangan inklusif.

Juda menjelaskan, untuk risiko pertama, terkait masih tingginya ketidakpastian ekonomi dan pasar keuangan global akibat inflasi di negara maju yang sudah sampai puncak, sebenarnya menurut Juda sudah tampak kenaikannya seperti di ujung terowongan. Demikian juga kebijakan suku bunga, seperti Bank Sentral AS yang akan memasuki fase penurunan pada Semester II-2024.

Namun, yang masih tidak pasti menurutnya adalah ketidakpastian terkait timing dan magnitude dari penurunan suku bunga acuan itu dalam merespons penurunan tekanan inflasi. Menyebabkan sentimen pelaku pasar keuangan dan ekonomi di global masih mudah terpengaruh gejolak terkait pandangan suku bunga.

"Ketidakpastian timing dan magnitude terhadap siklus easing itu yang sering kali mendorong munculnya ketidakpastian terhadap berakhirnya tren higher for longer Fed Fund Rate dan kapan suku bunga tinggi ini berakhir," tutur Juda.

Ketidakpastian terkait tekanan inflasi dan suku bunga ini diperburuk dengan ketegangan geopolitik atau konflik di berbagai belahan dunia. Seiring juga dengan masuknya fase pemilihan umum atau Pemilu di sekitar 50% negara-negara dunia.

"Di Tiongkok, krisis properti dan pelemahan konsumsi masih menjadi masalah yang apabila tidak ditangani akan menjadi risiko di tengah ketidakpastian stabilitas dan sistem keuangan," ucap Juda.

Risiko kedua yang perlu dipantau dan diwaspadai menurutnya ialah risiko perkembangan digitalisasi di sistem keuangan. Inovasi keuangan menurutnya ibarat pedang bermata dua, satu sisi mempermudah akses, mendorong inklusi keuangan dan memperdalam pasar keuangan, tapi di sisi lain berpotensi memberi dampak risiko stabilitas sistem keuangan dan risiko interkoneksi dengan perbankan.

"Munculnya berbagai model bisnis baru yang risikonya belum kita kenali sebelumnya. Contohnya Silicon Valley di AS menunjukkan ada beberapa risiko bisnis modal yang belum kita kenali, termasuk risiko dari digitalisasi adalah risiko siber," tutur Juda.

Ia mengatakan, setidaknya ada tiga risiko yang bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan melalui perkembangan teknologi digital yang tak terantisipasi, diantaranya serangan siber yang dapat mengganggu sistem operasional lembaga keuangan, termasuk layanan perbankan dan transaksi keuangan.

Kedua, pencurian data yang dapat merugikan lembaga keuangan maupun pelanggan, dan ketiga manipulasi dan transaksi keuangan seperti pencurian dana, perubahan saldo account, hingga manipulasi harga aset keuangan yang dapat merusak integrasi pasar keuangan dan mengganggu SSK.

Oleh sebab itu, untuk mengurangi dampak risiko siber, lembaga keuangan perlu mengimplementasikan langkah-langkah keamanan siber yang kuat, meningkatkan kesadaran siber, serta berinvestasi pada teknologi dan SDM yang mampu menghadapi ancaman siber dengan efektif.

Adapun risiko ketiga, ialah transisi menuju ekonomi hijau. Dalam hal ini risiko yang dihadapi perbankan, pertama risiko transisi termasuk kebijakan dalam pengurangan emisi karbon, seperti pajak karbon. Kedua, risiko kredit terkait kemampuan debitur merespons perubahan pasar dan perubahan kebijakan ekonomi hijau, dan ketiga risiko reputasi jika kebijakan terkait pengurangan emisi tidak dilakukan.


(haa/haa) Next Article Terungkap! Ini Biang Kerok Asing Keluar Masuk RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular