
Bukti Daya Beli RI Lesu: Deflasi Beruntun Hingga Jualan Kendaraan Loyo

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Sejumlah ekonom dan kalangan pengusaha mengungkapkan bukti-bukti daya beli masyarakat kini sudah melemah. Berbagai indikator ekonomi menunjukkan hal itu, selain munculnya deflasi beruntun pada Mei dan Juni 2024.
Indikator pertama yang menggambarkan kondisi daya beli melemah itu ialah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang pada Mei 2024 turun menjadi 125,2, dari posisi April 2024 di level 125,2. Ini sebagaimana dikatakan Ekonom yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty
"Jadi pelemahan daya beli itu terlihat di situ, dari data IKK itu," kata Telisa dalam Program Profit ²©²ÊÍøÕ¾, dikutip Rabu (3/7/2024).
Telisa mengatakan, yang lebih buruk lagi, dari data IKK hasil Survei Bank Indonesia itu ialah seluruh kelompok pengeluaran masyarakat mengalami penurunan indeks. Diikuti pola anomali, yaitu tabungan para konsumen itu ikut turun, yang menandakan pendapatan mereka tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Untuk optimisme konsumen yang turun per pengeluaran, yakni kelompok pengeluaran Rp 1-2 juta turun dari 117,2 pada April 2024 menjadi 114,9 pada Mei 2024, kelompok pengeluaran Rp 2,1-3 juta angka indeksnya turun dari 123,1 menjadi 119,6 juta, kelompok Rp 3,1-4 juta turn dari 130 ke 127,4, kelompok Rp 4,1-5 juta turun dari 132 ke 129,1, dan kelompok di atas Rp 5 juta turun dari 132,8 menjadi hanya 127,8.
Sementara itu, data untuk persentase tabungan terhadap pendapatan mulai terus menurun. Pada April 2024 persentasenya sebesar 16,7%, namun pada Mei 2024 menjadi haya 16,6%.
Demikian juga untuk data porsi konsumsi terhadap pendapatan yang turun. Pada April 2024 masih sebesar 73,6%, namun pada Mei 2024 menjadi 73%. Di sisi lain, komposisi cicilan pinjaman terhadap pendapatan masyarakat malah naik dari posisi April 2024 9,7% menjadi 10,3%, berdasarkan data dalam IKK BI.
"Sekarang itu baik konsumsi maupun tabungan dua-duanya turun. Artinya itu adalah income-nya turun dan cicilan pinjamannya meningkat," tegas Telisa.
Dengan data itu, tak heran deflasi secara beruntun turun pada Mei dan Juni 2024. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2024, indeks harga konsumen atau IHK mengalami deflasi sebesar 0,08% secara bulanan atau month to month (mtm). Data ini turun makin dalam bila dibandingkan deflasi per Mei 2024 yang sebesar 0,03% mtm.
"Yang menjadi kekhawatiran daya beli yang menujukkan kerentanan dalam hal ini. Jadi deflasi itu indikasi dari daya beli masyarakat menurun," ungkap Ekonom dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati.
Lemahnya daya beli itu juga terukur dari anjloknya pembelian barang-barang berdaya tahan lama atau durable goods. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) penjualan wholesales atau penjualan dari pabrik ke diler sepanjang Januari-Mei 2024 yakni sebanyak 334.969 unit. Angka tersebut jeblok 21% year on year (YoY) dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni dengan penjualan 423.771 unit.
"Apakah pemerintah bersedia untuk juga memangkas pajak yang bisa dipangkas, dengan menurunkan pajak-pajak tertentu maka harga jual kendaraan bermotor kita bisa turun, dengan harga turun tadi, maka daya beli masyarakat yang tadi melemah, masih sanggup membeli, harganya masih terjangkau," kata Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto.
Dampak melemahnya daya beli itu juga telah membuat ritel-ritel modern tutup gerai. Peritel modern, Matahari Department Store (Matahari), dikabarkan menutup gerainya yang ada di WTC Serpong dan Mal Balekota Tangerang karena konsumen lebih cenderung membeli barang impor secara daring karena harganya murah.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah. Dia membenarkan penutupan gerai Matahari tersebut dan menyebut hal itu terjadi karena toko kesulitan bersaing dengan barang impor murah.
"Iya untuk Matahari problemnya banyak, barang impor yang masuk Indonesia tanpa bayar pajak, SNI dan sebagainya, itu berat. Jadi kuncinya pengetatan pembatasan untuk barang-barang yang ilegal impor supaya pabrik-pabrik yang membuat barangnya di Indonesia bisa bertahan," kata Budihardjo.
Selain gempuran barang impor, Matahari dan toko ritel lain yang menjual produk brand kenamaan dunia juga ternyata kesulitan menjual barangnya karena kalah bersaing dari produk impor yang dijual murah secara daring alias online shopping.
"Barang dan brand fashion global sulit masuk. Di mal kesulitan menjual. Untuk toko-toko branded yang sudah taat pajak seharusnya dipermudah, sedangkan impor borongan ilegal yang nggak taat pajak diawasi, jadi menaikkan pajak impor bukan solusi," kata Budihardjo.
(haa/haa) Next Article Efek Ngeri Gelombang PHK di Indonesia Mulai Terasa di Kantong Warga RI
