
Tahun Pertama Prabowo Berat: Pajak Seret, Belanja Banyak, Utang Loncat

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾-Direktur Riset Makroekonomi Center of Reform on Economics Akhmad Akbar Susamto memprediksi kondisi fiskal untuk tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan sangat berat. Dia menilai kondisi fiskal tahun 2025 ditandai dengan penerimaan yang melambat, kebutuhan belanja yang banyak, dan utang jatuh tempo yang membludak.
"Utang melebar, kebutuhan semakin ketat dan utang jatuh tempo meningkat, kemungkinan ini terjadi pada 3 tahun pertama pemerintahan baru," kata Akbar dalam diskusi CORE Midyear Economic Review 2024, Selasa, (23/7/2024).
Utang jatuh tempo yang dimaksud oleh Akbar adalah utang yang muncul untuk membiayai anggaran selama pandemi Covid-19. Mengutip data profil jatuh tempo utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo pada 2025 meningkat mencapai Rp 800,33 triliun; lalu pada 2026, utang jatuh tempo juga masih sebesar Rp 803,19 triliun; serta pada 2027 menjadi Rp 802,61 triliun.
"Profil utang jatuh tempo pemerintah pusat pada 2025 sampai 2027 tinggi sekali," kata dia.
Akbar mengatakan ketika utang jatuh tempo yang harus dibayar meningkat, janji-janji kampanye Prabowo-Gibran juga memerlukan anggaran yang besar. Dia mencontohkan salah satu program yang akan membutuhkan dan besar itu adalah untuk Makan Bergizi Gratis.
"Ini harus hati-hati karena pada waktu yang sama pemerintah baru janjinya luar biasa banyak, padahal di waktu yang sama belanja pemerintah melebar, penerimaan melambat dan terjadi defisit yang meningkat," kata dia.
Akbar menilai penambahan utang untuk menutup defisit tersebut juga bukan opsi yang bijaksana. Sebab, biaya utang pemerintah RI tergolong besar. Dia mengatakan imbal hasil utang pemerintah Indonesia tergolong yang paling mahal di dunia. "Ini harus hati-hati dan jadi perhatian," kata dia.
Ketika utang dan belanja meningkat, Akbar mengatakan penerimaan negara, salah satunya dari sektor pajak malah mengalami tren yang menurun. Dia mengatakan tren penurunan itu sudah terjadi pada 2023 dan 2024 seiring dengan melemahnya harga-harga komoditas andalan Indonesia. "Penerimaan pemerintah dari pajak cenderung bergerak sejalan dengan harga komoditas," kata dia.
Dia mencontohkan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang minus 35,7% per Mei 2024. Menurut dia, penurunan PPh itu disebabkan oleh melemahnya harga komoditas di pasar global.
"Ini berpotensi membuat potensi pelebaran defisit, di satu sisi belanja kencang, namun penerimaan melambat," kata dia.
(rsa/mij) Next Article APBN 2024 Diramal Tak Sehebat Tahun 2023, Kenapa?