²©²ÊÍøÕ¾

Ekonomi Dalam Bahaya, Warga RI Butuh 'Paket Kebijakan'

Arrijal Rachman, ²©²ÊÍøÕ¾
08 August 2024 16:20
Warga memadati Pasar Minggu untuk berbelanja, di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (9/4/2024). Menjelang Lebaran warga mendatangi pasar tradisional tersebut untuk berbelanja berbagai kebutuhan. (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)
Foto: (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kalangan ekonom mendesak pemerintah segera mengeluarkan paket kebijakan yang bisa kembali meningkatkan daya beli masyarakat. Sebab, saat ini daya beli masyarakat khususnya kelas menengah tengah tertekan, ditunjukkan dari merosotnya tingkat konsumsi.

"Kelas menengah di Indonesia itu yang hari-hari ini terhimpit," kata Ekonomi dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati dalam Program Closing Bell ²©²ÊÍøÕ¾, Kamis (8/8/2024)

Per kuartal II-2024, konsumsi rumah tangga melambat. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode itu pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya sebesar 4,93%, sedangkan pada kuartal II-2023 tumbuhnya sebesar 5,22%.

Merosotnya konsumsi rumah tangga itu dipicu oleh semakin terkikisnya proporsi pendapatan mereka. Mulai dari maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya, hingga permasalahan deindustrialisasi yang menghimpit penciptaan lapangan pekerjaan formal.

Berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan (kemnaker), jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.

Pada saat yang sama, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB kian menyusut yang menandakan terjadinya deindustrialisasi. Pada kuartal II-2024 distribusi industri pengolahan atau manufaktur ke PDB hanya sebesar 18,52% dari satu dekade lalu masih 23,75%.

"Jadi kita deindustrialisasi ini sudah sangat nyata di Indonesia, dan Indonesia berada dalam data terakhir Bank Dunia itu termasuk kelompok middle income trap. Jadi kita sudah terlalu lama berada di kelas menengah ini, dari pendapatan menengah," ucapnya.

Di sisi lain, Ninasapti mengatakan, rentannya daya beli masyarakat ini juga dipengaruhi terus maraknya proporsi pekerja informal di Indonesia yang data terakhir BPS per Februari 2024 mencapai 59,17%. Sedangkan pekerja formal sebesar 40,83%.

BPS mendefinisikan penduduk yang bekerja di kegiatan formal mencakup mereka dengan status berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar serta buruh/karyawan/pegawai, sedangkan informal ialah yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.

"Nah ini bahaya. Berarti perkembangan di lapangan kerja tidak baik, sehingga ketika ujungnya PHK, maka yang terkena itu bukan lagi hanya kelas miskin, tapi menengah dan menengah atas," tutur Ninasapti.

Karena sumber permasalahannya itu, Ninasapti menyarankan pemerintah untuk segera mengeluarkan paket kebijakan untuk menggeliatkan lapangan usaha formal di Indonesia.

"Kalau di Korea Selatan dan Jepang, yang diberikan insentif lapangan kerja. Jadi perusahaan yang bisa menghasilkan lapangan kerja untuk buruh secara formal itu dapat insentif pajak, direct, dan juga subsidi untuk yang sifatnya SDM," ujar Ninasapti.

"Itu yang sangat penting sekarang untuk masuk ke lapangan kerja. Semuanya untuk lapangan kerja. Untuk transisi menuju perbaikan kelas menengah sebetulnya," tegasnya.

Meski begitu, pemerintah Indonesia memandang daya beli masyarakat masih baik dalam mempertahankan tingkat konsumsinya. Penilaian ini didasari dari sejumlah indikator, mulai dari masih tumbuhnya geliat sejumlah sektor usaha hingga tingkat inflasi yang terkendali.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2024 memang di bawah pertumbuhan nasional, yakni hanya sebesar 4,93%. Namun, ia menekankan kontribusinya terhadap PDB masih dominan, mencapai 54,53%.

"Kontribusinya masih dominan, konsumsi masih 54,3% dari total PDB," kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Senin (5/8/2024).

Beberapa sektor usaha yang terkait konsumsi rumah tangga, ia katakan masih ada yang tumbuh tinggi di atas pertumbuhan PDB nasional sebesar 5,05% per kuartal II-2024. Di antaranya sektor akomodasi dan makanan minuman sebesar 10,17%, serta transportasi dan pergudangan yang tumbuh 9,56%.

"Konsumsi ini tentu kemarin kita didorong Ramadhan, Idul Fitri, dan kegiatan mobilitas masyarakat, termasuk kegiatan-kegiatan di hotel, restoran, dan cafe," ujar Airlangga

Di sisi lain, ia melanjutkan, inflasi masih terjaga di kisaran 2% seiring dengan masih adanya kenaikan inflasi inti. Selain itu, impor barang konsumsi, ia katakan juga masih tumbuh di kisaran 12%, seiring dengan peredaran uang dalam arti luas atau M2 yang mencerminkan likuiditas perekonomian masih memadai, penyaluran kredit yang tumbuh, dan okupansi hotel di atas 50%.

"Jadi kalau kita banyak bicara inflasi, inflasi inti kita tetap naik mendekati 2%, kredit konsumsi juga naik 10,4%, kemudian juga terkait IHK masih, impor barang konsumsi 12%, dari segi peredaran M2 tumbuh 7,2%, an occupancy rate 54%," ungkap Airlangga.

Oleh sebab itu, pemerintah belum mempertimbangkan untuk memberikan paket kebijakan untuk mendorong geliat konsumsi rumah tangga ke depan. Untuk penyaluran bantuan subsidi upah (BSU) seperti saat Covid-19 pun tak masuk radar paket kebijakan saat ini.


(haa/haa) Next Article Konsumsi Warga RI 'Kurang Nampol' di Kuartal I, Ini Penyebabnya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular