²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Eks Presiden Tetangga RI Bayar Polisi Khusus Bunuh Tersangka Narkoba

Thea Fathanah Arbar, ²©²ÊÍøÕ¾
17 October 2024 17:00
Police stop motorists at a checkpoint in Metro Manila, Philippines on Wednesday, March 18, 2020. The Philippine government lifted a 72-hour deadline for thousands of foreign travelers to leave the country's main northern region which has been placed under quarantine due to the growing number of coronavirus infections, officials said. For most people, the new coronavirus causes only mild or moderate symptoms. For some, it can cause more severe illness, especially in older adults and people with existing health problems. (AP Photo/Joeal Calupitan)
Foto: Polisi menghentikan pengendara di sebuah pos pemeriksaan di Metro Manila, Filipina. (AP / Joeal Calupitan)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, kembali menjadi sorotan. Terbongkar bahwa program melawan narkobanya telah membayar pihak polisi untuk membunuh tersangka.

Dilansir The Guardian, Kamis (17/10/2024), seorang mantan kolonel polisi Filipina, Royina Garma, telah bersaksi bahwa kantor Rodrigo Duterte menawarkan polisi hingga US$17.000 atau sekitar Rp263 juta untuk membunuh tersangka.

Berbicara di hadapan komite DPR pada Jumat, Garma mengatakan bahwa ia telah menerima telepon dari Duterte pada bulan Mei 2016, sekitar pukul 5 pagi, yang memerintahkannya untuk menemuinya di kediamannya di Dona Luisa, Davao.

Garma mengatakan bahwa Duterte sedang mencari seorang polisi yang mampu melaksanakan "perang melawan narkoba" secara nasional.

"Saya sudah kenal dengan wali kota Duterte saat itu, karena pernah menjabat sebagai komandan kantor polisi di salah satu kantor polisi di Davao selama masa jabatannya," katanya dalam surat pernyataan tertulisnya.

"Selama pertemuan kami, ia meminta saya untuk mencari seorang perwira atau operator polisi nasional Filipina (PNP) yang merupakan anggota Iglesia Ni Cristo, yang menunjukkan bahwa ia membutuhkan seseorang yang mampu melaksanakan perang terhadap narkoba dalam skala nasional, dengan meniru model Davao," tambahnya.

Mantan kolonel polisi, yang memiliki hubungan dekat dengan Duterte, menyebut ini dilakukan mantan presiden tersebut sebagai bagian dari perang melawan narkoba.

Penindakan keras nasional akan didasarkan pada model yang diterapkan di Davao, tempat Duterte sebelumnya menjabat sebagai wali kota. "Model Davao ini mengacu pada sistem yang melibatkan pembayaran dan penghargaan," kata Garma.

Dalam sidang tersebut, Garma mengatakan bahwa dengan "model" ini, polisi dapat memperoleh penghasilan antara 20.000 peso (Rp5.3 juta) hingga 1 juta peso (Rp268 juta) per pembunuhan, tergantung pada targetnya. Hadiah hanya diberikan untuk pembunuhan, bukan penangkapan.

Laporan ini kemudian memicu seruan agar bukti tersebut dirujuk ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Duterte sebelumnya membantah telah mengizinkan pembunuhan di luar hukum. Namun, ia berulang kali dan secara terbuka mengancam pengedar narkoba dengan kematian sebelum dan selama masa jabatannya sebagai presiden dan mendesak orang-orang untuk membunuh pecandu dan pengedar narkoba.

Pada 2016, ia mengklaim bahwa ia secara pribadi telah membunuh tersangka saat menjabat sebagai wali kota.

Penindakan keras anti narkoba Duterte, di mana kelompok-kelompok hak asasi manusia memperkirakan sebanyak 30.000 orang, sebagian besar pria muda, terbunuh, sedang diselidiki oleh ICC.

Namun Presiden Ferdinand Marcos Jr., yang menjalankan kampanye pemilihan bersama dengan putri Duterte, Sara Duterte pada 2022, sebelumnya mengatakan bahwa ia tidak akan mematuhi ICC.

Marcos Jr. mengatakan bahwa kasus-kasus harus ditangani oleh pengadilan Filipina, dan menggambarkan ICC sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.


(luc/luc) Next Article Berantem dengan Presiden, Wapres Tetangga RI Resign dari Kabinet

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular