
Mengungkap Ambisi Putin di Balik Perang Rusia-Ukraina

Daftar Isi
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Presiden Rusia Vladimir Putin telah menjadi tokoh sentral dalam perang antara Moskow dan tetangganya, Ukraina. Putin memerintahkan militernya untuk menyerang Ukraina Februari 2022 lalu, yang memicu eskalasi terbesar antara Rusia dan negara-negara Barat, yang menolak keras serangan tersebut.
Saat ini, diskusi tahap perdamaian di peperangan itu masih terus dilakukan dengan inisiasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Trump mengatakan bahwa menurutnya, Vladimir Putin menginginkan perdamaian, dan kembali mengangkat bahwa bergabungnya Kyiv pada NATO bukanlah pilihan yang tepat.
Walau begitu, sejumlah pakar menyebut perang ini tidak akan begitu saja selesai sampai Putin benar-benar mendapatkan apa yang diinginkan. Keinginan tersebut berdasar dari pengalaman dan ambisi pribadi Putin.
Dendam Pribadi
Putin dan beberapa sekutunya yang paling terpercaya muncul dari sisa-sisa KGB, badan intelijen era Soviet. Mereka tidak pernah melupakan penghinaan akibat jatuhnya Uni Soviet dan tidak senang dengan cara dunia berubah sejak saat itu.
Putin naik ke tampuk kekuasaan selama kekacauan tahun 1990-an, ketika ekonomi Rusia runtuh dan harus diselamatkan oleh Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, sebuah penghinaan lain bagi bekas negara adidaya tersebut.
Namun sejak 2000, saat Putin menjadi presiden, harga minyak yang terus meningkat membuat Rusia dan banyak warga Rusia lebih kaya dari sebelumnya.
Rusia juga punya suara. Negara itu diundang masuk ke dalam kelompok G7 yang terdiri dari negara-negara ekonomi terbesar di dunia, yang berganti nama menjadi G8 setelah bergabung.
Namun, ini tidak cukup bagi pemimpin Rusia. Direktur Pelaksana German Marshall Fund of United States, Kristine Berzina, menyebut ada ambisi geopolitik besar bagi Putin untuk mengembalikan negaranya menjadi negara yang disegani.
"Putin dengan senang hati membuang semua itu demi warga negaranya karena tujuan geopolitik yang lebih tinggi," kata Berzina.
Rusia kemudian dikeluarkan dari G8, dikenai sanksi oleh Barat, dan dikucilkan di panggung global karena agresinya terhadap Ukraina. Namun, Berzina mengatakan memang bagi Moskow, menjadi yang kedelapan dari G7 pun tidak pernah cukup.
"Itu tidak sesuai dengan pemahaman Rusia tentang keistimewaannya sendiri. Rusia adalah negara terbesar di dunia, terkaya dalam sumber daya (alam), jadi bagaimana mungkin Rusia hanya menjadi salah satu pemain?" tuturnya.
Manfaatkan Trump
Saat ini, baik AS dan Rusia berunding karena Washington membuat perubahan kebijakan di bawah Trump dan bukan karena perubahan mendasar dalam pemikiran Moskow. Dari sisi ini, sebagian analis menyebut bahwa Rusia sejatinya masih belum menang.
Akan tetapi, di sisi lain, Trump ingin perang di Ukraina berakhir secepat mungkin, bahkan jika itu berarti kerugian teritorial lebih lanjut bagi Ukraina. Ini mengunggulkan Putin di atas angin karena ia tidak akan kehilangan banyak hal dari perundingan.
"Putin memasuki Ukraina dengan berpikir bahwa itu akan menjadi operasi yang mudah dan cepat. Tiga tahun kemudian, ia menguasai 20% wilayah Ukraina, tetapi dengan biaya yang sangat, sangat mahal. Maksud saya, pada dasarnya Rusia kalah. Masalahnya adalah Ukraina kalah lebih cepat," kata analis terkemuka Rusia Mark Galeotti kepada CNN.
Bagi Putin dan orang-orang di sekitarnya, dorongan Trump untuk gencatan senjata hanya memberikan kesempatan untuk mengamankan kemenangan cepat sambil tetap memperhatikan tujuan jangka panjang.
"Putin adalah seorang oportunis. Ia suka menciptakan situasi yang dinamis dan kacau, yang memunculkan berbagai macam peluang. Dan kemudian ia dapat memilih peluang mana yang menarik baginya, dan ia dapat berubah pikiran," tambah Galeotti
Rencana Jangka Panjang
Putin dan para pembantunya telah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa tujuan jangka panjang mereka tidak berubah. Bahkan saat mereka berbicara tentang keinginan untuk berdamai, para pejabat Rusia terus bersikeras bahwa 'akar penyebab' konflik di Ukraina harus 'dihilangkan'.
Dalam pandangan Kremlin, 'akar penyebab' ini terkait dengan kedaulatan Ukraina dan Presidennya yang dipilih secara demokratis, Volodymyr Zelensky, serta perluasan NATO ke wilayah timur dalam 30 tahun terakhir.
Putin memerintahkan serangan besar-besaran ke Ukraina pada Februari 2022 untuk memaksa perubahan rezim di Kyiv, dengan rencana untuk membentuk pemerintahan pro-Moskow. Tujuannya adalah mengubah Ukraina menjadi negara bawahan seperti Belarus dan mencegahnya bergabung dengan Uni Eropa dan NATO di masa mendatang.
Ia belum mencapai tujuan itu dengan menggunakan kekuatan militer, tetapi itu tidak berarti ia telah meninggalkannya. Sebaliknya, ia mungkin mencoba mencapainya dengan cara lain.
"Cara termudah bagi Rusia untuk mencapai apa yang diinginkannya di negara lain bukanlah melalui cara militer, tetapi melalui campur tangan dan proses pemilihan," tandas Berzina dari German Marshall Fund of United States.
Ini mungkin alasan mengapa Rusia terus mempertanyakan legitimasi Zelensky dan mendorong pemilihan umum saat Kyiv memberlakukan darurat perang. Ini juga menjadi alasan mengapa Kremlin senang ketika Trump mengadopsi narasi ini dan menyebut pemimpin Ukraina itu 'seorang diktator tanpa pemilihan umum'.
Trump dan wakil presidennya, JD Vance, pun juga telah menolak gagasan bahwa Ukraina dapat bergabung dengan NATO dalam waktu dekat. Putin telah meminta komitmen AS bahwa hal ini tidak akan menjadi bagian dari perjanjian gencatan senjata apa pun.
Namun Berzina mengatakan bahwa sekutu Ukraina di Eropa tidak mempercayai janji Putin bahwa ia akan berhenti berperang jika Ukraina menjadi, sebagaimana ia menyebutnya, netral.
"Apapun yang menurut Trump dan Putin dapat mereka atur minggu ini atau tahun ini, banyak orang di Eropa kini menganggap Putin pada dasarnya tidak dapat dipercaya," katanya.
"Mungkinkah ada keinginan bagi Rusia untuk mencoba lagi secara militer? Tentu. Dan itulah sebabnya orang Eropa sangat jeli melihat potensi keterlibatan militer di masa mendatang."
(luc/luc) Next Article Putin Siap Negosiasi dengan Trump soal Ukraina, Perang Berakhir?
