²©²ÊÍøÕ¾

BPS Klarifikasi Data Kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia

Emir Yanwardhana, ²©²ÊÍøÕ¾
30 April 2025 21:15
Aktifitas kegiatan penghuni Rusun Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (25/6). Sejumlah 10 blok penghuni Rusun Penjaringan di relokasikan ke Rusun Buaya karena rusun tersebut merupakan bangunan lama. Warga yang terkena revitalisasi ini sekitar 600 KK atau 4.160 warga, direlokasi ke Rusunawa Rawa Buaya. Proses relokasi dilakukan berthan hingga batas terakhir para penghuni rusunawa sampai 07 Juli 2019. Menurut warga sekitar pihak pemprov membebaskan masyarakat umum untuk menyewa rusun itu. Hal itu tertuang dalam Pergub No 55 tahun 2018 jo Pergub No 29 tahun 2019. Dalam aturan itu, masyarakat umum berpenghasilan Rp 2,5 - 4,5 juta perbulan nantinya akan dibebankan tarif Rp 765 ribu diluar tagihan listrik dan air. Sedangkan untuk masyarakat terprogram (relokasi) akan dibebankan tarif Rp 505 ribu diluar tagihan listrik dan air. Sebelumnya mereka menyewa di rusunawa ini seharga Rp 50.000. (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti memberikan penjelasan mengenai data terbaru mengenai angka penduduk miskin Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia atau World Bank.

Laporan Bank Dunia berjudul Macro Poverty Outlook edisi April 2025 mengkategorikan mayoritas masyarakat Indonesia sebagai penduduk miskin, dengan porsi sebesar 60,3% dari jumlah penduduk pada 2024 sebesar 285,1 juta jiwa.

Dari persentase ini, artinya, jumlah penduduk miskin RI mencapai 171,91 juta jiwa. Perhitungan itu didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper middle income country) sebesar US$ 6,85 per kapita per hari atau setara pengeluaran Rp 115.080 per orang per hari (kurs Rp 16.800/US$).

Amalia mengimbau semua pihak untuk menyikapi laporan itu secara bijak.

"Mari kita lebih bijak memaknai dan memahami angka kemiskinan bank dunia karena itu bukanlah sesuatu keharusan kita menerapkan, itu hanya referensi saja," kata Amalia, di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (30/4/2025).

Amalia menjelaskan, sebabnya perhitungan 60,3% penduduk Indonesia miskin yang dilakukan Bank Dunia itu menggunakan standar perhitungan berdasarkan kelas menengah atas yang memiliki daya beli yang lebih tinggi. Dengan pengeluaran setara US$ 6,85 per kapita PPP (Purchasing Power Parity).

Sedangkan perhitungan yang dilakukan oleh Indonesia menggunakan dasar pemenuhan kebutuhan dasar. Besarannya adalah Rp 595.242 per bulan. Artinya Bank Dunia memiliki standar perhitungan angka daya kemiskinan yang berbeda dengan yang dilakukan oleh BPS.

"Kita perlu bijak dalam memaknai angka yang disampaikan oleh Bank Dunia mengenai kemiskinan, yang 60,3% itu. Sebagai informasi, yang digunakan standar oleh Bank Dunia dan memperoleh data 60,3% itu adalah standar upper middle cass yang US$ 6,85 per kapita per hari PPP," kata Amalia.

PPP memiliki nilai yang berbeda tergantung dari negaranya. Dalam hal ini yang ditetapkan untuk Indonesia Rp 4.756 pada 2017, sehingga menurut Amalia, tidak bisa semerta-merta bisa dikonversi langsung nilai tukar yang ada saat ini.

"Artinya kita tidak bisa langsung mengonversi dengan nilai tukar saat ini karena itu adalah nilai tukar PPP Base-nya 2017. Makanya angka konversinya akan berbeda," sambungnya.

Dalam laporan itu Bank Dunia juga memberikan ukuran tingkat kemiskinan Indonesia berdasarkan acuan garis kemiskinan dalam bentuk Purchasing Power Parity atau paritas daya beli masyarakat. Adapun, kategori international poverty rate yang ditetapkan sebesar US$ 2,15 per kapita per hari, dan lower middle income poverty rate US$ 3,65 per kapita per hari.

Menurut Amalia, global poverty line yang ditetapkan Bank Dunia itu tidak bisa langsung diterapkan pada seluruh negara. Karena tiap negara memiliki national poverty rate berbeda, yang diukur berdasarkan keunikan maupun karakteristik dari negara tersebut.

"Global poverty line yang ditetapkan Bank Dunia itu tidak sekonyong-konyong langsung bisa diterapkan oleh masing-masing negara," katanya.

Lebih lanjut, Amalia juga menjelaskan BPS juga melakukan perhitungan garis kemiskinan yang berbeda dengan Bank Dunia. Menurutnya perhitungannya menggunakan basis bukan berhasal dari national poverty, melainkan angka kemiskinan di masing-masing provinsi.

"Waktu kita menghitung angka kemiskinan basisnya bukan national povery line, tapi angka kemiskinan di masing-masing provinsi yang kemudian kita agregasi jadi angka nasional," jelas Amalia.

"Dengan demikian kita bisa menunjukan standar hidup di provinsi DKI tidak akan sama dengan standar hidup misalnya di Papua Selatan. Provinsi DKI dan Papua Selatan juga memiliki garis kemiskinan yang berbeda," katanya.


(hsy/hsy) Next Article Jumlah Orang Miskin RI Turun Jadi 24,06 Juta Jiwa di September 2024

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular