Kondisi Pariwisata Global Akhir 2023 & Tantangan Pariwisata RI di 2024

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Beberapa waktu lalu, platform asal Australia, Travel Bounce, merilis laporan terkait pelayanan maskapai penerbangan di dunia. Dalam laporan bertajuk "The 2022 Airline Index", yang didasarkan survei kepada para pelaku perjalanan, Lion Air dinobatkan sebagai maskapai terburuk dengan skor 0,72.
Berdasarkan data, Lion Air memiliki tingkat ketepatan waktu 42,27%, tingkat pembatalan 34,43%, 1/5 untuk makanan dan hiburan dalam pesawat serta 2/5 untuk kenyamanan kursi dan layanan staf.
Di bawah Lion Air, ada Wings Air yang memiliki tingkat ketepatan waktu 49,78%, tingkat pembatalan 20,63%, 1/5 untuk makanan dan hiburan dalam pesawat serta 2/5 untuk kenyamanan kursi dan layanan staf.
Sejatinya, sudah 10 tahun terakhir Travel Bounce selalu mengeluarkan pemeringkatan maskapai terbaik dan terburuk di dunia. Saya mengamati maskapai yang dinilai sebagian besar dari Asia dan yang selalu menjadi yang terburuk.
Semua analis penerbangan di dunia, termasuk di Indonesia, juga mahfum jika banyak maskapai dari Afrika yang dilarang terbang memasuki langit Eropa. Ini lantaran buruknya kualitas keselamatan maskapai-maskapai dari Afrika, ditambah fakta kebanyakan mereka memakai pesawat tua (aging airfcraft).
Pada tahun 2009, semua maskapai dari Indonesia, sebelum terbit UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, memang dilarang memasuki langit Eropa. Namun, pada tahun 2010, situasi berubah setelah Garuda Indonesia sudah bisa masuk ke udara Benua Biru beserta maskapai Mandala Airlines, Tiger Air, Airfast, dan maskapai charter Prime Air.
Setelah beberapa tahun kemudian, barulah maskapai-maskapai yang tersisa atau seluruh maskapai dari Indonesia diperbolehkan oleh otoritas Eropa bisa terbang ke Eropa. Walau pada praktiknya hanya Garuda Indonesia yang terbang ke Eropa dan masuk ke dua kota, Amsterdam (Belanda) dan London (Inggris).
Sampai sekarang ya hanya Garuda saja yang masuk Eropa, dalam hal ini Amsterdam. Faktor persaingan yang ketat ke pasar Eropa menurut saya memicu keengganan maskapai-maskapai tanah air lainnya bertarung di sana.
Sebelum pandemi Covid-19, Citilink pernah punya ide mau membuka rute ke Frankfurt, Jerman. Karena Citilink pada 3 tahun yang lalu pernah mengoperasikan dua pesawat wide body Airbus 330 Neo.
Saat ini juga maskapai Batik air punya ambisi terbang ke Eropa mengingat pemberitaan santer maskapai itu akan mengoperasikan pesawat jenis wide body.
Saya melihat survei Travel Bounce sangat bias dan kurang kredibel. Jelas berbeda dengan lembaga pemeringkat yang paling kredibel dari London, Inggris, Sky Trax, lebih fair.
Setiap tahun mereka juga mengeluarkan hasil penilaiannya dan maskapai dari Ethiopia, yakni Ethiopian Airlines mendapat penilaian maskapai bintang 5. Cukup fair.
Maskapai dari Indonesia, Garuda Indonesia, juga memperoleh bintang 5 dari Sky Trax. Sedangkan maskapai LCC Citilink Indonesia, anak usaha dari Garuda Indonesia, mendapat peringkat bintang 4 untuk kategori maskapai LCC.
Demikian juga Air Asia menyabet best LCC sedunia dari Sky Trax tujuh kali berturut-turut. Padahal, Air Asia jadi bulan-bulanan dari penilaian Travel Bounce.
Jelas memang bias dan cenderung tendensius. Jika keburukan maskapai hanya dari sisi on time atau ketepatan waktu, perlu diingat armada Lion Air dan Wings Air berjumlah sekitar 200 pesawat.
Khusus untuk Wings Air, pesawat-pesawatnya terbang ke daerah terpencil di sejumlah provinsi seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, hingga Papua. Di bandara-bandara wilayah itu, jarang ada fasilitas instrument landing system (ILS) sehingga bila cuaca buruk, pesawat kesulitan balik ke home base karena tidak ada lampu pemandu runway sehingga berakibat delay yang sangat berkepanjangan.
Sama dengan Ryan Air dari Irlandia. Memang jumlah pesawat maskapai itu luar biasa banyak, ada sekitar 500 pesawat, dan Ryan Air terbang ke puluhan negara di Eropa. Tentu faktor kesulitannya sangat kompleks untuk meraih ketepatan waktu yang memadai.
Oleh karena itu, ketika Travel Bounce menilai Lion Air, Air Asia, hingga Ryan Air masuk kategori maskapai terburuk menurut saya tidaklah tepat. Ini mengingat maskapai-maskapai tersebut adalah maskapai yang menguasai pangsa pasar di negara masing-masing.
Mereka pun sukses meraup pendapatan dalam usahanya sehingga sematan maskapai terburuk menurut saya tidaklah tepat dan jauh dari kenyataan. Nyatanya mereka beroperasi secara normal.
Argumen-argumen ini perlu dikupas agar pengguna jasa transportasi udara di Indonesia tidak mengambil kesimpulan yang salah dan menghakimi maskapai kita sendiri. Banyak badan, NGO, dan pemerintah yang bisa mengontrol malapraktek maskaspai di Indonesia bila operator maskapai ngawur.
Kita mempunyai UU Nomor 1 Tahun 2009 di antaranya menyertakan hak kompensasi untuk penumpang yang mengalami delay di atas 3 jam sampai dengan 6 jam ke atas berupa snack hingga hak menginap gratis di hotel.
Artinya, sudah 13 tahun Indonesia mempunyai UU Penerbangan dan bagi operator, sudah bukan zamannya lagi serampangan memberikan pelayanan. Jadi memang sudah 13 tahun ini dunia maskapai di Indonesia makin membaik, tidak seperti yang setiap tahun digembar-gemborkan maskapai kita terburuk di dunia.
Namun demikian, pemberitaan yang menggunakan sumber dari survei Travel Bounce tetap perlu dicermati demi perbaikan layanan, menekan komplain penumpang serta memperbaiki level ketepatan waktu di tahun-tahun mendatang.
Jaya terus maskapai Indonesia. Jadilah raja di tuan rumah dan di regional!