²©²ÊÍøÕ¾

Memprediksi Arah Pembangunan Kekuatan Pertahanan Pasca 2024

Alman Helvas Ali, ²©²ÊÍøÕ¾
27 February 2024 12:20
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel, Jakarta sejak 2019 – sekarang dengan tanggungjawab memberikan market insight kepada Original Equipment Manufacturer asing yang ingin berbisnis di Indonesia. Sebelumnya .. Selengkapnya
Scorpene (NavalGroup.com)
Foto: Scorpene (NavalGroup.com)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum secara resmi mengumumkan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024. Namun hasil quick count sejumlah lembaga survei memprediksi bahwa Prabowo Subianto akan menjadi presiden terpilih.

Berdasarkan kondisi tersebut, tentu saja menjadi pertanyaan tentang bagaimana eks Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus tersebut akan menerjemahkan janji-janji kampanye menjadi program-program kerja yang dapat diterapkan di lapangan.

Sebab semua janji-janji kampanye ketika diterjemahkan menjadi program-program kerja pemerintah harus berkompromi dengan satu fakta, yaitu kapasitas fiskal pemerintah. Harus diingat bahwa kapasitas fiskal pemerintah tidak dapat direkayasa demi kepentingan politik partisan, sebab kinerja ekonomi dapat dikalkulasi secara tepat sehingga penerimaan negara pun dapat diprediksi pula.

Di antara janji-janji kampanye Prabowo  yang menanti perwujudan adalah di sektor pertahanan. Selama beliau menjadi Menteri Pertahanan, terjadi peningkatan belanja pertahanan yang memakai skema Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN) dibandingkan dengan periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kementerian Keuangan hanya mengalokasikan PLN senilai US$ 7,7 miliar untuk Kementerian Pertahanan pada masa 2015-2019, sementara di era Kementerian Pertahanan dipimpin oleh Prabowo angka tersebut melejit menjadi US$ 25 miliar. Begitu pula dengan besaran PDN meroket menjadi Rp 41 trilyun pada periode 2020-2024 dari Rp 15 triliun di kurun waktu 2015-2019.

Namun peningkatan tersebut juga memicu ketidaksepakatan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan. Sebenarnya Kementerian Pertahanan sempat mendapatkan alokasi PLN sebesar US$ 34,4 miliar, akan tetapi Menteri Keuangan tidak setuju di mana ketidaksetujuan itu didukung oleh Jokowi.

Selain itu, perhatian Kementerian Keuangan adalah kemampuan Kementerian Pertahanan untuk menyerap alokasi pinjaman yang diberikan. Hal demikian berkaca pada pelaksanaan daya serap pinjaman pada MEF periode 2015-2019.

Terkait dengan kemungkinan arah pembangunan kekuatan pertahanan 2025-2029 di bawah pemerintahan baru, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, kebijakan fiskal. Masih menjadi pertanyaan tentang bagaimana kebijakan fiskal yang akan dianut oleh pemerintahan baru nanti dan implikasinya terhadap alokasi belanja pertahanan. Apakah pemerintahan baru akan menaikkan pajak sehingga terdapat ruang fiskal yang lebih lebar bagi belanja negara sebagai bagian dari mewujudkan janji-janji kampanye pemilu?

Ataukah pemerintahan baru akan melakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 12 Ayat 3 yang mengatur defisit APBN terhadap PDB maksimal tiga persen? Apakah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang saat ini di kisaran 39 persen akan didongkrak mendekati batas 60 persen?

Sebagaimana diketahui, berbagai janji-janji kampanye Prabowo apabila diterjemahkan menjadi program-program pemerintah akan memerlukan dana yang sangat besar dan belum dapat dipastikan apakah kapasitas fiskal saat ini dapat mengakomodasi hal tersebut atau tidak.

Tanpa keberanian pemerintahan baru untuk membatalkan sejumlah program warisan pemerintahan saat ini yang dipandang oleh publik sebagai kegiatan yang tidak efisien dan tidak perlu, opsi yang tersedia baru pemerintahan baru adalah mencari sumber pendanaan lain guna mewujudkan janji-janji kampanye.

Kedua, prioritas belanja pemerintah. Sampai saat ini masyarakat masih menunggu apa saja kegiatan prioritas pemerintahan baru. Apakah masih tetap di sektor infrastruktur dengan alasan melanjutkan kebijakan pemerintahan saat ini? Ataukah akan ada tambahan kegiatan prioritas lain yang menjadi pembeda pemerintahan baru dengan pemerintahan saat ini?

Mengacu pada APBN, belanja pemerintah menurut fungsi terbagi atas belanja pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan ekonomi kreatif, pendidikan dan perlindungan sosial.

Selama era Presiden Jokowi, belanja pertahanan dalam APBN dari 2016 hingga 2023 tidak pernah menduduki posisi lima besar. Pertanyaannya adalah sektor pertahanan akan masuk peringkat lima besar belanja pemerintah pada era pemerintahan baru? Apabila fungsi pertahanan masuk peringkat lima besar belanja pemerintahan baru, berarti akan ada fungsi lainnya yang mengalami penurunan alokasi anggaran.

Ketiga, kebijakan pertahanan. Dapat dipastikan bahwa kebijakan pertahanan yang akan diadopsi oleh pemerintahan baru secara prinsipil tidak akan berbeda dengan kebijakan pemerintahan saat ini.

Namun apakah pemerintahan baru akan lebih transparan dalam sejumlah hal seperti publikasi dokumen-dokumen strategis (Buku Putih Pertahanan, Doktrin Pertahanan dan Strategi Pertahanan) dan rencana pengadaan sistem senjata?

Apabila mengacu pada praktek-praktek di negara-negara lain, dokumen-dokumen strategis mempunyai dua versi, yaitu versi rahasia dan versi publik. Versi publik adalah dokumen yang telah dibersihkan dari hal-hal yang bersifat rahasia dan sensitif. Arah pembangunan kekuatan pertahanan ke depan akan dapat diketahui pasca presiden baru dilantik pada 20 Oktober 2024.

Pada sisi lain, masih terdapat pekerjaan rumah bagi Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh Prabowo untuk menyelesaikan kontrak pengadaan sejumlah sistem senjata yang telah memiliki Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP).

Hal ini terkait dengan kemampuan Kementerian Pertahanan untuk menyerap PLN yang sudah disetujui oleh Kementerian Keuangan, di mana isu kemampuan penyerapan PLN selalu menjadi isu hangat antara kedua kementerian. Tentu saja menjadi harapan bahwa dengan alokasi PLN senilai US$ 25 miliar, kinerja Kementerian Pertahanan dalam menyerap PLN akan lebih bagus lagi dibandingkan di masa-masa sebelumnya.

Masih terdapat sejumlah program akuisisi yang telah mendapatkan PSP namun belum diterjemahkan menjadi penandatangan kontrak. Satu di antaranya adalah program pengadaan kapal selam, di mana terdapat kecenderungan bahwa Kementerian Pertahanan akan membeli Scorpene buatan Naval Group.

Pertanyaannya adalah akankah kontrak pembelian kapal selam ditandatangani sebelum 31 Maret 2024? Masa berlaku PSP program kapal selam hingga berakhir pada tanggal tersebut.

Permintaan perpanjangan PSP kepada Menteri Keuangan dapat saja dilakukan, namun apakah Menteri Keuangan akan menyetujui permintaan tersebut masih menjadi tanda tanya. Hal ini berkaca pada preseden beberapa program pengadaan lainnya yang tidak mendapatkan persetujuan perpanjangan PSP. Kini nasib program akuisisi kapal selam memasuki masa kritis dan semua hal kembali kepada keputusan Kementerian Pertahanan.


(miq/miq)