²©²ÊÍøÕ¾

Urgen, Indonesia Butuh Lebih Banyak Climate Realist

Aufar Satria, ²©²ÊÍøÕ¾
02 May 2024 20:20
Aufar Satria
Aufar Satria
Aufar Satria merupakan mahasiswa pascasarjana Harvard University yang memiliki pengalaman di bidang konsultan manajemen, sektor pemerintahan, dan sektor swasta. Ia juga menjabat sebagai komisaris Society of Renewable Energi (SRE) Indonesia. Ia memiliki g.. Selengkapnya
A chimney stands next to an empty road in Jincheng, Shanxi province, China November 12, 2018. Picture taken November 12, 2018.  To match Insight CHINA-POLLUTION/ECONOMY.  REUTERS/Joseph Campbell
Foto: Cerobong asap di Jincheng, provinsi Shanxi, China, beberapa waktu lalu. (REUTERS/Joseph Campbell)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Banyak dari calon pemimpin generasi penerus Indonesia yang muda dan cerdas, termasuk Anda, yang bersemangat untuk menjadi pahlawan dalam melawan perubahan iklim-masalah utama generasi saat ini dan mendatang.

Semangat tersebut tercetus setelah Anda melihat berita-berita yang membuat cemas, seperti hancurnya fasilitas daerah maupun korban jiwa akibat meningkatnya frekuensi banjir, kenaikan permukaan air laut, dan kebakaran hutan-semua oleh didorong oleh perubahan iklim.



Di sisi lain, Anda memahami bahwa ekonomi Indonesia ditopang bahan bakar fosil: hampir ~70% bauran energi Indonesia didominasi oleh batu bara. Di belakang itu semua, Anda sering membaca berita mengenai 'mafia fosil' Indonesia dibalik banyak bisnis bahan bakar fosil. Kegelisahan Anda berubah menjadi amarah, dan Anda berteriak: "Tutup pembangkit listrik tenaga batu bara sekarang!" atau "Hentikan produksi minyak hari ini!"

Sebentar. Apakah desakan Anda benar? Secara sekilas, menutup pembangkit listrik dan menghentikan produksi mungkin cara satu-satunya untuk menyelesaikan krisis iklim. Namun, jika dilakukan dengan gegabah, hal ini dapat mengganggu keberlangsungan perekonomian Indonesia-melalui peningkatan tingkat pengangguran, ketidakstabilan ekonomi, dan keresahan sosial.

Sebagai seorang aktivis iklim dan praktisi industri, saya mempelajari bahwa penyelesaian masalah dekarbonisasi di Indonesia tidak semudah menekan 'red stop button' di seluruh aset bahan bakar fosil. Kenyataannya, masalah krisis iklim jauh lebih kompleks. Aksi untuk melawan krisis iklim membutuhkan keseimbangan antara penyelesaian krisis iklim (dekarbonisasi) dan terjaganya kestabilan dan pertumbuhan ekonomi.

Diperlukan paradigma "climate realism," sebagai jalan tengah dari ekstremisme dalam mencapai target dekarbonisasi yang justru dapat membuat pencapaian dekarbonisasi dan Net Zero Emissions Indonesia lebih bijak dan pasti. Tanpa paradigma ini, Indonesia berisiko untuk mengorbankan agenda sosial dan ekonomi lainnya.

Sekarang, bayangkan diri Anda sebagai Presiden Indonesia, orang yang memiliki kekuasaan eksekutif tertinggi di negara ini. Kita lihat bagaimana Anda akan mengatasi isu perubahan iklim.

Pertama, sebagai Presiden, Anda telah berjanji untuk membuat Indonesia menjadi negara maju pada pertengahan abad ini. Pendapatan per kapita negara Anda masih jauh di bawah negara-negara lain. Terlebih lagi, untuk mengejar ketertinggalan, Anda didesak untuk menyelesaikan isu sosial lainnya seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi serta kesetaraan pendidikan. Semua memiliki biaya yang signifikan.

Menteri Keuangan melaporkan kepada Anda bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mencapai Indonesia untuk bebas emisi karbon (Net Zero Emission) adalah sekitar 1 triliun dolar AS hingga 3 triliun dolar AS. Jumlah ini kira-kira setara dengan PDB tahunan negara Anda dan ~15-20 tahun pengeluaran tahunan pemerintah. Anda mulai berpikir bagaimana menyeimbangkan biaya ini dengan kebutuhan biaya untuk prioritas sosial dan ekonomi lainnya.

Dengan biaya tersebut, Anda mulai pusing memikirkan bagaimana biaya ini akan berdampak terhadap keseimbangan neraca fiskal Anda, terutama dampaknya terhadap defisit fiskal dan rasio utang terhadap pendapatan negara. Anda juga harus meminta investor swasta untuk berkontribusi aktif terhadap mitigasi krisis iklim, yang berarti Anda harus merancang strategi untuk membuat investasi tersebut atraktif. Hal ini juga akan membutuhkan biaya.

Menteri Keuangan menganjurkan untuk memotong subsidi bensin agar sumber energi bersih (seperti biofuel) dapat berkompetisi dengan harga bensin. Mendengar rekomendasi ini, Anda mulai memperhitungkan gejolak politik dan kerusuhan rakyat yang akan terjadi, terutama karena banyak orang bergantung pada subsidi bahan bakar fosil untuk bertahan hidup dan menafkahi keluarga mereka.

Selanjutnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan kepada Anda salah satu implikasi dari peningkatan bauran energi terbarukan: harga listrik yang (mungkin) akan lebih tinggi. Jika Anda memutuskan untuk melakukan transisi secara tiba-tiba, tanpa perencanaan yang baik, biaya yang cukup besar diperlukan untuk menanggung kenaikan tarif listrik dan karenanya inflasi dapat terjadi. Lagi-lagi, Anda mimpi buruk mengenai kerusuhan rakyat.

Kementerian Lingkungan Hidup kemudian mengungkapkan konsep "international climate justice," dengan menyampaikan data "global and historical cumulative emissions". Ternyata, negara-negara maju yang telah ber-emisi sejak revolusi industri, bertanggung jawab atas ~80% dari seluruh emisi karbon yang ada di atmosfer. Bahkan krisis iklim tidak akan selesai jika negara maju tidak mengurangi emisi mereka, walaupun negara berkembang seperti Indonesia mencapai Net Zero Emissions.

Di saat yang sama, Anda tahu bahaya perubahan iklim. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan indeks climate vulnerability tertinggi. Hati Anda bergejolak memikirkan anak dan cucu kita yang akan menghadapi krisis ini di masa depan. Beban dari krisis iklim yang harus ditanggung oleh generasi Indonesia sangat menghawatirkan. Anda tetap bertekad untuk melakukan dekarbonisasi.

Kembali ke posisi Anda sebagai pembaca. Ternyata, penyelesaian krisis iklim untuk Indonesia tidaklah sesederhana itu. Lantas, apa yang harus kita lakukan secara kolektif sebagai bangsa Indonesia? Gagasan seperti apa yang dapat dorong untuk menjawab urgensi tantangan krisis iklim tanpa mengorbankan pembangunan ekonomi serta kebutuhan sosial Indonesia?

Kabar baiknya, terdapat jawabannya yaitu konsep "green growth"-dengan melihat dekarbonisasi bukan sebagai beban, tetapi sebagai peluang pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti memprioritaskan aksi dan proyek mitigasi krisis iklim melalui industrialisasi teknologi hijau lokal dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial yang positif untuk Indonesia.

Sebagai contoh, Indonesia dapat membangun fasilitas manufaktur panel surya dan baterai lokal. Seluruh dunia, termasuk Indonesia, akan membutuhkan lebih banyak panel surya dan baterai untuk memenuhi target dekarbonisasi masing-masing. Ketika Indonesia dapat memproduksi panel dan baterai secara mandiri, tidak hanya Indonesia dapat memperoleh pendapatan ekspor, namun Indonesia juga akan menghemat banyak biaya impor.

Berinvestasi di industri hijau lokal juga dapat meningkatkan porsi manufaktur terhadap PDB Indonesia, yang telah menurun selama 20 tahun terakhir. Lapangan kerja berkualitas tinggi akan tercipta, dan economic multiplier effect akan dirasakan Indonesia. Hal ini telah terjadi di RRT selama dekade terakhir; dan buktinya adalah resiliensi ekonomi melalui kapasitas industri hijau yang berkembang pesat.

Prinsip lainnya ialah dengan mendorong solusi iklim yang berdasarkan karakteristik bio-regional Indonesia. Indonesia dikaruniai tiga pilar transisi energi: sumber daya energi baru dan terbarukan yang melimpah (~3.868 GW kapasitas energi terbarukan), critical minerals yang dapat dihilirisasi menjadi produk ramah lingkungan (mis. turunan nikel, kobalt), dan solusi karbon berbasis alam dan biologis yang bervariasi (mis. biofuels, penangkapan alam).

Memanfaatkan tiga pilar ini, dengan fokus industrialisasi lokal, Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat yang beriringan dengan pencapaian target dekarbonisasi.

Peluang-peluang ini tidak dapat hanya dikerjakan oleh segelintir orang Indonesia saja. Kita membutuhkan seluruh anak bangsa, dengan paradigma "climate realist." Kita perlu anak bangsa yang terbaik dan tercerdas, di Indonesia maupun di luar negeri.

Lantas, apa yang dapat Anda lakukan sekarang?

Pelajari teknologi hijau yang mutakhir di luar negeri dan bawa keahlian tersebut kembali ke Indonesia, untuk bangun industrinya. Terlibatlah dalam dialog kebijakan publik yang konstruktif, bukan destruktif, dan berkelanjutan yang dapat berubah dialog belaka menjadi aksi nyata.

Dan terakhir, sebarkan kesadaran untuk menarik lebih banyak 'climate realists'. Gunakan platform, seperti media sosial Anda, untuk mengomunikasikan urgensi aksi iklim dan yang paling penting, gaungkan cerita mengenai peluang ekonomi menarik dari dekarbonisasi ini.

Masa depan Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions sekaligus keluar dari "middle income trap" mencapai Indonesia Emas 2045 ada di tangan Anda, dan kita semua, pemuda-pemudi penerus bangsa Indonesia.


(miq/miq)