²©²ÊÍøÕ¾

Antara Persaingan, Kemitraan, dan Pembagian "Lapak"

Ukay Karyadi, ²©²ÊÍøÕ¾
07 June 2024 17:05
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi seorang ekonom, mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelum terpilih menjadi Komisioner KPPU 2018-2023, Ukay merupakan Tenaga Ahli DPR-RI (2015-2018) dan Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan (2011-2014). Selain itu, le.. Selengkapnya
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengundang sejumlah pihak membicarakan masuknya Starlink ke Indonesia. (²©²ÊÍøÕ¾/Novina Putri Bestari)
Foto: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). (²©²ÊÍøÕ¾/Novina Putri Bestari)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Awal tahun ini bisa dikatakan lebih baik dibanding awal tahun lalu. Itu bila dilihat dari kondisi makroekonomi. Sebab, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia triwulan I-2024 terhadap triwulan I-2023 (year-on-year) tumbuh 5,11 persen.

Artinya, angka pertumbuhan ini lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 5,04 persen. Tentunya, angka pertumbuhan tersebut dilihat dari sisi pelaku usaha disumbang oleh pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) maupun usaha besar alias korporasi.

Mengutip data Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UMKM terhadap perekonomian jauh lebih besar dibanding usaha besar. Tahun 2019, kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas harga konstan sebesar 57,24 persen, sementara usaha besar menyumbang 42,76 persen. Data ini menunjukkan peran penting UMKM dalam perekonomian, tapi akan menjadi ironis bila mengetahui berapa juta unit UMKM yang menyumbang 57,24 persen terhadap PDB tersebut.

Dari 60 juta unit usaha yang ada, 99,9 persennya adalah UMKM, sementara sisanya 0,01 persen adalah usaha besar. Artinya, kue ekonomi yang tercipta akan lebih dinikmati oleh kalangan pelaku usaha besar. Terlebih lagi, bila dilihat serapan tenaga kerja, usaha besar hanya menyerap sekitar tiga persen, sementara UMKM harus menampung 97 persen tenaga kerja.

Kondisi tersebut, apabila dibiarkan akan terus memelihara "beda kelas" antara usaha besar dan UMKM, termasuk "beda nasib" antara pekerja di sektor UMKM dan pekerja yang berkarir di korporasi.

Lazimnya perekonomian negara berkembang, pelaku usaha UMKM mayoritas bergerak di sektor informal dan dikelola secara tradisional, sementara usaha besar bergerak di sektor formal dan dikelola secara modern. Bahkan, usaha besar bisnisnya terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir, maupun integrasi secara horizontal.

Sehingga menciptakan ekosistem bisnis dalam ruang lingkup untuk kepentingan maksimisasi keuntungan. Dengan kondisi seperti itu, dipastikan usaha besar memiliki market power yang bisa mengendalikan harga pasar, dari pasar input (bahan baku) hingga pasar produk turunannya. Pertanyaannya, apakah UMKM harus bersaing dengan usaha besar (meski tidak ada level playing field) atau menjalin kemitraan?

Menurut The Asian Foundation (2000), pembentukan aliansi strategis atau kemitraan antara UMKM dengan usaha besar merupakan mekanisme yang paling penting dan efektif untuk transfer of knowledge serta akses ke pasar yang lebih luas, domestik maupun global.

Dalam aliansi ini, UMKM dan usaha besar melakukan kerja sama yang didasarkan atas kemauan dan kepentingan bersama. Keberhasilan kemitraan ini telah dibuktikan manfaatnya bagi pengembangan UMKM di banyak negara, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Di negara-negara tersebut kemitraan umumnya dilakukan melalui pola sub-kontrak yang memberikan peran kepada UMKM sebagai pemasok bahan baku dan komponen bagi usaha besar. Di Indonesia, secara regulasi negara sudah mendorong agar para pelaku usaha melakukan kemitraan, baik kemitraan antar-UMKM maupun UMKM dengan usaha besar.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU 20/2008) berikut peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 (PP 17/2013) dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM (PP 7/2021) mengamanatkan agar pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha, dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.

Regulasi tersebut menyebutkan bahwa kemitraan antar-UMKM maupun kemitraan antara UMKM dengan usaha besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.

Adapun pola kemitraan adalah dalam bentuk inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi & keagenan, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), outsourcing, dan bentuk kemitraan lainnya.

Namun demikian perlu dicatat, meski regulasi mendorong agar pelaku usaha melakukan kemitraan, tapi apabila kemitraan dibangun dalam kondisi struktur industri yang kurang sehat, maka godaan pelaku usaha besar untuk menyalahgunakan posisi dominannya adalah sangat besar, sehingga merugikan UMKM.

Terlebih lagi, apabila kemitraan tersebut terpaksa dilakukan usaha besar karena dikaitkan dengan perizinan usaha. Misalnya, kemitraan dalam bentuk inti-plasma di sektor perkebunan, yang bisa dikatakan ibarat "kawin paksa" karena kemitraan terjadi karena diwajibkan berdasarkan peraturan, yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata cara Penetapan Hak Guna Usaha (Permen ATR 7/2017).

Permen ATR 7/2017 tersebut menyebutkan bahwa pemegang Hak Guna usaha (HGU) wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling sedikit seluas 20 persen dari luas tanah HGU dalam bentuk kemitraan (plasma). Kemitraan di sektor perkubanan juga, berdasarkan Permentan 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan (Permentan 26/2007), merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P).

Bayangkan, perusahaan perkebunan sebagai inti menyediakan lahan minimal 20 persen untuk petani sebagai plasma. Pastinya, ratusan atau bahkan ribuan petani sebagi plasma dalam konsep kemitraan, harus menjual hasil perkebunannya ke perusahaan perkebunan yang juga memiliki industri pengolahan.

Dengan kata lain, kemitraan inti-plasma tersebut dibangun di atas struktur industri monopsoni, sehingga harga akan lebih ditentukan oleh pembeli (perusahaan perkebunan). Kondisi seperti itu, tentunya terjadi juga di pola kemitraan lain, seperti waralaba dan subkontrak, apabila kemitraan yang terjadi "berat sebelah" alias lebih menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya.

Oleh karena itu, adalah sangat tepat apabila UU 20/2008 jo PP 17/2013 memberi mandat kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan. Dan untuk itu, KPPU diamanatkan untuk membuat peraturan mengenai tata cara pengawasan pelaksanaan kemitraan.

KPPU sudah menerbitkan Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pengawasan dan Penanganan Perkara Kemitraan (Per-KPPU 4/2019), yang kemudian direvisi dengan terbitnya Per-KPPU 2/2024.

Sejak tahun 2019, KPPU mulai aktif mengawasi kemitraan antara UMKM dengan usaha besar. Dengan mengedepankan pencegahan, KPPU melakukan penyelesaian persoalan kemitraan melalui upaya-upaya advokasi yang bertujuan agar masing-masing pihak yang bermitra memperhatikan prinsip kemitraan dan menjunjung etika bisnis yang sehat.

Selain itu, penyelesaian permasalahan kemitraan dilakukan dengan proses "mediasi" antar pihak yang bermitra agar memperbaiki pelaksanaan kemitraan. Hal apa saja yang harus diperbaiki diperintahkan oleh KPPU melalui Peringatan Tertulis. Pelaku usaha diberikan kesempatan perbaikan hingga tiga kali Peringatan Tertulis.

Hingga 2023 terdapat 13 kasus kemitraan yang diselesaikan melalui pemberian Peringatan Tertulis. Namun, apabila tidak dapat diselesaikan juga, maka dilakukan penanganan perkara melalui mekanisme persidangan yang outputnya berupa Putusan KPPU, dimana yang terbukti melanggar diberi sanksi berupa denda hingga rekomendasi pencabutan izin (yang harus ditindaklanjuti lembaga yang mengeluarkan izin).

Tentunya, perkara kemitraan yang ditangani KPPU adalah sebagian kecil dari persoalan kemitraan yang terjadi. Dan juga akan menjadi kurang efektif bila akar persoalannya tidak diselesaikan, yaitu bagaimana dari awal agar kemitraan dibangun sebagai langkah strategis untuk terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UMKM.

Konkretnya, dari proses produksi yang panjang, dari hulu hingga hilir, harus jelas mana yang merupakan "lapak" UMKM mana yang bagian usaha besar. Misalnya saja, perusahaan pengolahan (manufaktur) skala besar tidak perlu terintegrasi secara vertikal dengan pemasok bahan baku (di sektor hulu), cukup bermitra dengan UMKM sebagai pemasok bahan baku.

Keterkaitan yang kuat antara usaha besar dan UMKM akan membuat pertumbuhan ekonomi yang tercipta tidak hanya membuat usaha besar makin besar, melainkan juga membuat UMKM naik kelas.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation