²©²ÊÍøÕ¾

Penurunan Kelas Menengah RI Peringatan Bagi Agenda Ekonomi Prabowo?

Andrew Delios, ²©²ÊÍøÕ¾
18 October 2024 10:30
Andrew Delios
Andrew Delios
Andrew Delios merupakan Profesor di Department of Strategy & Policy, NUS Business School, National University of Singapore. Ia menyelesaikan PhD-nya pada tahun 1998 di Richard Ivey School of Business, University of Western Ontario. Ia menjadi Fellow di A.. Selengkapnya
Sejumlah pekerja menyantap makan siang di pusat kuliner di kawasan Jakarta, Jumat (6/9/2024). (²©²ÊÍøÕ¾/Tri Susilo)
Foto: Sejumlah pekerja menyantap makan siang di sebuah pusat kuliner, Jakarta, Jumat (6/9/2024). (²©²ÊÍøÕ¾/Tri Susilo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Di Indonesia, impian kenaikan status sosial ke level yang lebih baik, semakin memudar. Kelas menengah Indonesia, yang pernah menjadi simbol kemajuan ekonomi negara, telah menyusut hingga 9,5 juta orang dalam lima tahun terakhir, meskipun total populasi meningkat dari 267 juta menjadi 289 juta.

Statistik mengejutkan yang diungkapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini juga menunjukkan bahwa persentase penduduk yang masuk sebagai kelas menengah berdasarkan pengeluaran, turun dari 21,4% pada 2019 menjadi 17,1% pada 2024.

Kabar ini mungkin mengejutkan bagi sejumlah orang, tetapi jika kita melihat pondasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan di seluruh Asia Tenggara, hal ini tidaklah mengherankan. Penurunan ini sangat berpengaruh bagi Indonesia dan berpotensi mengganggu kestabilan negara, karena kelesuan ekonomi bisa memicu ketidakpuasan sosial.

Di tengah kabar ekonomi yang tak terduga, para pembuat kebijakan kerap mencari kambing hitam eksternal. Kepala BPS mengaitkan penurunan kelas menengah dengan dampak pandemi Covid-19.

Sekilas, penjelasan ini terdengar masuk akal karena Covid-19 memang memiliki dampak yang parah pada masyarakat dan ekonomi. Lockdown untuk mengendalikan dan mengurangi pandemi membuat banyak yang kehilangan pekerjaan serta penurunan pengeluaran konsumsi rumah tangga antara Maret 2020 hingga awal 2022.

Namun, dua tahun telah berlalu sejak pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 terjadi, banyak negara dunia sudah kembali ke situasi normal. Negara-negara tersebut juga bangkit kembali dalam kinerja ekonomi mereka - NASDAQ telah melonjak dengan kenaikan 37% sejak awal tahun hingga akhir September 2024.

Jadi, mengapa pemulihan ekonomi Indonesia lebih lambat dari yang diharapkan? Perlambatan yang berkepanjangan menunjukkan adanya beberapa fundamental ekonomi yang mempengaruhi kemampuan negara untuk beradaptasi. Di antaranya ketahanan perusahaan, kewirausahaan, dan pemberdayaan masyarakat.

Waktunya untuk perubahan
Daripada menyalahkan Covid-19, sangat penting bagi para pembuat kebijakan Indonesia untuk mempertimbangkan tiga faktor ini sebagai alasan di balik pemulihan yang lebih lambat dari yang diharapkan. Yang penting, presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto, dapat memanfaatkan penurunan kalangan kelas menengah ini sebagai katalis untuk agenda ekonominya.

Masyarakat Indonesia sebagian besar telah mempercayakan Prabowo untuk membawa negara mereka ke garis depan ekonomi ASEAN dan lebih menonjol di panggung ekonomi global. Negara ini memiliki potensi ekonomi yang besar.

Tidak hanya menjadi rumah bagi hampir 300 juta orang, tetapi juga memiliki populasi terbesar keempat di dunia serta kekayaan mineral yang luar biasa. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, kedua dalam timah, dan salah satu dari sepuluh besar penghasil tembaga, emas, dan batubara.

Faktanya, kebangkitan demografis Indonesia setelah 1997 menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini dicontohkan dengan baik oleh kebijakan ekonomi Presiden Jokowi - yang akan segera lengser - yang fokus pada pembangunan infrastruktur dalam skala besar dan pembangunan sumber daya manusia, yang mencontoh strategi ekonomi negara Asia yang sukses seperti Jepang, Singapura, dan Republik Rakyat China.

Indonesia mungkin bergerak efektif di jalur ini dalam sepuluh tahun terakhir di bawah kepemimpinan Jokowi, tetapi menyusutnya kelas menengah mengisyaratkan bahwa masih banyak yang perlu dilakukan.

Memasuki era pemulihan
Prabowo diuntungkan dengan dukungan politik untuk membuat keputusan yang diperlukan. Sekarang, keputusan dan kebijakan untuk memperdalam pondasi pertumbuhan ekonomi perlu dibuat. Ada tiga area fokus yang perlu diperhatikan untuk kebijakan di masa depan.

Pertama adalah Ketahanan. Ini lebih dari sekadar memiliki basis industri yang beragam. Terutama bagi perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, mereka harus membudayakan inovasi, menyambut ide-ide baru, dan memberdayakan karyawan untuk terus berkembang.

Meskipun ini terdengar mudah, mengubah budaya perusahaan membutuhkan kepemimpinan yang berkomitmen. Saat para pembuat kebijakan memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia, perusahaan juga harus menekankan desain ulang organisasi bersamaan dengan peningkatan keterampilan teknis.

Kedua, Indonesia harus memanfaatkan semangat kewirausahaan dari populasi mudanya. Negara ini memiliki populasi Gen-Z yang muda, energik, dan paham digital. Sebanyak 75 juta penduduk melek digital ini memiliki pemahaman yang lebih luas tentang kemungkinan ekonomi dan sosial dibandingkan generasi sebelumnya.

Mereka memiliki ide baru dan potensi mempercepat ekonomi melalui penciptaan bisnis baru. Namun, tantangan mereka adalah akses modal dan dukungan kewirausahaan. Dengan menerapkan kebijakan yang memfasilitasi pendanaan, bimbingan, dan jaringan, pemerintah dapat membuka potensi ini dan menciptakan pendorong pertumbuhan ekonomi baru.

Ketiga yang sama pentingnya, yakni memberdayakan 25 juta orang Indonesia yang hidup di bagian bawah angka kesejahteraan. Penyusutan kelas menengah tidak hanya mencerminkan penurunan kekayaan, tetapi juga lambatnya peningkatan kesejahteraan dari kemiskinan.

Sementara kota-kota besar seperti Jakarta berkembang, memprioritaskan kebutuhan masyarakat miskin di pedesaan sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Memberi mereka hidup di atas level rata-rata, tidak hanya mendorong kebangkitan ekonomi Indonesia, tetapi juga memenuhi tugas pemerintah untuk meningkatkan taraf kehidupan warganya.

Tantangan yang dihadapi Indonesia sangat besar, tetapi potensi imbalannya bahkan lebih besar lagi. Indonesia berada di persimpangan jalan; akankah negara ini melanjutkan jalur ketimpangan yang semakin melebar dan mimpi yang semakin memudar, atau akankah memanfaatkan momen ini untuk membentuk model ekonomi baru yang menguntungkan semua warganya?

Jawabannya tidak hanya terletak pada kebijakan Prabowo, tetapi juga pada kehendak kolektif rakyat Indonesia untuk membangun masa depan yang lebih cerah bersama.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation