²©²ÊÍøÕ¾

Impotensi PBB, ICJ, dan ICC di Persimpangan Konflik Israel & Palestina

Nino Nafan Hudzaifi, ²©²ÊÍøÕ¾
27 December 2024 16:15
Nino Nafan Hudzaifi
Nino Nafan Hudzaifi
Nino Nafan Hudzaifi atau akrab disapa Nino merupakan salah satu anggota tim hukum di Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN). Nino adalah sarjana lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Pada tahun 2021, Nino dianugerahi gelar sebagai salah satu mah.. Selengkapnya
Infografis, Gencatan Senjata Israel-Hamas
Foto: Ilustrasi konflik Israel vs Palestina. (Edward Ricardo/²©²ÊÍøÕ¾)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-11 Developing Eight (D-8) di Kairo, Mesir, Kamis (19/12/2024), Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto secara tegas menyoroti perselisihan di antara negara-negara muslim telah melemahkan pengaruh kolektif mereka untuk mendukung penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Pernyataan yang didasarkan pada pemahaman akan isak tangis, rasa ketakutan, kecemasan, dan kesengsaraan warga Palestina di tanah airnya tersebut sejatinya mencerminkan urgensi untuk membangun solidaritas global dalam menghadapi tragedi kemanusiaan yang terus berlarut-larut.

Hingga kini, dunia menyaksikan serangan militer, blokade Gaza, pengusiran dan perampasan tanah di Tepi Barat, serta serangan terhadap infrastruktur sipil Palestina
oleh Israel yang amatlah jauh dari makna frasa "memanusiakan manusia".

Menurut laporan Al Jazeera per 22 Desember 2024, konflik ini telah merenggut 47.215 jiwa, yang termasuk 17.661 di antaranya adalah anak-anak. Dengan lebih dari 122.607 korban luka-luka dan 11.000 lainnya masih belum ditemukan.

Fakta bahwa banyak warga sipil Palestina yang tak memiliki salah apapun turut menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia sungguh telah menjadi dasar kuat bahwa tindakan ini tidak dapat dibiarkan lebih lama lagi.

Namun, mekanisme hukum internasional yang diharapkan solutif untuk membuat masyarakat internasional terkesan, nyatanya jauh dari kata efektif apalagi hingga bisa dianggap berperan. Lembaga-lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) menghadapi kendala struktural dan politis yang membuat keadilan bagi Palestina menjadi terkesan utopis.

Hak Veto dan Pengaruh AS dalam PBB
Selain tindakan keji Israel didasari oleh semangat zionisme, trauma sejarah seperti Tragedi Holocaust juga telah mengakibatkan negara-negara barat memberikan
dukungan besar kepadanya untuk menghindari tuduhan antisemitisme atau kebencian terhadap orang-orang Yahudi, termasuk Amerika Serikat (AS).

Pengaruh AS dalam Dewan Keamanan PBB (DK PBB) menjadi salah satu faktor utama stagnasi resolusi konflik Israel-Palestina. Sebagai anggota tetap DK PBB, AS telah menggunakan hak vetonya sebanyak 49 kali untuk menggagalkan resolusi terkait konflik ini.

Hak veto yang diatur dalam Pasal 27 Piagam PBB memungkinkan anggota tetap DK PBB untuk membatalkan keputusan, ketetapan, ataupun rancangan resolusi terlepas dari dukungan mayoritas.

Tidak hanya itu, AS juga menjadi satu-satunya negara yang selalu berperan dalam menggagalkan upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB. Padahal, status
keanggotaan penuh ini dapat memperkuat posisi Palestina dalam perundingan atau diplomasi internasional serta memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat dan
efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia serta upaya penjajahan di wilayahnya.

Dominasi AS ini menunjukkan bias struktural dalam sistem PBB yang seharusnya mendukung kemerdekaan dan kesetaraan antarnegara. Pengaruh signifikan AS tersebut mengakibatkan PBB impoten dan alhasil terus melanggengkan penjajahan di atas dunia.

Jika praktiknya demikian, Pasal 27 Piagam PBB yang memberikan hak veto kepada AS tersebut telah nyata menjauhkan komunitas internasional dari semangat menciptakan dunia yang lebih setara pascaperang dunia kedua.

Tak ayal jika Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D., selaku Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dalam suatu kesempatan menyatakan
bahwa hukum internasional sejatinya merupakan hukum rimba, yang memiliki arti bahwa pihak yang kuat adalah pihak yang menang.

Lemahnya Pelaksanaan Putusan ICJ dan Surat Perintah Penangkapan ICC
Sejauh ini, telah terdapat Putusan ICJ terhadap gugatan Afrika Selatan atas dugaan genosida oleh Israel yang menyatakan bahwa pendudukan wilayah hingga operasi
militer Israel di wilayah Palestina adalah tindakan ilegal dan harus diakhiri selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak putusan dibacakan.

Putusan ICJ tersebut berdasar pada Pasal 94 ayat (1) Piagam PBB dan Pasal 41 Statuta ICJ bersifat mengikat bagi setiap negara anggota PBB yang bersangkutan dalam kasus.

Namun, perlu diingat bahwa hukum internasional merupakan positive morality atau hukum yang sanksinya tidak dapat dipaksakan oleh entitas manapun. Oleh karenanya, setiap Putusan ICJ tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya atau bergantung pada konsensus ataupun kerelaan negara yang bersangkutan.

Hal di atas lah yang menjadi salah satu faktor Israel masih memiliki opsi untuk terus melanggar isi Putusan ICJ. Bahkan, setelah Putusan ICJ ditindaklanjuti dan dikuatkan dengan terbitnya Resolusi Majelis Umum PBB ES-10/2024, resolusi ini tidak serta-merta berhasil menghentikan Israel dari segala tindakan ilegalnya di wilayah Palestina.

Terlihat jelas bahwa kelemahan utama Putusan ICJ ini terletak dari efektivitas penerapan dan pelaksanaannya yang terlampau sangat lemah, terlebih jika negara yang
bersangkutan tidak kooperatif.

Selain Putusan ICJ, ICC juga telah menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu, Perdana Menteri Israel. Perlu diketahui, di Israel sendiri, peringatan terkait ancaman resesi dan krisis ekonomi dari sejumlah pihak hingga gejolak politik dalam negeri terus mengudara seiring kebijakan agresi militer yang terus dilangsungkan oleh rezim Netanyahu.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu sejatinya bukan hanya penting bagi Palestina, tetapi juga bagi segenap masyarakat Israel yang resah atas political will rezim Netanyahu dalam menyikapi konflik Israel-Palestina.

Surat perintah penangkapan ini merupakan bagian dari tahap investigasi ICC menyusul tahap Pra-Persidangan I pada 5 Februari 2021 yang menyatakan bahwa ICC berwenang dan dapat mengadili situasi di Gaza dan Tepi Barat.

Jika Netanyahu ditangkap, pergantian kepemimpinan dalam Pemerintahan Israel dinilai akan memberikan secercah harapan untuk terciptanya perdamaian di tanah Palestina. Sayangnya, ICC tidak memiliki aparat penegak hukum yang independen yang memiliki kapasitas untuk mengeksekusi surat perintah penangkapannya.

Imbasnya, eksekusi surat perintah penangkapan lagi-lagi akan sangat bergantung pada bagaimana seluruh negara merespons terbitnya surat tersebut. Namun, penting untuk dicatat juga bahwa hanya negara anggota ICC atau negara yang telah menandatangani Statuta Roma yang memiliki kewajiban untuk menangkap terdakwa.

Sekalipun terdapat negara anggota ICC yang berkomitmen untuk mengeksekusinya, kebiasaan internasional sejauh ini sama sekali tidak memiliki preseden di mana suatu negara menangkap pimpinan negara lain.

Terlebih, pelaksanaan penangkapan seorang pemimpin suatu negara sangat lekat dengan potensi timbulnya konflik kepentingan antarnegara maupun dalam lingkup internal di negara yang bersangkutan itu sendiri.

Adanya risiko politik yang dapat menghancurkan hubungan bilateral maupun regional mengakibatkan negara-negara pihak pada Statuta Roma sering kali dihadapkan dilema besar. Dilema tersebut ialah mereka dihadapkan pada pilihan untuk untuk memenuhi kewajiban internasionalnya atau menjaga stabilitas domestik dan hubungan diplomatik yang mereka miliki pada status quo.

Two-State Solution: Harapan di Tengah Ketidakpastian
Meski memiliki sejumlah kelemahan, mengupayakan Putusan ICJ dan surat perintah penangkapan ICC dapat tereksekusi secara konkret tetap menjadi jalan penting untuk membuka solusi dua negara (two-state solution) dalam konflik Israel-Palestina.

Two-state solution adalah suatu konsep solusi yang menekankan pada pengakuan kemerdekaan Israel dan Palestina sebagai dua negara independen yang mampu hidup berdampingan secara damai.

Dalam hal ini, Putusan ICJ yang memerintahkan penghentian agresi dan pendudukan ilegal Israel memberikan arah bagi terciptanya perdamaian terhambat akibat rezim Netanyahu enggan menaati perintah tersebut. Oleh sebab itu, langkah ini perlu dibarengi dengan pelaksanaan surat perintah penangkapan ICC terhadap Netanyahu guna mengakhiri kekerasan dan agresi yang terus berlangsung.

Dengan demikian, keadilan dan penghormatan terhadap perdamaian dunia dapat menjadi pintu masuk yang membuka jalan bagi realisasi two-state solution. Akan tetapi, menyadari akan rumitnya sistem hukum internasional yang berlaku saat ini, Indonesia juga harus memulai langkah-langkah alternatif yang lebih strategis dalam menyikapi konflik Israel-Palestina:

Pertama, pemberian sanksi-sanksi politik maupun ekonomi terhadap Israel. Indonesia harus memimpin dan menjadi garda terdepan untuk menciptakan situasi internasional yang mampu membuat Israel merasakan kehilangan kepercayaan dari negara lain dengan dikucilkannya mereka dari pergaulan internasional.

Embargo perdagangan bahkan bila perlu hingga pemutusan hubungan diplomatik perlu dilakukan guna menciptakan isolasi internasional yang memaksa Israel menghentikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Kedua, memperkuat pengaruh internasional melalui pendekatan nonkoersif, seperti budaya, pendidikan, dan hubungan antarmasyarakat. Teori soft diplomacy menekankan daya tarik dan persuasi, dibandingkan kekuatan militer atau ekonomi.

Indonesia dapat memanfaatkan hubungan sejarah dan solidaritas dengan Palestina melalui program budaya, dialog antaragama, serta konferensi perdamaian yang melibatkan pemimpin lintas agama dan bangsa. Pendekatan ini memperkuat posisi Indonesia sebagai pendukung resolusi damai dan pejuang hak asasi manusia.

Dalam skala global, kedua langkah tersebut harus menjadi upaya bersama seluruh negara untuk menciptakan perubahan struktural dan sistematis yang mampu
memberikan tekanan nyata terhadap Israel dalam konflik dengan Palestina.

Namun penting untuk dicatat bahwa langkah ini juga harus tetap menghormati norma perdagangan internasional dan menjaga hubungan bilateral strategis antarnegara.

Penggalan Pembukaan UUD NRI 1945 yang berbunyi, "...melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial," tetap menjadi kompas moral bagi Indonesia dan komunitas internasional.

Dalam konteks ini, perjuangan bagi kemerdekaan Palestina adalah manifestasi nyata dari nilai-nilai tersebut. Dengan memperkuat solidaritas internasional dan memaksimalkan peran internasional, Indonesia dapat berkontribusi pada terciptanya perdamaian yang berkeadilan di tanah Palestina.

Mengingat Palestina sendiri sejatinya bukan hanya sekadar sepetak tanah yang sedang menjadi objek untuk diperebutkan, melainkan simbol perjuangan menuju tatanan dunia yang adil, di mana martabat manusia ditegakkan di atas puing-puing penindasan.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation