Menerapkan Perjalanan Cloud Native dan Transformasi AI

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Di era kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI), pembelajaran mesin (machinne learning), dan otomasi (automation) yang mentransformasi industri, sektor aviasi membuktikan bahwa kinerja manusia tidak tergantikan. Meskipun mesin menghadirkan kecepatan, presisi, dan skalabilitas, ada dimensi aktivitas penerbangan yang hanya dapat diatasi oleh intuisi, pengalaman, dan penilaian manusia.
Peran manusia sangat penting karena kemampuannya untuk beradaptasi dalam situasi tak terduga. Komputer atau mesin mengandalkan data yang telah dikumpulkan sebelumnya, namun manusia unggul saat pengambilan keputusan dalam skenario yang dinamis dan tidak dapat diprediksi. Mesin mengidentifikasi pola, namun manusia mampu merancang solusi inovatif dan kreatif untuk tantangan pekerjaan yang kompleks.
Manusia juga menggunakan kecerdasan emosionalnya untuk menangani penumpang yang panik, marah hingga meredakan konflik, interaksi manusia adalah kunci untuk menjaga kepercayaan, keamanan dan keselamatan penerbangan.
Industri aviasi telah lama memanfaatkan teknologi sebagai faktor pendukung, saat ini komputer telah dilengkapi algoritma pemantau risiko, namun tidak melepas keterlibatan manusia selaku pengawas untuk memastikan semua sistem bekerja dengan baik. Dalam dunia penerbangan, sinergi antara kinerja manusia dan efisiensi mesin bersifat transformatif. Kemampuan berpikir kritis dan kesadaran situasional tidak dapat ditiru oleh algoritma apa pun.
Manusia memainkan peran yang sangat penting dalam keselamatan penerbangan namun kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia, seperti kelelahan, miskomunikasi atau misintepretasi jumlahnya telah melebihi kegagalan teknis komponen pesawat.
Era pascapandemi Covid-19 meningkatkan kekhawatiran di kalangan pekerja aviasi akibat tingginya ketidakpastian. Survei dan penelitian terbaru di Eropa dan Amerika menyoroti tingkat stres, kecemasan, dan depresi yang mengkhawatirkan dalam kelompok profesional ini.
Faktor-faktor ini jika tidak ditangani, tidak hanya berdampak pada kesehatan individu yang bersangkutan tetapi juga keselamatan dan operasional penerbangan. Kesehatan mental diakui sebagai komponen vital dalam sistem manajemen keselamatan (Safety Management System/ SMS) penerbangan namun sampai saat ini belum ditekankan secara eksplisit sebagaimana kesehatan fisik.
Setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day (WMHD). Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental dan memobilisasi upaya untuk mendukungnya.
Komunitas aviasi Indonesia pun tak ketinggalan membahasnya dalam beberapa webinar dengan tujuan membangun pemahaman semua pemangku kepentingan serta menghilangkan stigma. Saat ini stigma yang melekat pada masalah kesehatan mental adalah sensitivitas karena rasa dihakimi, penderitanya terancam kehilangan pekerjaan bahkan lisensi sehingga mereka takut untuk mencari pertolongan.
Meningkatkan kualitas kesehatan mental di industri penerbangan sangat penting untuk keselamatan, produktivitas, dan kepuasan karyawan. Menerapkan berbagai strategi untuk mendukung kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis, dapat mendorong karyawan menjadi lebih sehat, produktif dan menjaga standar keselamatan.
Flight Safety Foundation menyerukan dalam publikasi bulan November 2024 atas peran aktif seluruh pemangku kepentingan dalam komunitas penerbangan, termasuk regulator, maskapai penerbangan, profesional kesehatan, dan para pekerja aviasi, untuk menumbuhkan lingkungan di mana kesejahteraan mental psikologis diprioritaskan selain kesehatan fisik.
Indonesia perlu mengintegrasikan kesehatan mental ke dalam kerangka sistem manajemen keselamatan (SMS) penerbangan. Hal ini membutuhkan pendekatan holistik yang mencakup akuntabilitas, keadilan dan kepercayaan, memastikan bahwa kesehatan mental adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam budaya keselamatan yang lebih luas.
Integrasi ini dapat difasilitasi dengan mengembangkan protokol kesehatan mental, pelatihan bagi seluruh staf tentang kesehatan mental, dan menetapkan mekanisme pelaporan dan dukungan yang jelas. Dengan melakukan hal ini maka industri penerbangan dapat menumbuhkan ekosistem yang tidak hanya mengutamakan keselamatan fisik tetapi juga kesejahteraan mental psikologis para pekerjanya, dan pada akhirnya menghasilkan langit Indonesia yang lebih aman dan nyaman.