Menyoal Penggabungan Pelni dan ASDP ke dalam Pelindo


Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana menggabungkan operator pelayaran penyeberangan pelat merah PT ASDP dan pelayaran penumpang PT Pelni ke dalam Pelindo. Sayangnya rencana ini belum jelas bagaimana-bagaimananya.
Menteri BUMN Erick Thohir sepertinya tak berpikir panjang dengan gagasan penggabungan tadi. Sebagai entitas yang kelak menampung kedua kedua perusahaan pelayaran tersebut, Pelindo, operator pelabuhan milik negara, melalui Direktur Utamanya Arif Suhartono mengungkapkan bahwa belum ada pembahasan terkait rencana dimaksud.
Menurutnya pembahasan masih berada di lingkup Kementerian BUMN.Penggabungan (merger) BUMN memang merupakan salah satu program yang diusung oleh Erick sejak ia menjabat Menteri BUMN mulai dari zaman Presiden Joko Widodo hingga kini dalam kabinet Prabowo Subianto. Namun ide merger perusahaan pelat murni tidak murni besutannya.
Dalam konteks penggabungan Pelindo, menurut Sabri Saiman, seorang tokoh kepelabuhanan nasional, gagasan merger sudah muncul jauh sebelum Jokowi menjadi orang nomor satu di Indonesia dan Erick sebagai Menteri BUMN. Sabri sendiri merupakan salah seorang yang getol mewacanakan penggabungan Pelindo kala itu.
Alasannya, dengan berdirinya Pelindo I, II, III dan IV yang masing-masing setara dalam kedudukan dan kewenangan sementara lini bisnis yang digarap senada-seirama, jelas sektor pelabuhan nasional tidak efisien dengan adanya redundansi dan replikasi peralatan, SDM, dan lain-lain.
Sedikit mengutip sejarah Pelindo, keempat perusahaan kepelabuhan milik negara itu didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang diterbitkan pada 1991. Yang membedakan hanya nomor PP-nya saja.
Pelindo I yang wilayah kelolaannya mencakup empat provinsi: NAD, Sumatra Utara, Riau dan Kepulauan Riau, mendapat nomor 56. Pelindo II, mengelola Pelabuhan di sepuluh provinsi, antara lain, Sumatra Barat, Jawa Barat dan Kalimantan Barat, diberi PP bernomor 57.
Sementara itu Pelindo III, dengan wilayah kerja meliputi Jawa Timur hingga NTT, PP No. 58. Adapun Pelindo IV, merentang dari Kalimantan Timur hingga Papua Barat, mendapat penetapan Peraturan Pemerintah No. 59.
Kini semua Pelindo ini sudah melebur menjadi satu dan Sabri beserta pemangku kepentingan lainnya bisa bernafas lega karena apa yang mereka suarakan akhirnya terwujud juga, yaitu bersatunya Pelindo.
Tantangan Merger
Pelindo dinilai banyak pihak berhasil dan sejauh ini ada sejumlah pencapaian yang patut diapresiasi. Namun tidak berarti tidak ada masalah atau tantangan yang mencuat dan sampai derajat tertentu belum dapat diatasi oleh top management sampai saat ini.
Saya tidak hendak membahas hal ini dalam tulisan ini. Fokusnya adalah dengan akan bergabungnya Pelni dan ASDP ke dalam jajaran Pelindo masalah/tantangan itu berpeluang bertambah besar yang jika tidak cerdas mengelolanya akan berujung tenggelamnya bahtera korporasi. Tetapi bisa pula penggabungan ini berhasil. Jadi peluangnya fifty-fifty. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.
Tantangan pertama. Integrasi asimetris. Antara Pelni, ASDP dan Pelindo sesungguhnya berada dalam lini bisnis yang cukup berbeda jauh. Dua entitas pertama adalah perusahaan pelayaran sedangkan entitas kedua merupakan operator pelabuhan.
Direksi Pelindo jelas akan menghadapi kendala pengelolaan nantinya karena tidak memiliki pemahaman yang cukup dalam bidang pelayaran. Kondisinya tidak akan lebih baik seandainya "penghuni" baru grup Pelindo itu nantinya dijadikan anak usaha seperti SPMT, SPTP atau lainnya dan diurus oleh mereka yang mengerti bisnis pelayaran.
Masalahnya terletak pada ketidakcocokan genetis kedua bidang usaha; bagai air dan minyak. Lihatlah bagaimana keadaan perusahaan pelayaran Malaysia, MISC, yang berada di bawah bendera Petronas, boleh dibilang "hidup segan mati tak mau". Grup Pelindo memang memiliki cucu usaha dalam usaha pelayaran, dalam hal ini Jasa Armada Indonesia (JAI), tetapi status ini tidak dengan sendirinya menjadikan Pelindo dapat mengelola bisnis pelayaran.
Soalnya, JAI hanyalah perusahaan pelayaran yang bergerak dalam jasa towing di seputaran pelabuhan sementara Pelni dan ASDP merupakan pemain perairan jauh alias lintas wilayah. Ada banyak contoh kasus di mana usaha pelayaran juga menggeluti usaha kepelabuhanan, tepatnya terminal, Maersk misalnya.
Namun keterlibatan ini tidak terlalu intensif, tetap saja sebagai supporting system dalam usaha inti mereka: pelayaran.Tantangan kedua. Masa depan bisnis yang tidak prospektif. Baik Pelni dan ASDP sesungguhnya perusahaan yang kinerjanya biasa-biasa saja. Malah relatif berdarah-berdarah. Segmen usaha yang digeluti (pengangkutan penumpang) tergolong bidang yang tidak menjanjikan.
Khusus Pelni, BUMN ini amat tergantung subsidi untuk tetap mengapung. Ladang usahanya tergerus oleh maraknya penerbangan berbiaya murah dan nampaknya tidak akan pernah pulih Kembali.
Saking seretnya usaha pengangkutan penumpang, untuk mengadakan kapal baru sebagai pengganti armada yang sudah tua, Pelni bergantung kepada penyertaan modal negara/PMN. Pendapatan yang ada selama ini terlalu kecil untuk meremajakan kapal. Menariknya, perusahaan ini juga memiliki anak usaha yang bergerak dalam jasa terminal dan logistik, SBN, tetapi sepertinya nasibnya sama dengan induknya.
ASDP sedikit lebih baik karena memiliki segmen usaha yang monopolistik. Maksudnya, selain sebagai operator kapal penyeberangan, ia juga mengoperasikan terminal penumpang. Yang terbesar berada di Merak, Provinsi Banten.
Tidak hanya melayani feri milik induknya, terminal ini juga melayani feri milik swasta yang melayari rute Merak-Bakauheni. Usaha inilah yang lebih menghasilkan cuan dibanding bisnis penyeberangan. Tidak jelas bagaimana segmen usaha terminal ini akan dikonsolidasi ke dalam Pelindo nantinya. Dan, paling penting, Pelni dan ASDP sama-sama memiliki beban keuangan yang juga akan menjadi tanggungan Pelindo sebagai holding kelak.
Erick mengungkapkan, penggabungan Pelni dan ASDP ke dalam Pelindo akan mendorong biaya logistik bisa lebih turun dan jaminan safety bagi penumpang yang makin baik. Dalam pikirannya, hal ini dimulai dari sisi pelabuhan yang merupakan ranahnya Pelindo.
Lalu, sisi perkapalannya akan diurus oleh Pelni dan ASDP. Dengan penggabungan ini semuanya akan tersinkronisasi dengan baik yang selama ini untuk penumpang dan barang dilayani terpisah. Terlihat sang menteri begitu pede dengan gagasan penggabungan yang diusungnya. Semoga saja rencananya dapat dieksekusi.
(miq/miq)
