Kebijakan Likuiditas Makroprudensial Penopang Sektor Pangan Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Akhir-akhir ini, Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mewacanakan pembentukan satu "batalion infanteri teritorial pembangunan" untuk setiap kabupaten di Indonesia. Menurut Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, satuan baru ini akan memiliki unit khusus untuk menangani urusan pertanian, peternakan, perikanan, hingga kesehatan.
Sekilas, rencana ini jauh dari tugas pokok dan fungsi aparat pertahanan negara. Namun, dalam UU Nomor 34 tahun 2002 tentang TNI, operasi militer selain perang (OMSP) memang digolongkan sebagai salah satu tugas pokok TNI.
Dari 14 jenis OMSP dalam UU TNI, dua di antaranya dapat berkaitan dengan ketahanan pangan, yaitu pemberdayaan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya, serta penanggulangan bencana alam dan pemberian bantuan kemanusiaan.
Menhan Sjafrie menekankan bahwa pembentukan batalion pembangunan yang berorientasi pada OMSP mencerminkan implementasi "soft power", ditujukan bukan untuk menghadapi serangan musuh dari luar, melainkan "ancaman" dari dalam negeri. Pemikiran ini sejalan dengan visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Sebelumnya, ruang kerja sama untuk melibatkan TNI dalam percepatan swasembada pangan sudah dibuka melalui nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kementerian Pertanian pada 2015 di bawah Presiden Joko Widodo. TNI dapat dikerahkan mencetak sawah baru, mengawal distribusi pupuk dan bibit subsidi, dan membantu petani bersawah.
Meskipun demikian, pemerintah perlu menimbang masalah pokok dalam agenda ketahanan pangan dan mengkaji kembali apakah pelibatan TNI adalah solusi yang tepat. Di samping peluang yang dapat dimanfaatkan, pelibatan TNI dalam ketahanan pangan juga perlu memperhatikan beberapa tantangan dan catatan, secara filosofis dan praktis, dari dalam maupun luar negeri.
Di seluruh dunia, ketahanan pangan memang makin cenderung dipahami sebagai bagian penting keamanan nasional di samping kekuatan militer konvensional. Ketika suatu negara tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, maka ketidakstabilan sosial, bahkan revolusi politik besar-besaran dikhawatirkan lebih mungkin terjadi.
Terlebih ketika terjadi peperangan, yang pada dasarnya pasti mengakibatkan ketidakamanan pangan, baik secara langsung melalui penghancuran pusat produksi pangan seperti sawah dan ladang, maupun secara tidak langsung dengan mengancam keselamatan jalur-jalur perdagangan dan logistik pangan.
Berdasarkan hukum humaniter internasional, semua pihak dalam konflik bersenjata memiliki tanggung jawab menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk sipil, khususnya pasokan pangan dan air.
Karena itu, dalam situasi konflik, keterlibatan militer penting untuk menjamin keamanan produksi dan distribusi pangan. Namun, bagaimana dengan pelibatan militer semasa damai?
Sebenarnya, keamanan pangan sewaktu damai sekalipun tengah diancam oleh masalah umat manusia lainnya: krisis iklim. Krisis ini dapat memperparah ketidakamanan pangan yang bisa saja berujung pada konflik bersenjata jika tidak diantisipasi dengan maksimal.
Contohnya di Amerika Serikat, keterlibatan angkatan bersenjata dalam keamanan pangan dilaksanakan dalam kerangka operasi bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana (HADR). Ini dilakukan untuk membangun ketahanan AS dan negara-negara mitranya terhadap ancaman global baru, seperti kekeringan dan kelangkaan, yang muncul akibat krisis iklim. Dengan demikian, potensi konflik bersenjata akibat masalah pangan dapat diredam.
Jaringan dan infrastruktur logistik militer untuk mendukung kemampuan tempur juga dapat beralih fungsi menjadi penyelamat di situasi darurat sipil, seperti sewaktu puncak pandemi Covid-19. Kala itu, pengerahan TNI-dan angkatan bersenjata di banyak negara lain-dilakukan agar tenaga medis dan bantuan kesehatan, terutama vaksin, dapat dikirim dengan cepat ke daerah-daerah yang umumnya masih sulit dijangkau karena minimnya infrastruktur transportasi.
Selain distribusi, militer juga dapat dilibatkan dalam produksi. Angkatan Darat Nigeria contohnya, mendirikan badan usaha pertanian dan peternakan untuk membuka lahan pertanian di tanah milik militer, serta memberdayakan masyarakat untuk bekerja di sektor tersebut.
Menurut Kepala Staf AD Nigeria Tukur Buratai, pihaknya membangun struktur khusus yang tidak hanya menjalankan operasi menjaga keamanan di wilayah rawan konflik, tetapi juga ikut serta dalam proses produksi pangan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dan menstabilkan ketahanan pangan di Nigeria.
Sebenarnya, masalah yang menghambat tercapainya ketahanan pangan di Indonesia meliputi produksi pangan yang belum mencukupi kebutuhan, alias tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk, dari aspek kuantitas maupun gizi.
Hal ini disebabkan rendahnya produktivitas lahan pertanian, salah satunya karena kurang meratanya infrastruktur irigasi di beberapa daerah. Selain itu, kurangnya akses bibit tanaman pangan yang berkualitas dan terjangkau serta pemanfaatan kearifan lokal sesuai karakteristik daerah masing-masing masih menjadi kelemahan.
Masalah-masalah ini memerlukan kapasitas lembaga sipil untuk mendorong pembangunan dan melaksanakan intervensi demi peningkatan produktivitas dan pemerataan akses bagi pelaku di sektor pangan.
Namun kelemahan dan persepsi "inferior" lembaga sipil itu sendiri seringkali justru menjadi dasar pelibatan militer di ranah yang secara tradisional dikelola oleh sipil. Di Indonesia, militer seringkali diasumsikan lebih profesional, disiplin, dan efektif daripada lembaga sipil.
Selain itu, militer menguasai sarana dan prasarana tertentu, seperti alat utama sistem senjata (alutsista) dan lahan luas, yang mampu "menambal" kekurangan sipil. Karena itu, hadirnya militer dinilai dapat menjadi solusi terhadap kelambatan dan kegagalan proyek-proyek pemerintah.
Dalam kasus pelibatan TNI di proyek swasembada pangan era Presiden Jokowi contohnya, Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementerian Pertanian, Prasetyo Nuchsin mengatakan TNI dapat diberikan tugas membuka sawah karena merupakan lembaga yang disiplin dan tidak ada pihak yang berani menentangnya.
Menurut Kepala Biro Humas Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, kekurangan tenaga penyuluh pertanian juga menjadi alasan pelibatan personel TNI, yang kemudian dilatih untuk memberikan penyuluhan kepada petani.
Terdapat 71 ribu potensi desa pertanian di Indonesia, tetapi jumlah penyuluh hanya berjumlah 57 ribu orang. Maka dari itu, TNI menugaskan anggota bintara pembina desa ("Babinsa") yang dikerahkan di tingkat kecamatan untuk membantu Dinas Pertanian daerah setempat melaksanakan pembinaan petani.
Hal ini memperlihatkan kegunaan sumber daya militer dalam membantu membangun kapasitas sipil. Namun, menimbang kerawanan situasi kawasan dan dunia perlu kita antisipasi, sumber daya negara yang terbatas ini harus dialokasikan seefektif mungkin.
Melibatkan TNI dalam agenda ketahanan pangan tidak boleh meninggalkan fakta bahwa TNI perlu mengutamakan kemampuan menghadapi ancaman militer konvensional dari luar negeri, terlebih di tengah pesatnya kemajuan teknologi militer dan memanasnya persaingan antarnegara di dunia.
Perkembangan ini menuntut Indonesia membangun kekuatan pertahanan untuk menghalau ancaman luar negeri secara proaktif, bukan reaktif, apalagi pasif.
Karena itu, sumber daya pertahanan negara lebih baik dialokasikan untuk mengembangkan kapasitas-persenjataan, doktrin, dan strategi-berorientasi eksternal, seperti pertahanan maritim, udara, dan siber. Sementara itu, ancaman keamanan non-tradisional seperti kerawanan pangan dapat diatasi dengan mengutamakan sumber daya sipil.
Singkatnya, jika tentara dijadikan petani, siapa yang akan menjadi tentara?
Kalaupun pelibatan TNI dalam ketahanan pangan sudah final, pelaksanaannya harus berdasarkan pendekatan whole-of-government, yaitu berkolaborasi dengan lembaga-lembaga sipil, bukan mengambil alih kepemimpinan agenda ketahanan pangan sepenuhnya atau "membawahkan" pihak sipil. Pemerintah tetap perlu mendorong peran sipil, termasuk pemerintah daerah, sektor swasta, dan lembaga swadaya masyarakat di berbagai tingkatan.
Selain itu, penting dicatat bahwa hadirnya militer dalam kapasitas non-tempur di daerah-daerah rawan konflik berpotensi mempertajam ketegangan sosial jika tidak disertai kehati-hatian, keterbukaan, dan saling pengertian saat beroperasi di lapangan.
Agar proyek pertanian, peternakan, dan perikanan menelurkan output yang optimal bagi penguatan ketahanan pangan nasional, sebagian anggaran pertahanan harus diarahkan bagi peningkatan kompetensi personel TNI, di samping akuisisi dan perawatan alutsista. Mekanisme pengawasan pun diperlukan untuk menjamin pertanggungjawaban dan keterbukaan sumber daya manusia dan keuangan batalyon teritorial TNI yang dimobilisasi untuk proyek-proyek tersebut.
Perlu diingat bahwa pengerahan militer untuk membantu terpenuhinya target-target tertentu hanya solusi sementara. Supaya agenda ketahanan pangan tercapai serta dapat dipertahankan dan diperkuat secara berkelanjutan, Indonesia harus memberdayakan lembaga-lembaga sipil yang sedari awal berkonsentrasi di bidang ketahanan pangan.
Tentu juga perlu disokong dengan kapasitas intelektual, ekosistem inovasi, kelancaran birokrasi, dan infrastruktur logistik yang memadai, tidak setengah-setengah.