
Rutin Cetak Laba, Saham MNCN "Dibuang" Investor Mulu! Kenapa?

- Harga saham MNCN anjlok lebih dari 80% dari level tertinggi sepanjang masa
- Peningkatan kinerja perusahaan berbanding terbalik dengan performa harga sahamnya
- Sejarah transaksi anak perusahaan MNC Group menjadi salah satu perhatian investor.
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Saham PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) pada akhir pekan lalu ditutup pada posisi Rp 570. Saham sudah anjlok lebih dari 80% dari titik harga tertingginya Rp 3525/lembar (17/05 2013).
Uniknya, penurunan harga ini berbanding terbalik dengan kinerja perusahaan, khususnya dari segi pendapatan hingga laba bersih yang cenderung konsisten mengalami peningkatan. Terdapat beragam faktor yang diasumsikan menjadi dasar penurunan harga yang terjadi secara signifikan.
Laba bersih MNCN pada 2021 mencetak nilai tertinggi sepanjang sejarah perusahaan diperdagangkan di pasar modal. Namun, harga saham perusahaan per 14 Maret 2023 berada di posisi terendah sejak 2011.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan terkait tidak sinkronnya fundamental perusahaan terhadap performa harga saham. Secara valuasi, MNCN saat ini memiliki PE Ratio (TTM) 3,90 dan PBV 0,56.
Perhitungan PE ratio menggunakan metode Trailing Twelve Months (TTM) adalah menyetahunkan laba menggunakan data dari tahun sebelumnya.
Apabila dibandingkan dengan competitor, MNCN memiliki valuasi murah dan profitability, efficiency, financial health yang baik dibanding grup media PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), PT Net Visi Media Tbk (NETV), dan Intermedia Capital Tbk (MDIA).
PE Ratio industri tercatat sebesar 10,67, artinya saham MNCN jauh lebih murah dari rata-rata industri media.
MNCN adalah perusahaan media yang memiliki beragam channel dari televisi, radio, cetak, manajemen bakat, dan rumah produksi. Pendapatan utama perseroan diperoleh melalui bisnis inti konten dan pengoperasian tiga free-to-air yaitu RCTI, MNC TV, dan Global TV.
Pendapatan perusahaan didominasi oleh iklan, sehingga salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan perusahaan melalui permintaan dari iklan. Peningkatan demand iklan juga dipengaruhi dari pertambahan media yang menyediakan iklan, tingkat konsumsi masyarakat, dan pendapatan perkapita.
Prospek Bisnis
MNCN sedang merencanakan ekspansi seluas 21 hektar untuk pembuatan Movieland, projek Kawasan ekonomi kreatif untuk pembuatan film dan series terbesar di Asia Tenggara. Projek ini berlokasi di MNC Lido City yang akan menyediakan lingkungan terkendali untuk melaksanakan pra produksi, produksi, dan pasca produksi layaknya Hollywood.
Perusahaan juga telah menyampaikan dalam rapat umum pemegang saham atau RUPS (28/07/2022) bahwa akan melakukan merger BMTR dan MNCN untuk pemotongan chain listing. Namun, Beliau juga memastikan pada pihak notaris bahwa hal tersebut bukan bagian dari resolusi RUPS. Proses merger yang direncanakan selesai dalam satu tahun ini ditargetkan untuk BMTR yang menjadi parent company.
Historis Aksi Korporasi Perseroan
- Faktor yang memungkinkan membuat investor tidak tertarik membeli saham MNCN adalah sejarah perusahaan dalam melakukan aksi korporasi diantaranya.
Right issue PT Bank MNC Internasional bk (BABP) hanya terserap sekitar Rp300 miliar dari target Rp4,5 triliun karena akan ada investor strategis, namun belum ada informasi lanjutan hingga saat ini. - Batal merger PT Asia Vision Network (anak perusahaan PT MNC Vision Networks Tbk. atau IPTV) & Malacca Straits Acquisition Company Limited yang akan melalui skema special purpose acquisition company (SPAC) atau AVN akan menjadi perusahaan induknya dan listing di bursa NASDAQ.
- PT MNC Vision Networks Tbk (IPTV) batal akuisisi emiten layanan TV berbayar milik PT. Link Net Tbk (LINK).
Aksi korporasi yang tidak terlaksana berpotensi menghilangkan kredibilitas perusahaan di mata investor. Kondisi tersebut merupakan cerminan tata Kelola perusahaan yang harus diperkuat untuk menghindari kecurigaan terhadap perseroan. Selain itu, hilangnya kepercayaan mengakibatkan investor sulit percaya terhadap aksi korporasi perusahaan selanjutnya.
Isu yang baru saja terdengar terkait merger antara BMTR (PT Global Mediacom Tbk) dan MNCN seharusnya membuat investor waspada akan kejelasan aksi korporasi tersebut mengingat kegagalan sebelumnya. Pelaku pasar juga perlu terus mengikuti informasi dan mekanisme penggabungan usaha.
Historis Pembayaran Dividen
![]() |
Berdasarkan data pembagian dividen, perseroan mengalami penurunan nilai yang dibayarkan sejak tahun 2015. Hal tersebut berbanding terbalik dengan laba bersih yang diperoleh perusahaan.
Keputusan tersebut mengindikasikan kecenderungan perusahaan untuk terus mengurangi payout ratio yang dibagikan pada pemegang saham.
Kas perusahaan tersebut dialihkan untuk meningkatkan belanja modal, menurunkan utang, dan menimbun kas. Cash reserve perusahaan pada Q32022 yang berada pada nilai lebih dari Rp1,4 triliun akan menjadi sentimen ke depan perusahaan (tertinggi sepanjang masa setelah kuartal III 2021).
Masih layak koleksi atau tidak?
Secara fundamental, MNCN memiliki rasio keuangan yang sangat baik jika dibandingkan dengan kompetitornya. Namun, terdapat sebuah fenomena unik yang tidak selaras antara kinerja dan valuasinya.
Perusahaan saat ini juga sedang berfokus mengembangkan produk barunya Movieland, atau seperti Hollywood-nya Indonesia. Rencana investasi besar tersebut sedikit berbeda dari bisnis utama perusahaan di bidang iklan.
Seluruh prospek bisnis, kinerja, dan valuasi yang menarik tidak akan bernilai apabila tata kelolanya tidak memprioritaskan pemegang saham.
Latar belakang grup MNC yang sering melakukan right issue dan aksi korporasi yang tidak terlaksana mengakibatkan reputasi perusahaan dipertanyakan.
Selain itu, isu merger antara BMTR dan MNCN cenderung mengindikasikan BMTR yang akan bertahan di market sebagai induk usaha. Investor perlu memperhatikan skema yang akan dilakukan dalam proses merger untuk menghindari potensi kerugian.
Faktor-faktor tersebut menjadikan saham MNCN tidak terlalu menarik untuk dikoleksi mengingat tata kelola grup yang tidak dapat meyakinkan investor dan masih harus dipertanyakan.Â
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan ²©²ÊÍøÕ¾ Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)