
Korupsi Merajalela Memicu Ekonomi Biaya Tinggi Era Jokowi

Sejumlah studi ilmiah menyatakan negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memiliki investasi asing minim, rasio pajak rendah, belanja publik besar tapi tidak optimal, dan defisit anggaran besar. Semua itu sekarang terjadi di Indonesia. |
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ -Selama ada paradigma di kalangan pengambil kebijakan bahwa korupsi adalah pelicin pembangunan, Indonesia tidak akan kemana-mana. Dan tampaknya ini yang sedang terjadi saat ini, bahwa upaya mati-matian pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo mendatangkan investasi, menggenjot pertumbuhan ekonomi sejak awal memimpin justru digagalkan oleh faktor di luar ekonomi, yaitu penegakan hukum yang lemah.
Adalah Corruption Perceptions Index/CPI atau indeks persepsi korupsi Indonesia yang turun terus dari 40 pada 2019, kembali ke level delapan tahun lalu yaitu di level 34. Pemeringkatan yang dirilis organisasi nirlaba Transparency International itu juga menempatkan posisi Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara, turun dari posisi 85 tiga tahun lalu. Cara membaca datanya, skor indeks antara 0-100, dimana semakin besar angka maka semakin bersih negara tersebut dan sebaliknya, sementara untuk peringkat antara 1-180 atau sejumlah negara yang dicover, dimana semakin kecil semakin bagus.
Angka CPI merepresentasikan persepsi praktik korupsi dari pebisnis dan ahli terhadap suatu negara. Skor setiap negara merupakan kombinasi dari setidaknya tiga sumber data yang diambil dari 13 survei dan penilaian. Sumber data ini dikumpulkan Transparency International dari sejumlah lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Forum World Economic Forum dan tidak mencerminkan pandangan mereka.
Sejak Transparency International mengkalibrasi ulang perhitungan CPI pada 2012, persepsi korupsi Indonesia membaik dari level 32 pada 2012 dan berangsur naik hingga level 40 pada 2019. Salah satu faktor utama yang turut mendorong perbaikan angka CPI Indonesia adalah gebrakan Presiden Megawati Soekarnoputri pada Desember 2003 dalam pemberantasan korupsi dengan membentuk lembaga superbody dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berpijak pada hasil riset Vito Tanzi dan Hamid Davoodi (2000) yang dibiayai Dana Moneter Internasional/IMF, berjudul Corruption, Growth and Public Finance,menunjukkan upaya dalam pemberantasan korupsi akan berkorelasi positif dengan hasil pembangunan ekonomi suatu negara, dan berlaku sebaliknya. Kesimpulan hasil studi itu ternyata relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang, paling tidak sejak KPK mulai efektif bekerja pada 2004.
Antara tahun 2004 hingga 2014 atau era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono skor CPI naik 14 poin. Dampak ekonominya cukup baik, mampu menjaga indikator ICOR atau Incremental Capital Output Ratio (cara hitungnya pertumbuhan investasi dibagi dengan pertumbuhan ekonomi) pada level wajar antara 3-4. ICOR adalah metrik yang menilai jumlah modal investasi marjinal yang diperlukan suatu negara atau entitas lain untuk menghasilkan unit produksi berikutnya., dimana rata-rata ICOR pada zaman SBY sebesar 4,18. Artinya, untuk menghasilkan tambahan satu keluaran Rp1, hanya butuh tambahan modal Rp4,18.
Saat peralihan kekuasaan SBY ke Jokowi pada 2014 angka CPI Indonesia sebesar 34, namun setelah sempat naik enam poin, angkanya tahun lalu kembali memburuk ke level tahun awal era Jokowi. Ada indikasi bahwa pemberantasan korupsi di zaman Jokowi mengendur sehingga mengakibatkan dampak serius terhadap perekonomian. Hasilnya rata-rata ICOR sejak saat itu hingga sekarang tinggi di 6,92, dimana pada 2015 levelnya mencapai angka tertinggi sejak zaman orde baru. ICOR Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan negara peer-nya seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang ada di kisaran angka ideal sebesar 3%,"
Ini adalah alasan kuat yang menjadi dasar kesimpulan perekonomian Indonesia, khususnya pada era Presiden Jokowi berbiaya tinggi, atau dalam kata lain sangat tidak efisien. Hanya saja, ICOR tinggi disebabkan oleh banyak faktor selain korupsi, ada juga akibat logistik yang tinggi, hingga penelitian dan pengembangan (R&D) dan kualitas sumber daya manusia yang rendah. ICOR adalah indikator umum tingkat efisiensi perekonomian sehingga membutuhkan rujukan data lagi untuk korelasinya.
Banyak riset yang membuktikan korelasi kuat antara korupsi dan ekonomi, seperti Paolo Mauro (1995) juga menyimpulkan adanya korelasi kuat antara korupsi dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Katanya, setiap pemberantasan korupsi setara kenaikan dua skor persepsi korupsi saja mampu meningkatkan investasi dan menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 0,5%.
Secara spesifik, penelitian Shang Jin Wei (1997) yang membandingkan antara korupsi, pajak dan investasi asing langsung atau (Foreign Direct Investment) membuahkan kesimpulan yang mencengangkan. Hasilnya, bila pemerintah menaikkan 1% tarif pajak marginal dapat menurunkan arus FDI sebesar 3,3%, sementara hanya karena skor persepsi korupsi turun satu saja maka arus masuk FDI bisa anjlok hingga 11%. Artinya, dampak penurunan indeks korupsi satu level saja terhadap FDI sama saja dengan efek pemerintah menaikkan tarif pajak 3,6%. Sebab pajak tinggi tidak disukai investor.
Landasan teori bahwa korupsi merajalela juga berdampak pada penerimaan negara yang rendah juga terbukti di Indonesia. Pemberantasan korupsi yang seperti jalan ditempat membuat rasio pajak terhadap PDB Indonesia rendah. Trennya terus menurun sejak 2008 dan mencapai puncaknya pada 2015, dimana untuk pertama kalinya dalam dua dekade rasio pajak menyentuh angka kisaran 10%. Bila dibandingkan antara tahun 2004 hingga 2014 atau era Presiden SBY rata-rata rasio pajak terhadap PDB sebesar 11.88%, sementara sejak 2015 hingga 2022 era Presiden Jokowi rata-rata 9.85%
Tren turun rasio pajak ini juga menimbulkan pertanyaan hasil dari reformasi perpajakan yang dimulai Kemenkeu pada 2014 dan telah menghabiskan triliunan rupiah untuk membayar sistem remunerasi petugas pajak yang tinggi. Rupanya, reformasi pajak belum berhasil membersihkan praktik kotor suap, seperti baru-baru ini dicontohkan pada kasus Rafael Alun Trisambodo, yang terakhir menjabat sebagai Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selatan. Hanya level eselon III saja bisa melakukan miliaran rupiah suap, dimana mutasi di 40 rekeningnya mencapai setengah triliun rupiah. Rafael hanya apes saja terjerat karena kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, bagaimana dengan yang tidak terdeteksi.
Secara lebih gamblang praktik culas di birokrasi dikemukakan oleh Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang mengungkapkan fakta mencengangkan. Yakni kompilasi transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun di Kemenkeu, terutama di Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai sejak 2009 yang melibatkan ratusan aparat sipil negara dan pihak swasta. Pertanyaannya, bila di Kemenkeu yang relatif bersih oleh gaji tinggi program reformasi, apa kabar kondisi di kementerian lain?
Muara dari kinerja tidak efisien dari perekonomian Indonesia akibat korupsi kembali merajalela dapat dialamatkan pada upaya sistematis dan terstruktur yang dilakukan pemerintahan Jokowi untuk melemahkan peran KPK. Dimulai dari revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif di bawah presiden atau tidak independen, dan kemudian perekrutan kontroversial ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri pada tahun yang sama.
Dalam undang-undang yang baru, kewenangan KPK untuk melakukan penindakan korupsi dipreteli satu persatu. Misalnya, menghilangkan sejumlah kewenangan penindakan KPK. Baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan. Saat ini KPK sama saja statusnya dengan aparat Kejagung, yang mengikuti perintah eksekutif. Padahal KPK berdasarkan undang-undang yang lama, UU Nomor 30 Tahun 2002 bisa dipandang sebagai anomali bagi kalangan politikus dan pebisnis yang korup, dan cukup terbukti cukup efektif menghasilkan salah satu Komisi Anti-Korupsi terbaik di dunia.
Buah dari upaya dari pelemahan KPK ini terang. Indek persepsi korupsi Indonesia mulai turun tepat setelah setahun revisi UU KPK dijalankan, dan sejumlah indikator ekonomi khususnya investasi memburuk.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH
(mum/mum)