
Duh! Perusahaan di Amerika Makin Serakah Dunia Makin Susah

- Inflasi di Amerika Serikat yang awalnya terjadi akibat tingginya harga energi kini berubah disebabkan oleh keserakahan perusahaan yang menaikkan harga guna menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi, berdasarkan laporan Accountable.US.
- The Fed pun mengindikasikan akan kembali menaikkan suku bunga dua kali lagi di tahun ini, bahkan suku bunga tinggi akan dipertahankan dalam waktu yang lama guna menurunkan inflasi.Â
- Kebijakan tersebut bisa berdampak pada perekonomian global, termasuk Indonesia.Â
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pandemi Covid-19 serta perang Rusia - Ukraina memicu masalah inflasi tinggi di berbagai negara. Ada yang sudah sukses mengendalikannya seperti di Indonesia, tetapi ada juga yang masih "berjibaku" seperti di Amerika Serikat (AS) dan negara Barat lainnya.
Masalah menjadi lebih rumit ketika inflasi di Amerika Serikat kini terjadi karena keserakahan perusahaan dalam menghasilkan laba. Hal ini terjadi khususnya di sektor konsumer seperti diungkapkan oleh Accountable.US sebagaimana dilansir Market Watch.
"Suku bunga tinggi tidak menghentikan perusahaan di S&P 500, khususnya industri makanan, untuk menaikkan harga konsumen meski sudah menghasilkan miliaran dolar AS, pendapatan ekstra" kata Liz Zelnick, direktur di Accountable.US sebagaimana dilansir Market Watch, Rabu (14/6/2023).
Harga makanan mulai mengalami kenaikan saat mulai lepas dari pandemi Covid-19, kemudian semakin naik akibat meroketnya harga energi. Perusahaan konsumer pun menaikkan harga yang harus ditanggung oleh masyarakat AS.
Namun, ketika harga energi belakangan terus menurun, perusahaan konsumer malah terus menaikkan harga produknya.
Inflasi yang terjadi saat ini pun disebut greedflation, inflasi yang timbul akibat keserakahan perusahaan-perusahaan. Warga Amerika Serikat masih mampu membeli barang-barang yang harganya sudah dinaikkan sebab pasar tenaga kerja masih sangat kuat.
Pada awal bulan ini, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Mei perekonomian mampu menyerap 339.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls), jauh lebih tinggi dari prediksi 190.000 orang. Berdasarkan catatan Dow Jones, penyerapan tenaga kerja tersebut sudah 29 bulan beruntun lebih tinggi dari ekspektasi.
Tingkat pengangguran mengalami kenaikan menjadi 3,7%, tetapi masih di dekat level terendah sejak 1969. Kenaikan upah per jam juga masih kuat, sebesar 4,3%year-on-year.
Kondisi ini berbahaya sebab bisa memicu wage-price spiral. Singkatnya, kenaikan gaji akan disusul dengan kenaikan harga barang, begitu seterusnya harga-harga akan terus naik dan tinggal menunggu waktu perekonomian akan mengalami keruntuhan yang parah.
Oleh karena itu, Kongres Amerika Serikat diminta bertindak agar greedflation tidak terjadi terus menerus.
"Keserakahan korporasi terus terjadi dan perlu tindakan serius dari Kongres. The Fed belum melihat dampak yang diinginkan dari kebijakan moneter yang diambil, yang telah menciptakan celah dalam perekonomian dan bisa membawa ke resesi. Itu tidak sepadan," kata Zelnick.
The Fed (bank sentral AS) kemarin mempertahankan suku bunga acuannya sebesar 5% - 5.25%, setelah menaikkan sebanyak 10 kali beruntun dengan total 500 basis poin. Namun, The Fed juga merilis dot plot yang menunjukkan suku bunga bisa dinaikkan lagi di sisa tahun ini.
Dot plot tersebut menunjukkan suku bunga bisa berada 5,6% atau di rentang 5,5% - 5,75%. Artinya, masih ada kemungkinan kenaikan dua kali lagi masing-masing sebesar 25 basis poin.
Tidak hanya dinaikkan, suku bunga tinggi akan dipertahankan dalam waktu yang lama. Hal itu diungkapkan oleh ketua The Fed, Jerome Powell.
"Pemangkasan suku bunga akan tepat dilakukan saat inflasi turun secara signifikan. Dan sekali lagi, kita berbicara beberapa tahun ke depan," kata Powell.
Melihat pernyataan Powell, artinya The Fed melihat inflasi masih sulit dan memerlukan waktu lama hingga mencapai target 2%. Masalahnya, semakin tinggi suku bunga, maka pertumbuhan ekonomi semakin rendah bahkan berisiko mengalami resesi.
Suku bunga semakin tinggi, maka pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam waktu yang lama. Jika itu terjadi di Amerika Serikat, maka dunia bisa terpengaruh.
Indonesia tentunya tidak lepas dari dampak negatifnya. Amerika Serikat merupakan salah satu pasar ekspor terbesar Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 nilainya sebesar US$ 9,3 miliar, berkontribusi sebesar 4,7% dari total ekspor.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyoroti hal tersebut.
"Amerika walaupun resilient, tidak jatuh ke dalam jurang resesi, namun pertumbuhannya hanya slightly above 1%," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (5/6/2023).
"Ini menggambarkan bahwa higher for longer bisa menghasilkan perekonomian weaker for longer. Baik untuk Eropa, Amerika dan eksternal kita, termasuk RRT," ujarnya.
Jika banyak negara termasuk China disebut akan melambat, maka ekspor Indonesia akan terpukul. Ekspor ke China terutama, karena memiliki pangsa sebesar 34%, nilainya pada 2022 mencapai US$ 67,2 miliar.
Belum lagi dampaknya ke sektor finansial. Dengan suku bunga higher for longer di Amerika Serikat, aliran modal tentunya akan seret ke negara lain. Para investor akan menyalurkan modalnya ke Amerika Serikat yang memiliki imbal hasil tinggi.
²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)