
Penting! 5 Hal yang Harus Kamu Tahu Soal UU Kesehatan

- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang.
- Pengesahan ini terjadi ketika RUU masih menuai banyak protes.
- Lantas apa tujuan disahkannya UU ini? Bukankah ini adalah kabar baik?
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Upaya pemerintah kita untuk meningkatkan kualitas kesehatan di Tanah Air menjadi kenyataan. Indonesia tampak tak mau lagi tertinggal dari negara-negara berpenghasilan menengah atas terkait sektor kesehatan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang.Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikinmenilai pengesahan UU baru ini ibarat berkah usai musibah.
UU Kesehatan ini bentuk keberhasilan Indonesia melampaui krisis kesehatan terbesar di abad ini sebetulnya turut membuka mata pemerintah bahwa sistem kesehatan perlu diperbaiki, salah satunya melalui transformasi kesehatan. Ini karena masyarakat belum mendapat akses dan layanan kesehatan yang sangat baik.
Sebagaimana kita ketahui, selain karena Pandemi Covid-19 telah menyebabkan ratusan ribu nyawa masyarakat melayang, setidaknya ada sebanyak 300 ribu masyarakat juga telah meninggal akibat stroke, lebih dari 3 ribu bayi meninggal akibat gangguan jantung , dan 5 juta balita hidup dalam kondisi stunting.
Maksud dan tujuan disahkannya UU Ini tentunya untuk kebaikan.Masyarakat Indonesia tentu butuh layanan kesehatan yang lebih baik. Tentu bukan soal layanan namun juga sistem yang mungkin pernah rusak bisa diperbaiki.
Indonesia Darurat Dokter, Ini Buktinya!
Wajar saja, sebelum ini kalimat 'Indonesia Darurat Dokter' menjadi isu yang kerap kali sulit dipercaya jika tak melihat data dan membandingkannya dengan negara lain. Ironisnya, inilah fakta yang ada. Indonesia berada di urutan 139 dari 194 negara.
Ini memperlihatkan bahwa Indonesia jauh berada di bawah negara lain di manamasalah kurangnya jumlah dokter terutama dokter spesialis dan sub-spesialis, dan juga pemeratannya, belum bergeming untuk beranjak membaik.
Dalam rasio data yang dirangkum WHO,apabila sebuah negara berhasil memenuhi"golden line", maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan.Lantas bagaimana"golden line"yang dikatakan WHO?
Ya, ini adalah garis emas rasio jumlah dokter, termasuk dokter umum dan spesialis, yang ideal, yaitu 1/1000 atau 1 dokter per 1000 penduduk. Apabila sebuah negara berhasil memenuhi"golden line", maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan.
Angka terakhir yang di dapatkan dari WHO dan juga World Bank, rasio Indonesia berada di 0,46/1000. Angka ini membawa Indonesia menempati posisi ketigaterendah di ASEAN setelah Laos 0,3/1000 dan Kamboja 0,42/1000.
Kalau kita bandingkan dengan Thailand dan Filipina kita masih di bawahnya, apalagi dengan Malaysia dan Singapura.
Ini hanya membandingkan dengan negara ASEAN, bagaimana dengan negara yang lain? Justru sulit untuk dijelaskan.
Padahal, kalau kita bicara soal perlindungan negara pada Undang-undang juga sudah tertulis di Pasar 34 ayat 3 di mana "Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak". Ya, salah satunya kunci penting dari sistem kesehatan tersebut yakni dokter.
Indonesia memang tengah berusaha untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi 270 juta penduduknya akibat minimnya jumlah dokter di daerah terpencil. Bayangkan, seorang pasien bisa menunggu berbulan-bulan sebelum mendapatkan perawatan.
Ini juga sebagai upaya Pemerintah dapat memperbaiki harapan hidup masyarakatnya, yang hingga 2019 lalu berada di kisaran usia 71,3 tahun. Harapan hidup tersebut lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata 76,3 tahun untuk negara berpenghasilan menengah ke atas lainnya.
Kesehatan menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Semakin sehat penduduk, maka semakin sejahtera pula mereka.
Jokowi Pernah Sedih Banyak Warga Berobat Diluar
Tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluhkan fenomena banyak orang Indonesia yang berobat di luar negeri. Tak tanggung-tanggung, Indonesia kehilangan devisa sektor kesehatan mencapai Rp 110 triliun.
Sistem layanan kesehatan yang berkualitas dan efisien serta memberi dampak besar bagi kualitas hidup masyarakat dan merupakan salah satu tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Jika bukan di dalam negeri, lalu dimana warga Indonesia pergi berobat?
Menilik data Legatum Institue, Jepang berada di posisi pertama dengan skor mencapai 86,6 poin pada 2021.
Dengan ini, tak asing kita lihat banyaknya masyarakat kita malah pergi berobat ke luar negeri. Banyak faktor pemicu mulai dari mencari teknologi tertentu hingga mencari keahlian spesialis tertentu, sebab negara lain memiliki pelayanan kesehatan dengan berbagai pilihan.
Belajar dari fenomena ini, tentu saja menjadi evaluasi bagi pemerintah bagaimana meningkatkan kualitas kesehatan bagi rakyatnya secara merata.
Saat ini Indonesia tengah berjuang untuk menjadi negara maju atau mencapai Indonesia Emas pada 2045. Supaya itu bisa terealisasi, menurut dia tidak ada cara selain membuat manusia Indonesia sehat secara merata.
Kontroversi UU Kesehatan
RUU yang baru saja disahkan, ini sejatinya akan mempermudah dokter asing untuk bekerja di dalam negeri. UU ini juga bakal membebaskan biaya kuliah bagi mahasiswa kedokteran yang tengah menjalani residensi rumah sakit.
Selain itu, UU baru ini menghapuskan sebagian anggaran pemerintah dan mengalihkan beban pendanaan rumah sakit umum ke sektor swasta. RUU baru ini juga memuat klarifikasi situasi dimana seorang wanita dapat melakukan aborsi.
Namun para pekerja bidang kesehatan memprotes RUU tersebut, yang menurut mereka dapat mengancam profesi mereka. Selain itu, proses pembahasan RUU kesehatan di DPR dianggap kurang transparan.
Ada beberapa polemik yang penting dalam UU Kesehatan ini diantaramya, pertama terkait pembiayaan rumah sakit.Ìý
Kewajiban belanja minimal (mandatory spending) resmi dihapuskan dari Undang-undang (UU) tentang Kesehatan. Keputusan itu ditentukan setelah DPR mengesahkan RUU tentang kesehatan menjadi uu dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.
Padahal, dalam pasal 171 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebelum direvisi, mandatory spending diatur sebesar 5 persen dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji.
Kewajiban alokasi minimal anggaran kesehatan harus dihapus lantaran selama ini belanja wajib sebesar 5 persen untuk kesehatan tidak berjalan baik, dan justru rawan disalahgunakan untuk program-program yang tidak jelas. Ini diungkap oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100 persen mencapai tujuannya. Tujuan kita bukan besarnya mandatory spending, tapi adanya commitment spending anggaran dari pemerintah untuk memastikan program-program di sektor itu bisa berjalan
Perlu diketahui, bahwa belanja di sektor kesehatan akan tetap ada, meski besarannya tak lagi diatur minimal 5 persen dari APBN dan 10% n dari APBD sebagaimana mandatory spending dalam UU Kesehatan sebelumnya.
Kedua, Indonesia bakal punya lebih banyak dokter. UU baru ini nyatanya menyederhanakan proses bagi dokter yang ingin mengajukan izin praktik. Tak hanya sampai disitu mahasiswa kedokteran tidak hanya dibebaskan dari pembayaran uang sekolah selama masa residensi rumah sakit tapi juga berhak menerima gaji.
Namun memang, UU ini memungkinkan dokter asing untuk bekerja dan melakukan praktik di Indonesia dalam jangka waktu empat tahun apabila ada pengajuan permintaan dari institusi kesehatan lokal. Syaratnya, mereka harus lulus evaluasi kompetensi setempat dan setuju untuk belajar bahasa Indonesia.
Namun memang, yang membuat dilema adalah apakah penambahan dokter asing ini akan mengatasi masalah kesenjangan medis antara daerah perkotaan dan pedesaan. Padahal ini merupakan isu yang mendesak di Indonesia.
Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah dokter di Indonesia cenderung berada dalam tren yang meningkat. BPS melaporkan, jumlah tenaga medis di Indonesia yang meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis sebanyak 176.110 orang pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 3,3% dari tahun sebelumnya sebanyak 170.541 orang.
Berdasarkan wilayah, jumlah tenaga medis paling banyak di Jawa Barat mencapai 23.973 orang pada 2022. Jawa Timur menyusul di urutan kedua dengan 23.851 tenaga medis.
Namun nyatanya, jumlah ini tak serta merta merata dan bisa menjangkau seluru lapisan masyarakat Indonesia, utamanya untuk dokter spesialis dan tenaga medis di desa-desa Indonesia. Harusnya dimana letak masalahnya, disitulah UU ini menwajab.
Ketiga, persoalan Aborsi. UU ini menjelaskan bagaimana aborsi dapat dilakukan, karena hal tersebut sejatinya merupakan tindakan ilegal di Indonesia. Ketentuan baru akan membolehkan aborsi pada wanita yang sudah menikah, dengan persetujuan suaminya, dan bagi para korban kekerasan seksual.
Undang-undang yang diusulkan juga mengizinkan aborsi dalam keadaan darurat medis. Setiap aborsi yang dilakukan di luar ketentuan tersebut diancam dipenjara hingga empat tahun bagi pelaku, sementara petugas layanan kesehatan yang membantu bisa dihukum hingga 12 tahun penjara.
Ini sempat memunculkan kontroversi, namun memang terkait aborsi ini sudah ada KUHPÌýterbaru, dalam UU Kesehatan ini hanya menyesuaikan yang ada di sana agar aturanÌýsinkron.
Keempat, UU juga membahas terkait pengurangan Impor Alkes-Obat. Ini mengupayakan kemandirian alat kesehatan mandiri, termasuk penggunaan bahan baku dan produk dalam negeri. Pemerintah akan membuka jalur lebih luas pada penelitian, pengembangan, dan produksi obat dalam negeri.
Namun PR besarnya memang harus mencukupi kebutuhan dalam negeri serta dengan teknologi yang berkembang saat ini. Jangan sampai dengan hal ini orang malah mau berobat ke luar negeri.
Kelima, UU Kesehatan ini juga menetapkan pasal yang menyatakan hasil tembakau yang setara dengan narkotika dan zat adiktif lainnya. Menurut UU ini zat adiktif tersebut yakni semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan erugian bagi dirinya atau masyarakat.
Pihak yang menentang menilai ketentuan ini telah menyalahi perundang-undangan yang berlaku lantaran tembakau merupakan komoditas strategis perkebunan dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Sementara itu, pihak yang mendukung memang ingin menambah pelarangan iklan promosi spondor industri rokok yang dinilai kerap menyasar generasi muda di Indonesia. Hal inilah yang menjadi kontroversi di beberapa kalangan masyarakat.
Namun, perlu diketahui dalam UU Kesehatan yang baru tembakau tidakÌýdimasukan ke dalam zat adiktif setara narkotika.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH
(aak/aak)