
Saham Grup Salim Ambruk, Yakin Cuma Karena Mie Gaga?

- Duo emiten grup Salim, INDF dan ICBPÂ masih bergerak dalam tren pelemahan yang disinyalir karena kisruh dengan mie gaga hingga rupiah yang terus anjlok
- Akan tetapi, ternyata efek dari polemik dengan mie gaga diperkirakan tidak terlalu mempengaruhi penjualan karena posisi Indomie sebagai market leader tak tergeser.Â
- Permasalahan beban dari utang berdenominasi dolar AS yang masih bisa menekan laba karena kondisi rupiah terus melemah
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Harga saham emiten consumer grup Salim yaitu PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) beserta anak usahanya yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) bergerak dalam tren pelemahan selama beberapa waktu terakhir.
Selama tiga bulan terakhir hingga perdagangan Selasa (19/9/2023), harga saham INDF sudah ambles 9,52%, disusul ICBP dengan pelemahan 4%.
![]() Pergerakan harga saham INDF dan ICBP yang terus melemah sejak awal Juli - September 2023 |
Tren pelemahan yang masih berlangsung ini nyatanya bukan tanpa sebab, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi mulai dari isu persaingan dengan mie gaga hingga pelemahan rupiah yang meningkatkan beban utang.
Heboh Mie Gaga Vs Indomie
Beberapa waktu lalu sempat viral soal polemik antara pendiri dua produsen mi instan, Mie Gaga versus Indomie. Hal tersebut bermula dari postingan yang ramai di TikTok soal komisaris produsen Mie Gaga PT Jakarana Tama Djajadi Djaja yang disebut sebagai penemu Indomie, sebelum akhirnya berpolemik dengan Sudono Salim, pendiri Grup Salim sekaligus pemilik brand Indomie saat ini.
Netizen pendukung brand Mie Gaga bahkan turut menyerang akun Instagram Indomie. Sebelumnya, diberitakan bahwa Djajadi merupakan penggagas produk Indomie bersama dengan pengusaha Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Keduanya mendirikan PT Indofood Eterna pada 1984.
Namun, pada 1993, perusahaan Djajadi mengalami masalah keuangan. Akibatnya, Grup Salim memutus hubungan dan mendepaknya dari Indofood.
Singkat cerita, Djajadi kemudian melanjutkan berjualan mi instan di bawah naungan PT Jakarana Tama. Mengutip situs resmi Gagafood.co.id, Djajadi masih tertera sebagai komisaris di perusahaan yang menjual produk Mie Gaga, Mie "100", "1000", Mie Gepeng, Mie Telor A1 tersebut.
Imbas ke Indomie ini memang menjadi risiko permintaan bisa berkurang, kendati begitu secara fakta penjualan ICBP dan INDF masih terus bertumbuh dari tahun ke tahun.
Sehingga bisa dibilang, efek dari polemik tersebut hanyalah sementara. Pasalnya, pangsa pasar dari Indomie sendiri di Indonesia mencapai 70% menjadikan market leader di industri dan sudah diperdagangkan di 100 negara.
Bisa dibilang dari sisi penjualan tak terlalu kena efek signifikan yang menunjukkan permintaan dari konsumen masih terjaga. Hanya saja, emiten grup Salim ini masih menghadapi masalah dari sisi beban.
Beban Utang Meningkat Gara-Gara Rupiah Melemah
Masalah beban yang melanda INDF dan ICBP terjadi karena utang obligasi berdenominasi dolar yang dimiliki cukup dominan, ketika kondisi rupiah melemah dalam beberapa bulan terakhir menyebabkan beban utang dalam dolar AS meningkat, imbasnya kedua emiten grup Salim tersebut diproyeksi bisa menelan risiko kerugian kurs kembali.
ICBP mencatatkan utang obligasi berdenominasi dolar AS sebanyak Rp41,32 triliun, nilai ini setara 70% dari total liabilitas perusahaan. INDF juga mendapat imbas yang sama dari utang obligasi ICBP karena merupakan anak usahanya, dibandingkan dengan total liabilitasnya nilainya nyaris 50%.
Hingga semester I-2023, kedua perusahaan tersebut juga masih mencatatkan kerugian dari selisih kurs, ICBP mencatat rugi kurs sekitar Rp649,79 miliar, sementara INDF sebesar Rp866,54 miliar.
Kondisi nilai tukar rupiah sejak awal Juli hingga perdagangan Selasa (19/9/2023) telah anjlok sekitar 2,58%. Bisa dibilang hampir rampung kuartal ketiga tahun ini tetapi rupiah masih tetap dalam tren pelemahan-nya.
Melemahnya rupiah bisa berimbas pada ongkos pinjaman ICBP dan INDF lebih banyak, dampaknya kerugian selisih kurs bisa membengkak dan menekan laba bersihnya.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH