Mulai dari pasar saham, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada akhir pekan, Jumat (12/1/2024) IHSG berakhir di posisi 7241,14. Nilai tersebut terapresiasi 0,29% secara harian, akan tetapi belum mampu mendongkrak gerak secara mingguan yang menyusut hingga 1,49%.
Pelemahan secara mingguan tersebut akhirnya memutus tren penguatan IHSG selama 10 minggu beruntun.
Secara sektoral dalam basis mingguan, koreksi IHSG paling banyak ditekan oleh sektor basic industry yang anjlok hingga 5,76%, kemudian disusul sektor infrastruktur dan consumer non cyclical, masing-masing susut 2,23% dan 1,98%.
Berikutnya, yang menekan IHSG ada sektor transportasi dan teknologi, dengan pelemahan masing-masing 1,73% dan 1,02%. Terakhir ada sektor energi yang menyusut tipis 0,15%.
Jika menelisik lebih dalam, yang paling banyak mengerek IHSG turun adalah dari kinerja saham konglomerat Prajogo Pangestu yang terpantau kompak rontok. Secara mingguan, saham PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) sudah ambles 37,82%, kemudian diikuti saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) anjlok nyaris 35%, dan saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) menyusut 21,11%. Ketiga saham tersebut menjadi faktor terbesar penyusutan IHSG karena secara indeks poin menyumbang lebih dari 100 poin.
Sebagai catatan juga, dari tiga saham tersebut BREN terbilang yang punya kapitalisasi pasar yang paling besar. Dengan harga saham anjlok sepanjang pekan lalu kemudian membuat posisi BREN lengser dari tiga besar market cap di Bursa. Kini, posisi-nya berada di urutan ke-empat dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp628,80 triliun.
Posisi pertama tetap dipegang PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar Rp1195,77 triliun, diikuti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp886,62 triliun dan PT Bayan Resources Tbk (BYAN) sebesar Rp656,67 triliun.
Sebagai informasi, sepanjang pekan lalu (8-12 Januari 2024) ada enam saham yang berhasil melantai di bursa. Berdasarkan data BEI, ada satu saham yakni PT Manggung Polahraya Tbk (MANG) yang harga-nya ambles hingga 19% dari harga IPO. Sementara itu, untuk lima saham lainnya harga-nya berhasil bergerak atraktif.
Beralih ke nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS pada sepanjang pekan lalu pergerakannya juga masih terpantau melemah. Melansir data Refinitiv, mata uang Garuda pada perdagangan terakhir pekan lalu berakhir di angka Rp15.545/US$ atau terdepresiasi 0,23% secara mingguan.
Depresiasi pekan lalu kembali melanjutkan tren pelemahan yang terjadi pada minggu sebelumnya sebesar 0,75%. Hal ini terjadi disinyalir karena tekanan indeks dolar AS (DXY) yang meningkat, hingga penutupan pekan lalu DXY terpantau berada di posisi 102,40. Nilai tersebut meningkat dibandingkan satu hari sebelumnya sebesar 102.29.
Di sisi lain, pasar tenaga kerja AS juga masih ketat, terlihat dari data pekerjaan di luar pertanian atau Non Farm Payroll (NFP) tercatat naik ke 216.000 pada Desember 2023. Nilai tersebut dil uar perkiraan yang proyeksi turun ke 170.000, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 173.000 pekerjaan.
Hal tersebut juga berdampak pada pasar obligasi Tanah Air, terpantau hingga akhir pekan lalu, Jumat (12/1/2024) surat utang acuan dengan tenor 10 tahun yang masih dilepas investor. Hal tersebut tercermin dari nilai imbal hasil yang menguat 13,5 basis poin (bps) selama seminggu menjadi 6,66%.
Bursa saham AS pada pekan lalu, Jumat (12/1/2024) ditutup variatif lantaran sudah dimulai rilis laporan keuangan terutama untuk perbankan besar periode sepanjang 2023. Hal tersebut meredakan sentimen memanasnya inflasi negeri Paman Sam pada pekan lalu.
Berdasarkan data Refintiv secara harian, Dow Jones Industrial Average Index (DJI) ditutup turun 0,31% atau 118,04 poin menuju 37.592,98. Sementara dua indeks acuan lainnya berhasil menguat dimana Nasdaq naik 0,07% ke posisi 16.832,92 dan S&P menguat 0,08% menuju 4.783,83.
Dalam basis mingguan, Nasdaq naik paling kuat sebesar 3,23% kemudian diikuti S&P 500 dan Dow Jones Index (DJI), yang masing-masing menguat 1,84% dan 0,34%. Sebagai catatan, persentase kenaikan mingguan Nasdaq merupakan yang tertinggi sejak November 2023, sementara S&P merupakan yang terbesar sejak pertengahan Desember 2023.
Penguatan mingguan Wall Street disinyalir berkat sudah dimulainya musim rilis laporan keuangan untuk periode 12 bulan pada tahun lalu. Sejumlah bank besar juga sudah mengumumkan hasil kinerja keuangannya.
Sebut saja, untuk kinerja bank terbesar di AS, JP Morgan Chase & Co mencatat pendapatan naik jadi US$ 162,4 miliar hingga akhir tahun 2023, dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$ 154,2 miliar. Laba bersih yang dicapai juga meningkat dari US$ 37,7 miliar menjadi US$ 49,6 miliar.
CEO JPMorgan Jamie Dimon mengatakan hasil setahun penuh JP Morgan Chase & Co mencapai rekor karena kinerja yang lebih baik dari yang diharapkan dalam hal pendapatan bunga bersih dan kualitas kredit.
Bank besar lain seperti Wells Fargo juga mencatat peningkatan profitabilitas secara tahunan. Menurut laporan perusahaan hingga akhir Desember 2023, pendapatan naik menjadi US$ 82,59 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 74,36 miliar. Sejalan dengan itu, laba bersih juga naik dari US$ 13,67 miliar menjadi US$ 19,14 miliar.
Lainnya, untuk kinerja Bank of America (BoA) pada periode yang sama juga mencatatkan kenaikan pendapatan dari US$ 95 miliar menjadi US$ 98,6 miliar. Akan tetapi, kenaikan topline tersebut tak sejalan dengan bottom line yang menyusut dari US$ 27,5 miliar menjadi US$ 26,5 miliar.
Walau begitu, rilis kinerja keuangan perbankan yang beragam setidaknya berhasil mengurangi sentimen memanas-nya inflasi AS untuk periode Desember 2023. Diketahui, pada Kamis pekan lalu, inflasi negeri Paman Sam tumbuh lebih panas sebesar 3,4% yoy, dibandingkan perkiraan pasar sebesar 3,2%.
Sementara, untuk inflasi inti AS periode Desember 2023, yang tidak termasuk harga pangan dan energi yang fluktuatif cenderung turun sedikit menjadi 3,9% (yoy), dari sebelumnya pada November 2023 sebesar 4%. Sayangnya, walau melandai angka CPI inti juga lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 3,8%
Namun, ada kabar baik dari data harga produsen inti AS atau Core Producer Price Index (PPI) per Desember 2023 yang tidak terduga malah tumbuh melandai 1,8% yoy, ini lebih baik dari perkiraan sebesar 1,9% yoy dan dari bulan sebelumnya yang tumbuh 2% yoy.
Memasuki pekan ketiga Januari 2024, nampaknya pelaku pasar masih akan merespon data yang rilis pekan lalu, diantaranya harga produsen inti AS atau Core Producer Price Index (PPI) untuk periode Desember 2023 yang secara tidak terduga melandai ke 1,8% yoy. Pertumbuhan tersebut lebih baik dari perkiraan pasar sebesar 1,9% yoy dan dari satu bulan sebelumnya sebesar 2% yoy.
Melandai-nya PPI bisa menjadi kabar baik yang potensi menekan indeks dolar AS turun. Tak hanya itu, pasar keuangan Tanah Air diharapkan bisa tertular pergerakan bursa Wall Street yang berhasil ditutup di zona hijau dalam basis mingguan.
Namun, pada pekan ini masih ada beberapa data yang akan rilis baik dari luar negeri dan domestik yang potensi mempengaruhi gerak pasar keuangan lebih volatile, baik itu IHSG, nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS, hingga obligasi. Berikut sentimen pasar pada sepanjang pekan ini :
1. Surplus Neraca Perdagangan RI Potensi Susut Lagi, RI Bisa Surplus dengan China?
Pada hari ini, Senin (15/1/2024), Indonesia akan merilis data neraca perdagangan untuk Desember 2023 dan sepanjang tahun lalu.
Konsensus pasar yang dihimpun ²©²ÊÍøÕ¾ dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Desember 2023 akan mencapai US$ 1,95 miliar.
Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan November 2023 yang mencapai US$ 2,41 miliar. Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan terkontraksi 8,82 % (year on year/yoy) sementara impor naik 0,74% pada Desember 2023.
Sebagai catatan, nilai ekspor November 2023 terkoreksi 8,6% (yoy) dan turun 0,7% (month to month/mtm) menjadi US$ 22 miliar. Nilai impor November naik 4,9% (yoy) dan menanjak 3,3% (yoy) menjadi US$ 19,59 miliar.
Ekspor diperkirakan melandai pada Desember 2023 seiring dengan melandainya harga komoditas. Sebaliknya, impor diperkirakan akan naik sejalan dengan permintaan Natal dan tahun baru (Nataru).
Indonesia sangat menggantungkan ekspor kepada komoditas, terutama batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Sawit dan batu bara menyumbang ekspor sekitar 30% dari total ekspor Indonesia sehingga pergerakan harganya akan sangat menentukan ekspor.
2. Utang Luar Negeri
Hari ini, Senin (15/1/2024), Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan data utang luar negeri untuk periode November 2023. Sebagai catatan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Oktober 2023 tercatat sebesar US$ 392,2 miliar, atau naik 0,6% (yoy).
ULN pemerintah menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Posisi ULN pemerintah pada Oktober 2023 tercatat sebesar US$ 185,1 miliar. Nilainya turun dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar US$ 188,3 miliar. Secara tahunan, ULN pemerintah tumbuh sebesar 3,0% (yoy), melambat dibandingkan dengan bulan lalu sebesar 3,3% (yoy).Â
3. Pemerintah Diperkirakan Masih Konservatif Serap Hasil Lelang Surat Utang Negara (SUN)?
Kemudian, pada Selasa (16/1/2024) akan ada lelang surat utang negara (SUN) oleh pemerintah melalui sistem lelang Bank Indonesia (BI).
Melansir data Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan ada tujuh seri yang dilelang yakni SPN03240417 (New Issuance), SPN12250116 (New Issuance), FR0101 (Reopening), FR0100 (Reopening), FR0098 (Reopening), FR0097 (Reopening), dan FR0102 (Reopening)
Lelang SUN kali ini menjadi yang kedua kali-nya pada bulan ini, target indikatif yang direncanakan sendiri mencapai Rp24 triliun. Nilai-nya turun dari target lelang pertama sebesar Rp25 triliun.
Kemungkinan besar, pemerintah masih akan cukup hati-hati dalam menyerap surat utang pada lelang Selasa mendatang. Pasalnya, pada lelang sebelumnya yang diserap juga masih di bawah target sebesar Rp21,75 triliun, kendati penawaran yang masuk mencapai Rp39,8 triliun.
Serapan dari asing juga terbilang masih rendah pada lelang awal tahun ini, hanya sebesar Rp3,81 triliun dari penawaran yang masuk Rp7,36 triliun dan lebih rendah dari serapan asing pada 4 Januari 2023 sebesar Rp3,88 triliun.
4. Pertumbuhan Ekonomi China 2023
Beralih ke hari berikutnya, pada Rabu (17/1/2024) ada beberapa data ekonomi yang akan dirilis dari negeri Tirai Bambu, terutama data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal IV-2023.
Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan PDB Negeri Tirai Bambu pada kuartal IV-2023 diprediksi tumbuh menjadi 5,3% secara tahunan (yoy), dari sebelumnya sebesar 4,9% pada kuartal III-2023.
Namun, secara basis kuartalan (quarter-to-quarter/qtq), PDB China pada kuartal IV-2023 diprediksi turun menjadi 1,2%, dari sebelumnya yang tumbuh 1,3% (qtq).
China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia pun mengalami dampak dari kondisi ketidakpastian global.
Meskipun IMF masih mempertahankan proyeksi ekonomi China di angka 5,2% untuk 2023 dan 4,5% untuk 2024, namun setelah pelonggaran besar-besaran sejak akhir tahun lalu dengan mengurangi pembatasan terkait Covid-19 terjadi, potensi untuk tumbuh tinggi pun menjadi hilang.
Lebih lanjut, tidak seperti negara lainnya yang tertekan inflasi, China justru masih mengalami deflasi. Pada Desember 2023 atau akhir 2023, consumer price index (CPI) juga masih mengalami deflasi di angka 0,3% yoy, dari yang sebelumnya deflasi 0,5% yoy.
Kendati mengalami perbaikan, namun CPI China masih relatif menunjukkan bahwa ekonominya cukup lambat. Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya pelemahan permintaan. Salah satu alasannya adalah konsumen menunda pembelian mereka dengan harapan harga yang lebih rendah.
Di tambah, krisis properti di China yang belum berakhir turut membebani perekonomian China. Setelah kasus Evergrande dan Kaisa Group Holdings, kini krisis properti bertambah yakni Zhongzhi Enterprise Group.
Seperti halnya Evergrande, Zhongzhi Enterprise Group juga terkena krisis karena potensi gagal bayar (default). Bahkan, Zhongzhi Enterprise Group juga telah mengajukan kebangkrutan.
Krisis properti dan masih lesunya perekonomian China membuat Bank Dunia (World Bank) pun memproyeksikan perekonomian China tumbuh sebesar 4,5% pada 2024, melambat dari 2023 yang diperkirakan tumbuh sebesar 5,2%.
Bank Dunia menyatakan, perkiraan pertumbuhan 4,5% pada 2024 tersebut merupakan pertumbuhan yang paling lambat dalam tiga dekade, di luar periode pandemi Covid-19. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh konsumsi domestik yang diperkirakan akan tertahan, sementara krisis di sektor properti akan menghambat peningkatan investasi.
Bahkan, menurut Bank Dunia, tren perlambatan di China akan terus berlanjut hingga 2025, terutama yang dipengaruhi oleh investasi yang terhambat akibat peningkatan utang, hambatan demografis, serta menyempitnya peluang dalam mengejar ketertinggalan produktivitas.
"Pertumbuhan diperkirakan akan turun lebih lanjut pada 2025, menjadi 4,3%, di tengah berlanjutnya potensi perlambatan pertumbuhan," tulis Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects edisi Januari, dikutip Rabu (10/1/2024).
Bank Dunia menyatakan, meskipun dukungan pemerintah pusat dapat membantu meningkatkan belanja infrastruktur, tapi pemerintah daerah di China memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan berbagai kebijakan.
Dengan perekonomian China yang melambat, Bank Dunia pun memperkirakan pertumbuhan di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan melambat menjadi 2,5% pada 2024 dan 4,4% pada 2025.
5. Inflasi Inggris
Masih di hari yang sama pada Rabu, Inggris juga akan merilis data inflasinya pada akhir 2023 atau Desember 2023. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi Inggris pada akhir 2023 diprediksi sedikit turun menjadi 3,8% secara tahunan (yoy), dari sebelumnya sebesar 3,9% pada November 2023.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), Inggris justru diprediksi membaik yakni mengalami inflasi, dari sebelumnya pada November 2023 yang mengalami deflasi sebesar 0,2%.
Sementara untuk inflasi inti Inggris pada Desember 2023 diprediksi juga turun menjadi 4,9% (yoy), dari sebelumnya sebesar 5,1% pada November 2023.
Jika inflasi Inggris terus menurun, bukan tak mungkin bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga mulai akan memangkas suku bunga acuannya pada tahun ini.
6. Keputusan Suku Bunga Bank Indonesia
Masih pada hari yang sama juga, pada Rabu (17/1/2024), dari domestik ada Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya. BI diramal akan kembali menahan suku bunga acuan atau BI Rate di angka 6%.
BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar mengingat kekhawatiran BI mengenai inflasi sudah mereda.
Hal tersebut berangkat dari capaian inflasi dalam tujuh bulan berturut-turut yang berada dalam target bank sentral tahun 2023 sebesar 2,0% hingga 4,0%. Per Desember 2023, inflasi berada di level 2,61% secara tahunan (yoy). Angka ini turun lebih tajam dari yang diperkirakan.
Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan pada hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu, bahwa mungkin ada ruang untuk pelonggaran asalkan rupiah menguat lebih awal dan inflasi tetap rendah. BI memiliki target inflasi 2024 sebesar 1,5% hingga 3,5%, lebih rendah dari target 2023.
Di sisi lain, BI memperkirakan ekonomi Indonesia mampu tumbuh 4,7% hingga 5,5% pada 2024. Namun menurut survei Reuters, hanya akan mampu tumbuh maksimal di angka 5% untuk tahun ini.
7. Debat Keempat Cawapres
 Foto: Foto kolase Cawapres Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD. (²©²ÊÍøÕ¾/Faisal Rahman) Foto kolase Cawapres Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD. (²©²ÊÍøÕ¾/Faisal Rahman) |
Berikutnya pada Minggu akhir pekan ini (21/1/2024) debat keempat Pilpres 2024 atau Pemilu 2024 akan kembali digelar. Pada debat kali ini, giliran antar calon wakil presiden (cawapres) kembali saling berdebat seperti pada debat kedua.
Namun, kali ini tentunya tema debat keempat berbeda dengan debat sebelumnya, di mana pada debat keempat, tema yang akan diulas yakni Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.
Menarik disimak seperti apa visi misi cawapres dalam isu energi dan pangan hingga agraria. Terlebih, banyak persoalan besar di bidang pangan dan energi yang masih membebani Indonesia mulai dari subsidi energi yang membengkak, impor pangan yang tinggi hingga inflasi pangan.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
Berikut untuk indikator ekonomi RI :
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCHÂ