²©²ÊÍøÕ¾

Jepang, China & Israel Habiskan Ribuan Triliun Demi Perang Lawan Dolar

Revo M, ²©²ÊÍøÕ¾
04 June 2024 07:15
Kenapa Dolar AS Jadi Patokan Mata Uang Dunia? Ini Jawabnya
Foto: Infografis/ Kenapa Dolar AS Jadi Patokan Mata Uang Dunia? Ini Jawabnya / Aristya Rahadian

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Intervensi oleh bank sentral telah dilakukan di tengah amblesnya mata uang suatu negara di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Fenomena king dollar sangat kencang sejak 2022 atau sejak bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) mengerek suku bunga. Dolar AS membuat mata uang lain bertekuk lutut sehingga bank-bank sentral banyak negara harus menguras cadangan devisa (cadev) mereka untuk menjaga stabilitas mata uang dalam negeri.

Seperti diketahui, The Fed mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2022 menjadi 5,25-5,50% hingga saat ini. Kebijakan tersebut membuat investor ramai-ramai membeli dolar AS. Selain karena kencangnya dolar AS, bank-bank sentral di sejumlah negara juga menguras cadev mereka untuk menjaga stabilitas nilai tukar setelah terjadi guncangan geopolitik, seperti perang.

Baru-baru ini, Jepang menghabiskan JPY 9,8 triliun atau Rp1.013 triliun (kurs=Rp103,37 per yen) dalam sebulan terakhir untuk menopang yen setelah jatuh ke level terendah dalam 34 tahun terhadap dolar AS.

Dilansir dari ²©²ÊÍøÕ¾ International, Kementerian Keuangan Jepang pada pekan lalu menyampaikan bahwa intervensi sebesar JPY 9,8 triliun tersebut dilakukan antara 26 April dan 29 Mei 2024.

Ini adalah pertama kalinya pemerintah Jepang melakukan tindakan pasar seperti itu sejak Oktober 2022, menurut catatan kementerian.

Dilansir dari Refinitiv, nilai tukar yen terhadap dolar AS pada 26 April berada di angka 158,33. Sedangkan pada 29 Mei berada di angka 157,6 atau mengalami apresiasi 0,46%.

Lebih lanjut, Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki mendukung perlunya intervensi, jika pergerakan mata uang yang tajam mulai berdampak pada rumah tangga dan perusahaan.

"Ketika ada pergerakan yang berlebihan, mungkin perlu untuk memuluskannya," kata Suzuki kepada Dan Murphy pada 3 Mei 2024.

Tidak hanya Jepang, pada 2023 lalu, bank sentral China (PBoC) melakukan berbagai cara untuk menjaga stabilitas nilai tukar yuan dengan kebijakan moneternya.

Sejak pelemahan nilai tukar yuan China terhadap dolar AS pada pertengahan Mei 2023, China akan dengan tegas mengekang fluktuasi besar dalam nilai tukar dan mempelajari penguatan pengaturan mandiri simpanan dolar.

Pada 6 Juni 2023, sebuah badan regulasi mandiri China yang diawasi oleh bank sentral meminta bank-bank besar milik negara untuk menurunkan suku bunga deposito dolar, dalam upaya untuk menopang pelemahan mata uang yuan.

27 Juni 2023 terjadi penguatan yuan terhadap dolar AS karena bank-bank besar milik negara China terlihat menjual dolar di pasar luar negeri.

Belum puas dengan penguatan yang sesaat, bank-bank besar milik negara China kembali menurunkan suku bunga deposito dolar mereka untuk kedua kalinya dalam sebulan, hal ini dilakukan untuk menahan depresiasi nilai tukar yuan.

Hasil dari penurunan suku bunga deposito dolar AS tersebut membuat yuan menguat sejak awal Juli hingga pertengahan Juli 2023. Namun karena pelemahan ekonomi China pasca Covid-19 ditambah dengan ekonomi AS yang stabil dengan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang tinggi, membuat yuan kembali tak berdaya melawan dolar AS hingga akhirnya kembali melemah relatif hingga saat ini.

Kepala ekonomi dan strategi untuk Asia dan Oseania di Mizuho Bank, Vishnu Varathan mengatakan bahwa risiko intervensi terhadap yuan dalam negeri meningkat karena "pertumbuhan China yang melambat dan risiko keuangan yang merusak stabilitas CNY." ujarnya.

Dia mengatakan bahwa dalam jangka menengah, yuan dalam negeri mungkin akan menghadapi hambatan, dan menambahkan bahwa "geopolitik yang buruk di tengah kesuraman ekonomi dan risiko keuangan dapat memberikan tekanan yang berkepanjangan terhadap CNY."

Namun demikian, pihak Beijing akan tetap menjaga likuiditas yang masuk akal dan cukup serta menjaga kebijakannya "tepat dan kuat" untuk mendukung pemulihan ekonomi negara.

Begitu pula untuk negara Rusia yang mata uang Rubelnya sempat anjlok pada 2022 akibat perang yang terjadi setelah Rusia menyerang Ukraina pada Februari.

Rubel Rusia ambruk 40% hanya tujuh hari setelah Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022. Rubel jatuh dari RUB 81,15/US$ menjadi RUB 135,5/US$.

Untuk menahan pelemahan rubel, bank sentral Rusia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan dari 9,5% menjadi 20% pada 28 Februari 2023. Ini adalah yang tertinggi dalam hampir 20 tahun terakhir.

Tidak sampai disitu, cadangan devisa (cadev) Rusia pun ambles dari US$468,63 miliar pada Januari 2022 menjadi US$389,95 miliar pada September 2022 atau telah berkurang US$78,68 miliar (sekitar Rp1.276 triliun) dalam kurun waktu delapan bulan.

Namun, status Rusia sebagai pemasok energi dunia, mulai dari minyak hingga batu bara mampu membuat rubel kembali menguat dan cadev mereka naik.

Langkah Rusia menjual murah minyak dan batu bara mereka ikut membantu menaikkan cadev dan menguatkan kembali rubel. Rubel bahkan mampu menjadi salah satu mata uang dengan penguatan terbesar di dunia pada 2022 yakni sekitar 2,8%.

Bank sentral Israel pun pernah tercatat melakukan intervensi terakhir kalinya pada Januari 2022. Cadev Israel sudah jatuh ke US$198,56 miliar per akhir September 2023, dari US$202,86 miliar per Agustus 2023. Posisi cadev per September 2023 adalah yang terendah sejak Februari 2023 atau tujuh bulan terakhir.

Kemudian dari 9 Oktober hingga akhir bulan, bank sentral Israel menggunakan cadev sebesar US$8,2 miliar atau sekitar Rp36,2 triliun.

Lebih lanjut, pada Oktober 2023 silam, bank sentral Israel sempat mengatakan bahwa pihaknya akan menjual US$30 miliar mata uang asing di pasar terbuka, penjualan valuta asing pertama yang dilakukan bank sentral, untuk menjaga stabilitas selama perang dengan militan Palestina di Gaza.

Selain program senilai US$30 miliar, dikatakan bahwa bank sentral akan menyediakan likuiditas di pasar hingga US$15 miliar melalui mekanisme SWAP, sebuah kontrak derivatif di mana satu pihak menukar arus kas atau nilai satu aset dengan aset lainnya.

"Mata uang Israel sudah mengalami devaluasi karena banyak investor asing yang memilih mengurangi eksposur terhadap Israel dan dampak perang," tutur Zvi Eckstein, mantan deputi gubernur bank sentral Israel, dikutip dari ²©²ÊÍøÕ¾ International.

Sementara rupee India terpantau relatif stabil dan cenderung bergerak konsolidasi sejak Agustus 2023 hingga saat ini atau hampir satu tahun terakhir.

Bank sentral India (RBI) telah mampu mempertahan rupee dalam kisaran yang sempit di semester pertama tahun ini tidak seperti kebanyakan negara-negara Asia lainnya yang telah melemah lebih jauh.

Penurunan cadev RBI terlihat ke angka US$640 miliar, terendah dalam enam minggu, menunjukkan bank sentral telah menjual dolar di tengah konflik di Timur Tengah dan menunda ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed.

"Mengingat sifat intervensi RBI, kami memperkirakan volatilitas akan tetap terkendali. Kami mungkin melihat RBI memberikan dasar yang kuat pada pasangan USD/INR," kata Abhishek Goenka dari India Forex and Asset Management.

Sebelumnya, RBI pernah melakukan pembelian (US$36,7 miliar) dan penjualan (US$37 miliar) dolar AS pada bulan Oktober 2023 yang merupakan seperenam dari total volume perdagangan valas.

Pembelian dan penjualan agregat sebesar US$73,6 miliar adalah yang tertinggi setidaknya sejak tahun 2012.

Total aktivitas valas RBI menyumbang 17% dari total omset antar bank di pasar over-the-counter dalam negeri, tertinggi di bawah kepemimpinan Gubernur RBI saat ini, Shaktikanta Das, yang ditunjuk pada bulan Desember 2018. Das dianggap oleh beberapa analis sebagai salah satu gubernur RBI yang paling intervensionis.

Begitu pula dengan Indonesia yang menggunakan cadangan devisa (cadev) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Intervensi Bank Indonesia (BI) terpantau cukup signifikan dilakukan yakni dari US$140,4 miliar pada Maret 2024 menjadi US$136,2 miliar pada April 2024 atau turun sebesar US$4,2 miliar (sekitar Rp68,23 triliun).

Hal tersebut dilakukan bersamaan dengan kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin (bps) dari 6% menjadi 6,25%.

Penggunaan cadev ini berdampak positif kepada rupiah khususnya pada awal hingga pertengahan Mei 2024.

Kendati demikian, rupiah kembali terpantau mengalami depresiasi di atas level psikologis Rp16.200/US$.

²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation