
Energi Terbarukan Mulai 'Hajar' Industri Batu Bara, Harga Ambruk

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Harga batu bara dunia kontrak Juli alami penurunan di tengah permintaan penambahan kapasitas energi terbarukan di China dan di Asia.
Merujuk pada Refinitiv, sepanjang perdagangan pekan ini (3-7 Juni 2024), harga batu bara mengalami penurunan yang cukup dalam.
Pada awal perdagangan pekan ini, harga batu bara berada di angka US$144,45 per ton dan di akhir perdagangan pekan ini menjadi US$133 per ton atau turun lebih dari US$11 per ton dalam waktu lima hari.
Kekhawatiran pasar muncul setelah China sebagai negara importir batu bara terpantau menunjukkan peningkatan dua kali lipat dari kapasitas terpasang saat ini dan berarti China akan tetap menjadi pemimpin dalam penerapan energi terbarukan.
International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahwa China memasang hampir 350 ²µ¾±²µ²¹·É²¹³Ù³ÙÌý(GW) kapasitas energi terbarukan baru pada tahun 2023. Jumlah tersebut lebih dari separuh total kapasitas global. Jika negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini mempertahankan kecepatan ini, kemungkinan besar China akan melampaui target tahun 2030 pada tahun ini.
Target formal China adalah memiliki kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga angin dan surya sebesar 1.200 GW pada tahun 2030, namun IEA mengatakan pada bulan April tahun ini kapasitas tersebut sudah mencapai 1.130 GW.
Lebih lanjut, India memimpin rencana penambahan energi terbarukan dengan kapasitas bahan bakar non-fosil sebesar 500 GW pada tahun 2030, angka yang mencakup nuklir sekitar 15 GW sementara mayoritas adalah 293 GW tenaga surya dan 100 GW tenaga angin.
Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mempunyai ambisi untuk mencapai 225 GW energi terbarukan pada tahun 2030, dipimpin oleh Vietnam dengan 84 GW, Indonesia dengan 44 GW, dan Filipina dengan 30 GW.
Semakin beralihnya suatu negara ke energi terbarukan dan beriringan dengan berkurangnya minat penggunaan batu bara sebagai sumber energi, akan memberikan dampak negatif bagi negara yang mempunyai porsi yang besar dari pendapatan batu bara. Salah satunya yakni Indonesia.
Menurunnya permintaan batu bara yang disertai dengan harga batu bara dunia yang mengalami depresiasi, sudah mulai terasa oleh Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan dari sisi volume, ekspor batu bara Indonesia pada Januari-April 2024 menyentuh 130,3 juta ton atau naik 7,4%. Namun, karena harga turun maka nilai ekspor batu bara Indonesia pada Januari-April 2024 jeblok 24,2% menjadi US$ 10,18 miliar.
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menambahkan, nilai ekspor komoditas seperti batu bara dan CPO sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga internasional. Ketika harga jual komoditas seperti CPO mengalami penurunan di pasar global, kinerja ekspor Indonesia juga turut terpengaruh dan mengalami penurunan.
Ketika harga batu bara anjlok, maka pendapatan negara dari kegiatan ekspor tersebut akan mengalami penurunan.
Jika harga batu bara terus melemah maka ekspor Indonesia akan ikut terseret turun. Akibatnya surplus perdagangan bisa mengecil sehingga transaksi berjalan bisa terus defisit. Pelemahan ekspor ini juga bisa berdampak pada stabilitas nilai tukar karena ekspor yang menurun menandai semakin berkurangnya pasokan dolar Amerika Serikat di pasar keuangan Indonesia. Kondisi ini membuat Indonesia rawan gejolak jika ada guncangan global.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)