²©²ÊÍøÕ¾

Peringatan Bank Dunia untuk Prabowo: Senjata RI Jadi Negara Maju Macet

Revo M, ²©²ÊÍøÕ¾
27 June 2024 16:45
Pekerjaan di 5 Industri Ini Paling Menderita Jika Resesi
Foto: Infografis/ / Ilham Restu

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Bank Dunia mengingatkan pemerintahan Indonesia untuk meningkatkan kapasitas sektor industri. Dalam pandangan Bank Dunia, industrialisasi Indonesia terus melambat dan sangat terkonsentrasi ke sektor tertentu. Produktivitas tenaga kerja Indonesia juga sangat rendah dibandingkan negara lain.

Hal ini disampaikan dalam laporan yang dirilis pada Juni 2024 berjudul Unleashing Indonesia's Business Potential.

Dalam laporan tersebut, terdapat empat tantangan struktural yang menjadi sorotan utama Bank Dunia, yakni peningkatan konsentrasi di sektor manufaktur tertentu, perlambatan dalam mengurangi disparitas pendapatan regional, pertumbuhan upah yang lebih lemah dan meningkatnya ketimpangan sejak pandemi COVID-19, serta mobilitas geografis yang terbatas dari angkatan kerja sehingga sulit untuk mencocokkan pekerja dengan pekerjaan.

Bank Dunia secara tajam juga menyoroti soal rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia.

Persoalan manufaktur dan produktivitas tenaga kerja yang menjadi sorotan Bank Dunia ini akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi presiden selanjutnya yakni Prabowo Subianto.

Industrialisasi merupakan kunci dan senjata utama bagi sebuah negara untuk menjadi negara maju. Pasalnya, industri yang maju tidak hanya mendongrak pendapatan dan memberi nilai tambah tetapi membuka kesempatan terbukanya lapangan kerja di sektor formal.

Industri Kurang Beragam, Sangat Terkonsentrasi ke Sektor Tertentu
Bank Dunia mengatakan adanya konsentrasi yang semakin tajam pada sektor tertentu dalam pengembangan manufaktur di Indonesia. Kondisi ini membuat Indonesia rentan dan memiliki daya saing yang lebih rendah.

Dalam pandangan Bank Dunia, manufaktur Indonesia semakin terkonsentrasi kepada sektor yang berbasis komoditas. Sektor-sektor yang menciptakan rantai pasok global justru kurang tergarap.

Pertumbuhan pengolahan berbasis komoditas mencerminkan keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam.  Namun, daya saing industri manufaktur lainnya  perlu diperhatikan karena penting dan bisa memberi nilai tambah dalam jangka panjang.

Setidaknya ada tiga sektor penting yang bisa menghasilkan nilai tambah dalam jangka panjang. Sektor tersebut di antaranya adalah sektor yang mengandalkan tenaga kerja skill rendah di sektor tradable atau sektor-sektor yang menghasilkan keluaran produk yang dapat diperdagangkan di pasar luar negeri seperti tekstil, pakaian, furniture.

Sektor lainnya adalah sektor industri yang mengandalkan tenaga kerja dengan skill menengah dan mendukung manufaktur inovasi global seperti mesin dan peralatan, kendaraan bermotor, peralatan listrik).
Sektor lainnya adalah industri berbasis inovasi global yang membutuhkan tenaga kerja dengan skill tinggi seperti komputer dan elektronik, farmasi.

Industri-industri ini cenderung memiliki keterkaitan rantai nilai global yang lebih kuat dibandingkan pengolahan berbasis komoditas, dan oleh karena itu cenderung terkait dengan produktivitas yang lebih tinggi dan penciptaan lapangan kerja yang lebih baik. Daya saing dan pertumbuhan industri manufaktur ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan daya saing input dari sektor jasa.

"Industri-industri ini cenderung memiliki keterkaitan rantai nilai global yang lebih kuat daripada pengolahan berbasis komoditas. Sektor ini terkait erat dengan produktivitas yang lebih tinggi dan penciptaan lapangan kerja yang lebih baik," tulis Bank Dunia dalam laporannya.

World BankFoto: Herfindahl-Hirschman index of concentration
Sumber: World Bank

"Hal ini dapat menjadi sumber meningkatnya kerentanan terhadap penurunan sektoral dan volatilitas harga komoditas. Ekspansi yang signifikan dari industri logam dasar dan produk logam tercermin dari sektor tersebut yang menyumbang sepertiga dari pertumbuhan manufaktur selama 2021-2023. Sebaliknya, industri-industri prioritas lainnya tampil di bawah rata-rata mereka sebelum Covid-19," tutur Bank Dunia dalam laporannya.

Selain industri berbasis komoditas, industri Indonesia juga terkonsentrasi ke makanan dan minuman. Peningkatan pangsa industri makanan dan minuman bersama dengan ekspansi beberapa industri berbasis komoditas telah menyebabkan penyempitan basis pertumbuhan ekonomi dan pengurangan diversifikasi dalam sektor manufaktur.

Industri makanan dan minuman yang jauh menjadi kontributor terbesar terhadap nilai tambah manufaktur kini melambat. Sementara itu, industri tekstil dan pakaian menghadapi tantangan yang meningkat, termasuk permintaan ekspor yang menurun dan pembatasan impor yang semakin ketat.

Industri makanan dan minuman, merupakan kontributor terbesar terhadap nilai tambah manufaktur Indonesia yakni sekitar 35,1% dari total pada tahun 2023. Pertumbuhan sektor tersebut melambat dari dari rata-rata tahunan 7,8% sebelum Covid-19 menjadi 4,7% setelahnya.

Kendati mendapatkan manfaat dari permintaan domestik yang kuat dan pemulihan layanan hospitality, pertumbuhannya terkendala oleh tekanan inflasi dan ekspor yang lemah.

Demikian pula, industri tekstil dan pakaian menghadapi tantangan yang meningkat pasca Covid-19, termasuk pasar ekspor yang menyusut akibat pembatasan impor yang ketat.

Tantangan ini telah menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan dan penurunan stabil dalam kontribusi sektor ini terhadap nilai tambah manufaktur, dari 6,2% pada tahun 2019 menjadi 5,2% pada tahun 2023.

Industri prioritas lain yang lebih bernilai tambah seperti peralatan transportasi dan mesin, tumbuh dengan kuat, sementara produk karet dan furniture mengalami kontraksi pasca Covid-19. Secara keseluruhan, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB tetap di bawah 20% pada 2023.

Menanggapi kondisi industri/manufaktur yang kurang baik, World Bank Lead Economist for Indonesia and Timor-Leste Habib Rab mengatakan perlunya mengatasi hambatan non-tarif dalam hal akses terhadap teknologi dan input yang penting, namun juga menghapus pembatasan pada sektor jasa, termasuk pembatasan mempekerjakan pekerja asing, serta pembatasan penanaman modal di sektor jasa.

Selain itu, Senior Economist World Bank Alexandre Hugo Laure berpendapat bahwa industrialisasi harus beralih dari fokus pada alam, dan lebih fokus pada diversifikasi ekonomi. Menurutnya, perusahaan manufaktur menjadi yang paling terkena dampak buruk dari implementasi Omnibus Law.

Dalam catatan Bank dunia, kontribusi industri makanan dan minuman semakin turun dari 2,5% pada 2017-2019 menjadi 1,6% pada 2021-2023. Sebaliknya, industri logam dasar dan produk logam melonjak menjadi 0,8% dan 0,9% pada 2021-2023.

Kontribusi pertumbuhanFoto: Bank Dunia
Kontribusi pertumbuhan

Sejalan dengan Bank Dunia, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan perlambatan manufaktur. 

Jika melihat data BPS pada 2001-2004, rata-rata pertumbuhan manufaktur RI mencapai 5,03% di era Megawat Soekarnoputrii. Rata-rata pertumbuhan tersebut jauh di atas satu dekade era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) yang masing-masing mencapai 4,7% dan 3,6%.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun dari 26,05% pada periode SBY term I menjadi 21,05% di era Jokowi term II.

Produktivitas Kerja Buruh Indonesia Rendah
Selain persoalan industri manufaktur, Bank Dunia juga menyoroti soal rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia. Produktivitas tenaga kerja Indonesia menurun drastis sejak pandemi Covid-19. 

Produktivitas tenaga kerja turun dari US$7.530  atau sekitar Rp 123,64 juta (US% 1=Rp 16.420) per pekerja pada 2015 menjadi US$5.336 per pekerja pada 2023 (Rp 87,62 juta). Perusahaan-perusahaan Indonesia juga memiliki kinerja yang buruk dibandingkan dengan negara-negara sebanding lainnya.

Perusahaan-perusahaan Indonesia memiliki produktivitas tenaga kerja rata-rata terendah dibandingkan pesaingnya seperti Turki dan India. Perusahaan di Turki memiliki produktivitas tenaga kerja tertinggi dengan US$183.551 per pekerja.

Produktivitas tenaga kerja  Meksiko, India, dan Filipina adalah masing-masing US$18.265 per pekerja, US$15.419 per pekerja, dan US$9.253 per pekerja.

Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan Indonesia mampu mengatasi pandemi COVID-19 dan pulih lebih cepat dibandingkan perusahaan di Filipina.

Produktivitas tahunan rata-rata perusahaan Indonesia menurun sebesar 4,2% sementara di Filipina mencapai 20,7%.

Perusahaan Indonesia juga menjual lebih sedikit barang dan mempekerjakan lebih sedikit pekerja dibandingkan negara lain. Meskipun memiliki pasar domestik yang besar, penjualan perusahaan manufaktur di Indonesia hanya US$775.000. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata penjualan di negara besar lain seperti Turki (US$4 juta) dan India (US$1,1 juta).

Dari sisi jumlah pekerja, rata-rata perusahaan di Indonesia mempekerjakan 20,1 pekerja. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Meksiko (29 pekerja) dan Turki (21,9 pekerja).

Produktivitas tenaga kerjaFoto: Bank Dunia
Produktivitas tenaga kerja

²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation