²©²ÊÍøÕ¾

Newsletter

Musim Window Dressing Tiba, Pesta Bisa Rusak Karena Amerika

Chandra Dwi, ²©²ÊÍøÕ¾
11 December 2024 06:15
Ini 10 Saham Untuk Warisan Anak Cucu: BBCA Hingga ROTI
Foto: Infografis/Ini 10 Saham Untuk Warisan Anak Cucu: BBCA Hingga ROTI/Aristya rahadian
  • Pasar keuangan Tanah Air secara mayoritas bergairah, di mana IHSG kembali cerah kemarin, sedangkan rupiah terpantau stabil.
  • Wall Street ditutup kembali merana karena ada kekhawatiran pasar mengenai data inflasi yang akan dirilis
  • Pelaku pasar akan memantau rilis data inflasi AS dan potensi window dressing di pasar saham RI.

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pasar keuangan Tanah Air kembali beragam pada perdagangan Selasa (10/12/2024) kemarin, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali bergairah, sedangkan rupiah terpantau stabil.

IHSG pada perdagangan kemarin ditutup menguat 0,21% ke posisi 7.453,29. Sepanjang perdagangan kemarin, IHSG cenderung volatil hingga sempat ke zona koreksi. Namun di akhir perdagangan kemarin, IHSG akhirnya berhasil bangkit. IHSG pun masih berada di level psikologis 7.400.

Nilai transaksi IHSG pada kemarin mencapai sekitar Rp 15,6 triliun dengan melibatkan 24 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak259saham menguat,311 saham melemah, dan 228Ìýsaham stabil.

Secara sektoral, sektor bahan baku menjadi penyokong utama yakni sebesar 1,98%. Sedangkan dari sisi saham, emiten energi baru terbarukan (EBT) konglomerasi Prajogo Pangestu yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penyokong utama yakni mencapai 4,8 indeks poin.

Investor asing kembali masuk ke pasar saham RI. Namun jumlahnya terbilang kecil. Asing mencatatkan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 84,26 miliar di seluruh pasar, dengan rincian net buy sebesar Rp 50,01 miliar di pasar reguler dan net buy sebesar Rp 34,25 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Sementara itu di Asia-Pasifik pergerakannya kembali beragam. Indeks KOSPI Korea Selatan yang beberapa hari sebelumnya terpuruk mulai bangkit kemarin dan menjadi yang paling kencang di kawasan Asia-Pasifik.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Selasa kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin terpantau stabil di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15.860/US$ di pasar spot, alias stabil.

Sementara di Asia, mata uangnya secara mayoritas melemah. Dolar Taiwan menjadi yang paling parah koreksinya kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Selasa kemarin.

Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin berbalik melemah, terlihat dari imbali hasil (yield) yang naik.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 0,5 basis poin (bps) menjadi 6,921%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.

IHSG berhasil menguat meskipun kinerja pasar saham Indonesia hari ini terganggu oleh perlambatan ekonomi global, terutama data perdagangan China yang menunjukkan tren negatif, serta data domestik yang mencerminkan penurunan aktivitas konsumsi.

Dari sentimen global, surplus perdagangan China pada November 2024 melonjak menjadi US$ 97,44 miliar, naik dari US$ 69,45 miliar pada periode yang sama tahun lalu dan melampaui ekspektasi sebesar US$ 95 miliar.

Meskipun demikian, perlambatan ekspor menjadi 6,7% (year-on-year/yoy) dari 12,7% pada Oktober, serta penurunan impor sebesar 3,9%, menggarisbawahi lemahnya permintaan domestik di China.

Penurunan impor yang lebih tajam dari estimasi menunjukkan adanya dampak dari tekanan tarif yang dikenakan oleh AS serta terbatasnya efektivitas stimulus ekonomi China.

Sebagai mitra dagang utama Indonesia, lemahnya perdagangan China mempengaruhi pasar komoditas global, termasuk ekspor Indonesia. Komoditas seperti batubara dan minyak kelapa sawit (CPO), yang merupakan andalan ekspor Indonesia, berisiko menghadapi penurunan permintaan.

Hal ini diperburuk oleh pelebaran surplus perdagangan China dengan AS menjadi US$ 34,9 miliar dari US$ 33,5 miliar pada bulan sebelumnya, yang berpotensi memperburuk hubungan dagang antara kedua negara besar tersebut.

Dari sisi domestik, data penjualan ritel Indonesia tercatat lesu, di mana pertumbuhannya hanya mencapai 1,5% (yoy) pada Oktober 2024, melambat dari kenaikan 4,8% pada bulan sebelumnya.

Pertumbuhan tersebut merupakan yang paling lambat sejak Januari, mencerminkan daya beli masyarakat yang masih tertahan. Penurunan ini disebabkan oleh perlambatan penjualan makanan yang hanya naik 3,3% dari 6,9% pada September, sementara penjualan di sektor informasi dan komunikasi mencatat penurunan lebih tajam sebesar -25,1%.

Di sisi lain, bahan bakar dan suku cadang otomotif mencatat peningkatan, masing-masing sebesar 9,3% dan 8,8%. Untuk November, proyeksi pertumbuhan ritel diperkirakan membaik menjadi 1,7%.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street kembali ditutup melemah pada perdagangan Selasa kemarin, karena investor dengan cemas menunggu rilis data inflasi utama yang dapat memengaruhi keputusan suku bunga The Fed minggu depan.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,35% ke posisi 44.247,83, S&P 500 terkoreksi 0,3% ke 6.034,91, dan Nasdaq Composite terpangkas 0,25% menjadi 19.687,24.

Pembacaan Indeks Harga Konsumen (IHK) AS periode November yang akan dirilis pada malam hari ini, merupakan salah satu laporan utama terakhir menjelang pertemuan The Fed pada 17-18 Desember.

Ekonom yang disurvei oleh Dow Jones memperkirakan bahwa inflasi umum naik 0,3% pada November secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 2,7% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Jika hal ini benar terjadi, maka probabilitas The Fed dalam menurunkan suku bunganya di bulan ini akan semakin kecil mengingat angka inflasi yang terus meningkat.

"Ada sedikit sikap menunggu dan melihat di pasar menjelang data CPI dan PPI minggu ini, Pasar ingin melihat angka yang tidak akan terlalu mengganggu Fed minggu depan," kata Mona Mahajan, kepala strategi investasi di Edward Jones, dikutip dari Reuters.

"Jika CPI sesuai dengan estimasi, investor akan mengharapkan "semuanya aman" bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 bps minggu depan, tambahnya.

Sejauh ini, menurut perangkat CME FedWatch, probabilitas pasar yang memperkirakan The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuannya masih cukup besar yakni mencapai 8,61%. Angka ini mengalami peningkatan dari sehari sebelumnya yang mencapai 85%.

Dengan meningkatnya probabilitas pasar yang memperkirakan The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuannya, maka sejatinya pasar masih cukup optimis bahwa bank sentral Negeri Paman Sam akan kembali memangkas suku bunga acuannya pada pertemuan pekan depan.

Namun yang perlu diwaspadai adalah pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell yang menekankan kehati-hatian mengenai pendekatan bank sentral dalam melonggarkan kebijakan moneter karena ketahanan ekonomi.

Hal ini karena data tenaga kerja di AS makin pulih, membuat kemungkinan The Fed akan kembali merubah sikapnya pada pertemuan terakhir di 2024.

The Fed kini berada dalam periode tanpa komentar mengenai pertemuan penetapan kebijakannya, tetapi investor akan memperoleh satu wawasan terakhir mengenai pengambilan keputusan mereka dengan data inflasi utama yang akan dirilis pekan ini.

Pelaku pasar akan mencermati tanda-tanda bahwa The Fed akan menghentikan siklus pelonggarannya pada Januari 2025, setelah sejumlah pejabat The Fed minggu lalu mengisyaratkan pelonggaran kebijakan moneter yang lebih lambat seiring dengan ketahanan ekonomi.

″Pasar telah menyempit selama seminggu terakhir. Investor menunggu untuk melihat apakah itu sekadar pelemahan musiman tradisional pada pertengahan Desember, dan saya pikir [mereka] mengharapkan partisipasi akan meluas sekali lagi karena pasar memang mengalami peningkatan di akhir tahun," ungkap Sam Stovall, kepala strategi investasi CFRA Research dilansir dari ²©²ÊÍøÕ¾ International.

Pasar keuangan Indonesia, baik IHSG maupun rupiah cenderung akan kembali dipengaruhi oleh sentimen global, terutama terkait dengan masih lesunya perekonomian China dan jelang rilis data inflasi AS periode November 2024.

Neraca Perdagangan China

Kemarin, China telah merilis data perdagangannya pada periode November 2024. Hasilnya pun cenderung mengecewakan. Data ekspor China pada bulan lalu melambat menjadi 6,7% (yoy), dari 12,7% pada Oktober, serta terkontraksinya impor sebesar 3,9%, menggarisbawahi lemahnya permintaan domestik di China.

Kontraksi impor yang lebih tajam dari estimasi menunjukkan adanya dampak dari tekanan tarif yang dikenakan oleh AS serta terbatasnya efektivitas stimulus ekonomi China.

Sebagai mitra dagang utama Indonesia, lemahnya perdagangan China mempengaruhi pasar komoditas global, termasuk ekspor Indonesia. Komoditas seperti batubara dan minyak kelapa sawit (CPO), yang merupakan andalan ekspor Indonesia, berisiko menghadapi penurunan permintaan.

Hal ini diperburuk oleh pelebaran surplus perdagangan China dengan AS menjadi US$ 34,9 miliar dari US$ 33,5 miliar pada bulan sebelumnya, yang berpotensi memperburuk hubungan dagang antara kedua negara besar tersebut.

Inflasi AS

Pada malam hari ini waktu Indonesia, AS akan merilis data inflasinya pada periode November 2024. Ekonom yang disurvei oleh Dow Jones memperkirakan bahwa inflasi umum naik 0,3% pada November secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 2,7% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Jika hal ini benar terjadi, maka probabilitas bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menurunkan suku bunganya di bulan ini akan semakin kecil mengingat angka inflasi yang terus meningkat.

Sejauh ini, menurut perangkat CME FedWatch, probabilitas pasar yang memperkirakan The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuannya masih cukup besar yakni mencapai 8,61%. Angka ini mengalami peningkatan dari sehari sebelumnya yang mencapai 85%.

Dengan meningkatnya probabilitas pasar yang memperkirakan The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuannya, maka sejatinya pasar masih cukup optimis bahwa bank sentral Negeri Paman Sam akan kembali memangkas suku bunga acuannya pada pertemuan pekan depan.

Namun yang perlu diwaspadai adalah pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell yang menekankan kehati-hatian mengenai pendekatan bank sentral dalam melonggarkan kebijakan moneter karena ketahanan ekonomi.

Hal ini karena data tenaga kerja di AS makin pulih, membuat kemungkinan The Fed akan kembali merubah sikapnya pada pertemuan terakhir di 2024.

Sebelumnya, inflasi AS naik tipis pada bulan Oktober karena The Federal Reserve (The Fed) mencari petunjuk tentang seberapa besar penurunan suku bunga oleh Bank Sentral AS.

Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi, ukuran umum yang dipilih The Fed sebagai pengukur inflasi, meningkat 0,2% pada bulan tersebut dan menunjukkan tingkat inflasi 12 bulan sebesar 2,3%. Keduanya sejalan dengan perkiraan konsensus Dow Jones, meskipun tingkat tahunan lebih tinggi dari level 2,1% pada bulan September.

Tidak termasuk makanan dan energi, inflasi inti menunjukkan pembacaan yang lebih kuat, dengan peningkatan sebesar 0,3% secara bulanan dan pembacaan tahunan sebesar 2,8%. Keduanya juga memenuhi ekspektasi. Tingkat tahunan adalah 0,1 poin persentase di atas bulan sebelumnya.

Harga jasa menghasilkan sebagian besar inflasi untuk bulan tersebut, naik 0,4%, sementara barang turun 0,1%. Harga makanan sedikit berubah, sementara energi turun 0,1%.

Para pembuat kebijakan The Fed menargetkan inflasi pada tingkat tahunan 2%. Inflasi PCE telah berada di atas level tersebut sejak Maret 2021 dan mencapai puncaknya sekitar 7,2% pada Juni 2022, yang mendorong The Fed untuk melakukan kampanye kenaikan suku bunga yang agresif.

Penjualan Ritel RI Mampu Tumbuh

Bank Indonesia (BI) mengumumkan penjualan ritel periode Oktober 2024. Tercatat untuk periode Oktober 2024 data penjualan ritel Indonesia tumbuh hingga 1,5%. Sebelumnya, penjualan ritel di Indonesia tumbuh sebesar 4,8% (yoy) pada September 2024, melambat dibandingkan dengan kenaikan 5,8% pada bulan sebelumnya.

Hal ini menandai bulan keenam berturut-turut ekspansi dalam omzet ritel tetapi laju paling lambat sejak Januari,mencerminkan daya beli masyarakat yang masih tertahan. Penurunan ini disebabkan oleh perlambatan penjualan makanan yang hanya naik 3,3% dari 6,9% pada September, sementara penjualan di sektor informasi dan komunikasi mencatat penurunan lebih tajam sebesar -25,1%.

Di sisi lain, bahan bakar dan suku cadang otomotif mencatat peningkatan, masing-masing sebesar 9,3% dan 8,8%. Untuk November, proyeksi pertumbuhan ritel diperkirakan membaik menjadi 1,7%.

Deretan Saham Untuk Menyambut Window Dressing

Pasar saham mulai memasuki periode window dressing di bulan Desember. Istilah ini merujuk pada tindakan manajer investasi yang membeli atau menjual saham untuk meningkatkan performa portofolio sebelum laporan kepada klien.

Tujuan window dressing saham adalah membuat kinerja terlihat menjanjikan bagi manajer investasi dan mempercantik laporan keuangan bagi perusahaan atau emiten. Fenomena ini umumnya terjadi pada akhir tahun, terutama pada Desember atau awal tahun seperti Januari.

Terdapat tujuh saham berlabel bluechips yang memiliki kinerja mentereng kala musim musim window dressing pada akhir tahun.

Saham bluechips menjadi emiten yang dipilih oleh banyak perusahaan investasi karena memiliki kinerja keuangan dan bisnis yang konsisten baik dan mampu bertahan serta bangkit dalam kondisi sulit. Selain itu saham bluechips juga menjadi pemimpin di setiap sektornya. Alasan lain adalah saham bluechips memiliki nilai kapitalisasi pasar yang besar sehingga mampu dibeli oleh investor dengan modal yang besar seperti perusahaan investasi atau investor individu baik dari dalam maupun luar negeri.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menjadi emiten yang memiliki kinerja harga saham dengan rata-rata kenaikan terbanyak pada Desember dalam sepuluh tahun terakhir (2013-2023).

Emiten dengan kode saham BBRi tersebut memiliki rata-rata pertumbuhan harga saham sebesar 3,98% dalam sepuluh tahun terakhir. Adapun BBRI mencatat 8 kenaikan harga saham pada Desember dan hanya dua kali berada di teritori negatif.

Pertumbuhan harga saham BBRi tertinggi terjadi pada 2017. Kala itu harga saham Bank yang berorientasi pada sektor UMKM tersebut melejit 13,4%.

Tahun lalu kinerja saham BBRI juga signifikan, dengan pertumbuhan harga saham tercatat 8,53% dalam sebulan.

Sementara performa terburuk terjadi pada 2013, yakni melemah 2,68%. Penurunan lainnya terjadi pada 2022 hanya sebesar 0,8% saja.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data tingkat pengangguran Korea Selatan periode November 2024 (06:00 WIB),
  2. Rilis data inflasi produsen Jepang periode November 2024 (06:50 WIB),
  3. Rilis data inflasi konsumen Amerika Serikat periode November 2024 (20:30 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (10:00 WIB),
  2. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Diagnos Laboratorium Utama Tbk (10:00 WIB),
  3. Cum date dividen interim PT Barito Renewables Energy Tbk,
  4. Cum date dividen interim PT Tower Bersama Infrastructure Tbk,
  5. Cum date dividen interim PT BFI Finance Indonesia Tbk,
  6. Ex date dividen interim PT Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk.

ÌýBerikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular