²©²ÊÍøÕ¾

Kredit Macet Fintech Tembus 3,18%, Perlukah Khawatir?

Yanurisa Ananta, ²©²ÊÍøÕ¾
01 April 2019 11:36
OJK mengatakan rasio kredit macet mencapai 3,18% dengan rasio kredit kurang lancar 3,17%.
Foto: Infografis/10 daftar fintech baru yang terdatar di OJK/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Rasio kredit macet dari perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending mengalami peningkatan. Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kamis pekan lalu, menunjukkan NPL Fintech saat ini telah mencapai 3,18% dengan rasio kredit kurang lancar sebesar 3,17%.

"Harus diwaspadai karena NPL-nya juga sudah pada angka 3,18%. Sementara, kredit kurang lancar 3,17%. Kalau diparalelkan dengan bank jumlah keduanya 6,35%. Cukup tinggi dibanding bank," jelas Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Yohannes Santoso Wibowo, Kamis (28/3/2019)lalu.

Kenaikan NPL itu terjadi di tengah pertumbuhan pinjaman outstanding di Februari mencapai Rp7,05 triliun atau tumbuh 600%. Yohannes menambahkan memang risiko pinjaman melalui P2P lending fintech lebih tinggi dibanding bank karena kredibilitas pembayaran pinjaman oleh nasabah belum terukur.

"Anda mau pinjam Rp 10 juta. Tapi sejauh mana saya tahu kredibilitas bisa balikin uang ke saya. Tapi karena saya [fintech] ingin return bagus saya kasih. Ternyata nasabah tinggal di Surabaya," ungkap Yohannes. 

Kredit Macet Fintech Tembus 3,18%, Perlukah Khawatir?Foto: Doc. OJK

Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menjelaskan kenaikan NPL disebabkan terbatasnya variabel analisa credit scoring yang bisa diakses perusahaan fintech.

 Hal itu sesuai aturan OJK yang hanya membolehkan fintech mengakses microphone, location dan kamera. Akibatnya, fintech kerap keliru memahami perilaku peminjam yang diloloskan.


"Dengan pembatasan hanya boleh mengakses tiga variabel itu membuat kecerdasan credit scoring Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi konsumen yang baik menjadi berkurang," jelas Kus, sapaan Kuseryansyah, kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Kamis (28/3/2019). 

Kus menjelaskan, proses credit scoring merupakan proses yang harus dilalui penyelenggara untuk menentukan layak atau tidaknya konsumen untuk dipinjami uang. Setidaknya di awal kemunculannya, penyelenggara memiliki 15 variabel untuk menganalisa konsumen. OJK kemudian membatasi menjadi 3 variabel analisa saja sejak Oktober 2018 menyusul maraknya praktek penagihan yang mengarah pada kekerasan.

"Kalau dulu lebih terbuka untuk dianalisa. Tapi OJK melihat karena banyak penagihan melalui akses phone book dan menggunakan kontak dari borrower maka dibatasi," tambah Kus. 

Kus menyadari pembatasan yang dilakukan OJK tersebut bertujuan melindungi data pribadi konsumen. Namun, lanjut Kus, di Indonesia saat ini pun belum ada Undang-Undang tentang perlindungan data pribadi. Di sisi lain, fintech ilegal yang di luar pemantauan OJK dengan bebas mengakses data pribadi konsumen di luar tiga variabel tersebut.

"Terkait data pribadi, tidak ada kriteria yang valid. Fintech legal dibatas 3 [variabel], fintech ilegal bisa akses semua. Dengan UU, polisi bisa langsung menindak tanpa harus ada aduan." tandasnya.

Simak video perkembangan fintech lending Indonesia di bawah ini:
[Gambas:Video ²©²ÊÍøÕ¾]



(roy/roy) Next Article Kredit Macet Fintech di Atas 3%, Bahayakah?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular