²©²ÊÍøÕ¾

Dari CSR hingga Fintech, Ini Ancaman Bisnis BPR di RI

Yanurisa Ananta, ²©²ÊÍøÕ¾
03 May 2019 12:37
Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK Ayahandayani mengatakan banyak LJK yang juga 'mencaplok' pasar penyaluran kredit ke segmen UMKM.
Foto: Pelatihan dan Gathering Media Massa jakarta oleh Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK Ayahandayani. (²©²ÊÍøÕ¾/aya)
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Meski kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dinilai masih positif, kehadiran layanan keuangan financial technology (fintech), khususnya peer-to-peer (P2P) lending mengancam BPR. Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK Ayahandayani mengatakan banyak Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang juga 'mencaplok' pasar penyaluran kredit ke segmen UMKM.

"Dengan fintech ini jadi persaingan juga untuk BPR. Tapi kita lihat suku bunga fintech tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan BPR," kata Ani, sapaan akrab Ayahandayani, dalam acara Pelatihan dan Gathering Media Massa Jakarta, Bandung, Jumat (3/5/2019).

Dirinya menyebut saat ini suku bunga BPR berada sedikit di bawah suku bunga fintech yang rata-rata sebesar 3% per bulan. Suku bunga BPR selama ini mengacu pada suku bunga yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sebesar 9,5%.

"Jadi, BPR itu bisa menghimpun dana sampai dengan 9,5%. Dengan spread sekitar 9%-10% sebetulnya BPR itu menyalurkan kredit ke masyarakat seharusnya bisa maksimum 20% per tahun," jabar Ayahandayani.


OJK berharap BPR mampu bersaing dengan layanan jasa keuangan yang lebih canggih lainnya. Mengacu Masterplan Sistem Jasa Keuangan 2015-2019, BPR juga wajib memperkuat infrastruktur dengan mengubah bisnis BPR menjadi digital.

"Digitalisasi standar teknologi dan informasi (TI) minimal [BPR] harus punya core banking system yang terintegrasi dan punya data center dan back up," ujar Ani.

Dalam strategi penguatan itu, BPR juga diminta untuk bekerja sama dengan fintech, provider TI, Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Apex BPR atau LJK lainnya. Dengan begitu, layanan BPR bisa makin cepat dan memiliki delivery channel yang lebih baik.

"Kerja sama dengan fintech boleh, tapi di sisi prudensial jangan diabaikan," katanya.

Selain bersaing dengan fintech, BPR juga harus tahan gempur dengan LJK lain yang menyalurkan pembiayaan ke segmen UMKM diantaranya koperasi simpan pinjam, Lembaga Keuangan Masyarakat (LKM), dan program OJK berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Laku Pandai.

"Program pemerintah untuk KUR di mana suku bunga rendah 7% sekarang beririsan dengan pasarnya BPR," ungkapnya.

Kemudian, BPR juga harus bersaing dengan CSR lembaga pemerintah atau BUMN. Juga bersaing dengan bank umum yang wajib menyalurkan kredit ke sektor UMKM sebesar 20%.

"Saat ini banyak LJK yang menjalankan bisnis jasa keuangannya pada segmen UMKM sehingga BPR harus dapat menaikkan daya saingnya untuk bertahan di segmen ini," imbuh Ani.

Ani menjelaskan sebelum adanya digitalisasi, BPR mengandalkan hubungan baik dan cara pendekatan personal dengan para nasabah. Menurut Ani, hal itu masih dibutuhkan namun tetap harus diimbangi dengan teknologi yang memadai.

Tantangan-tantangan itu membuat OJK harus mendorong BPR memperkuat internalnya. OJK kemudian mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR. Akhir tahun ini BPR yang modal intinya di bawah Rp 3 miliar wajib memiliki modal inti Rp 3 miliar.

Sedangkan BPR yang modal intinya di atas Rp 3 miliar sampai Rp 6 miliar wajib memiliki modal inti Rp 6 miliar paling lambat 31 Desember 2024.

Dengan begitu, BPR harus berkonsolidasi dengan BPR lainnya ketika pemilik tidak segera menyuntikkan tambahan modal. Bila tidak mampu memenuhi ketentuan modal itu maka OJK akan membatasi ruang bisnis dan sebaran BPR tersebut.


(roy/roy) Next Article Ini Reformasi Digital OJK di 2020

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular