Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Sejumlah perusahaan pengelola media sosial asal Amerika Serikat (AS), seperti Twitter Inc, Facebook Inc, dan Snap Inc membekukan sementara (suspensi) akun Presiden AS Donald Trump saat terjadinya kerusuhan gedung parlemen AS, Capitol Hill di Washington D.C.
Unjuk rasa menolak penetapan Presiden terpilih AS Joe Biden oleh Kongres rupanya berlangsung anarkis. Massa pendukung Trump mencoba merangsek masuk ke gedung parlemen dan membuat kericuhan dengan membawa senjata pada Rabu (6/1/2021).
Twitter kemudian menyembunyikan dan mengamanatkan penghapusan tiga cuitan Trump, sebagai akibat dari situasi kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sedang berlangsung di Washington DC setelah pengunjuk rasa pro-Trump menyerbu Capitol.
 Foto: AP/Manuel Balce Ceneta Supporters of President Donald Trump are confronted by U.S. Capitol Police officers outside the Capitol, Wednesday, Jan. 6, 2021 in Washington. (AP Photo/Manuel Balce Ceneta) |
Dalam sebuah tweet pada Rabu, yang kemudian dihapus oleh Twitter, Trump mengatakan bahwa penyerbuan gedung pusat pemerintahan itu adalah respons yang wajar. Dia juga menyalahkan Wakil Presiden Mike Pence karena kurang berani untuk mengejar klaim kecurangan pemilu.
Twitter pun mengunci akun Trump hingga 12 jam setelah dia menghapus tweet dan video Trump yang menuduh pemilihan presiden curang dan mendesak pengunjuk rasa untuk pulang.
Namun, meski tweet Trump tersebut tidak dihapus, tapi akun tersebut akan tetap dikunci.
Platform Facebook dan YouTube milik Google Alphabet juga menghapus video tersebut. Facebook juga memblokir akun Trump agar tidak dapat mengunggah cuitan atau status dalam 24 jam terakhir.
NEXT: Tutup permanen atau sementara?
Menurut para peneliti, retorika kekerasan meningkat secara signifikan dalam 3 minggu terakhir saat kelompok pendukung Trump berencana untuk menggelar aksi unjuk rasa, termasuk para pendukung dari kelompok nasionalis kulit putih dan penggemar teori konspirasi QAnon.
Teori Konspirasi QAnon berpusat pada tuduhan ke Partai Demokrat (pihak Biden) yang menjalankan jaringan pedofil setan dan bahwa Trump dinilai sebagai penyelamat antipedofil.
Meski Twitter dan Facebook bertindak melawan akun utama QAnon tahun lalu, mereka dengan cepat pindah ke platform baru, seperti Parler, dan saluran tertutup, seperti Telegram, di mana aktvitas para loyalis Trump ini lebih sulit dilacak.
Para pemimpin gerakan ini sering memakai kata-kata Trump dalam aksi mereka, termasuk desakan presiden bahwa peristiwa di Washington pada 6 Januari akan menjadi 'liar'.
Menurut firma riset Advance Democracy Inc., komentar selama pendudukan Capitol di situs TheDonald.win, web penggemar, Trump cukup mengerikan, misalnya "WE WANT BLOOD" (kami ingin darah) dan "pembunuhan Pelosi" [Ketua DPR AS Nancy Pelosi].
Ketika pengepungan Capitol meningkat pada Rabu lalu, kelompok hak sipil termasuk The Anti-Defamation League dan Color of Change menyerukan perusahaan media sosial (medsos( untuk menangguhkan akun Trump secara permanen.
Mantan kepala keamanan Facebook Alex Stamos juga men-tweet: "Twitter dan Facebook harus menghentikannya."
Beberapa staf Facebook juga mendukung permintaan agar akun Trump ditutup dan menuntut transparansi dari para eksekutif tentang bagaimana mereka menangani situasi, sebagaimana diungkapkan unggahan internal Facebook yang dilihat oleh Reuters.
Kepala Eksekutif Facebook Mark Zuckerberg kemudian menulis dalam sebuah postingan internal yang dikonfirmasi oleh perusahaan bahwa dia "secara pribadi sedih dengan kekerasan massa ini."
Dia mengatakan Facebook memperlakukan situasi sebagai keadaan darurat dan "menerapkan langkah-langkah tambahan untuk menjaga keamanan orang," tanpa menjelaskan lebih lanjut.