
Fakta di Balik Tudingan Teknologi AS Biang Kerok Gempa Turki

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Teknologi asal Amerika Serikat (AS) dituding jadi biang kerok bencana gempa Turki. Gempa itu diketahui mengguncang sejumlah wilayah dengan kekuatan M 7,8 pada Senin (6/2/2023) waktu setempat.
Teknologi tersebut bernama HAARP atau High-frequency Active Auroral Research Program. Ini merupakan hasil proyek bernama antara angkatan udara dan angkatan laut AS tahun 1993.
Berikutnya HAARP pada 2015 dikendalikan oleh University of Alaska Fairbanks (UAF). Sebuah unggahan di Facebook mengungkapkan tugas dari fasilitas riset HAARP tersebut.
HAARP dilaporkan dapat mengendalikan cuaca di Bumi. Yakni dengan gelombang radio dan menggunakan partikel logam bergetar di atmosfer, dikutip dari Canberra Times, Senin (13/2/2023).
Pesawat akan menyebar partikel di atmosfer. Berikutnya fasilitas tersebut akan mentransmisikan gelombang radio ke partikel, ungkap unggahan tersebut.
HAARP juga telah dikaitkan dengan teori konspirasi karenaa berasal dari proyek militer dan besaran skalanya. Termasuk sejumlah klaim yang menyebut teknologi dapat menyebabkan bencana alam.
Bahkan HAARP menjadi subyek film dokumenter oleh mantan gubernur dan pegulat asal Minnesota, Jesse Ventura. Dia mengatakan proyek tersebut bisa digunakan untuk alat yang dapat mengontrol pikiran.
Teori konspirasi HAARP
![]() Rangkaian antena di fasilitas HAARP, Alaska, Amerika Serikat. |
Namun sejumlah teori tersebut dibantah. Salah satunya para ahli kepada AAP FactCheck menyebutkan tidak ada dampak HAARP pada troposfer atau stratosfer, tempat pesawat terbang dan cuaca terjadi.
Sebaliknya HAARP memiliki fitur utama untuk pemancar frekuensi tinggi. Tujuannya adalah mempelajari ionosfer yang berada di bagian atas dari atmosfer.
Bantahan klaim unggahan Facebook juga disebutkan oleh Profesor Fred Menk yang merupakan ahli ionosfer Bumi dan magneyosfer University of Newcastle. Menurutnya klaim itu omong kosong dan tidak mungkin HAARP berdampak pada cuaca harian.
"Transmisi radio HF (Frekuensi Tinggi) berkaitan dengan interaksi dengan partikel terionisasi - elektron - di ionosfer, di atas ketinggian 100 km. Cuaca di permukaan tanah didorong oleh efek geofisika, sebagian besar pemanasan matahari, ke atmosfer netral yang jauh lebih dekat ke tanah, " katanya dalam email.
"Ada sejumlah besar pemancar HF secara global yang mengarahkan sinyal daya menengah atau tinggi ke ionosfer. Ini digunakan untuk penyiaran radio jarak jauh dan tujuan lain seperti pengawasan (radar) dan memantau keadaan ionosfer."
Dia menjelaskan sebagian besar cuaca terjadi di troposfer dan stratosfer. Ketinggiannya mencapai sekitar 15 kilometer dan ini jauh dari ketinggian minimum ionosfer, ungkapnya.
Sebagai informasi, ionosfer ditemukan pada sejumlah pita bergeser dan akan berubah ukuran bergantung pada berbagai faktor. Untuk band terendah berada pada ketinggian 60-70 km hingga bisa mencapai 500 km.
"Singkatnya, ada celah yang sangat besar antara udara (cuaca yang dapat diamati) dan ionosfer. Stasiun Luar Angkasa Internasional terbang pada ketinggian 400 km, di ionosfer, dan tentunya tidak ada hujan di sana." jelasnya Menk.
(npb) Next Article Teknologi Amerika Dituduh di Balik Gempa Turki, Cek Faktanya!