
Ternyata Begini Rasanya Puasa dan Salat di Luar Angkasa

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Sejak Islam diperkenalkan pada abad ke-6 Masehi, Nabi Muhammad mungkin tidak akan bermimpi jika umatnya akan beribadah di planet lain. Muhammad praktis hanya berpikir umatnya akan hidup di bumi hingga puluhan generasi.
Namun, itu semua berubah ribuan tahun kemudian. Sejak kosmonaut Yuri Gagarin sukses menembus batas antara langit dan luar angkasa pada 1961 dan Neil Amstrong berhasil menginjakkan kaki di bulan delapan tahun kemudian.
Penduduk Bumi pun mulai bermimpi untuk menjelajah luar angkasa. Tidak hanya untuk berkunjung, tetapi juga tinggal dan hidup di planet lain. Umat Muslim di dunia mulai terpikir satu pertanyaan: bagaimana cara beribadah di luar angkasa?
Pernyataan itu memang tidak begitu penting, setidaknya pada saat itu, karena para astronaut kebanyakan non-Muslim. Namun, perkara agama bukan lagi menjadi soal. Sebab, di masa depan bakal ada wacana pembentukan koloni baru di luar angkasa.
Mengacu pada Times Prayer, terdapat 2,1 juta umat Islam di seluruh dunia pada 2023. Jika hari ini terjadi pemindahan manusia ke luar angkasa dan beberapa planet lain, bakal ada 2,1 juta umat manusia yang bakal beribadah di luar angkasa, mulai dari salat hingga puasa.
Kehidupan di luar angkasa berbeda dengan di bumi. Tidak ada gravitasi membuat mereka hidup melayang-layang. Tidak ada matahari terbit dan tenggelam, mengakibatkan hilangnya batasan jelas waktu salat dan puasa. Karena bumi terus bergerak secepat 300 mil per menit, sulit untuk salat menghadap Ka'bah.
Dari tantangan tersebut bagaimana cara mereka beribadah di luar angkasa?
Pada 1985, astronaut NASA asal Arab Saudi, Sultan bin Salman Al Saud, menjadi muslim pertama yang pergi ke luar angkasa. Sebagai Muslim yang taat, Al Saud tidak ingin melepaskan tanggung jawabnya. Lantas dia tetap harus salat dan puasa.
Sayang itu semua sulit dilakukan. Khusus puasa, Al Saud hanya dapat melakukannya di hari pertama saat dia berangkat. Dalam penuturannya di Seven Days in Space (2018), saat hari puasa dia mengaku "merasa lelah karena kondisi gravitasi nol sehingga sulit untuk tidur normal yang nyenyak."
Untuk berbuka puasa pun dia menyesuaikan waktu dari tempat dia meluncur, yakni Florida. Jadi saat Florida sudah magrib, maka dia akan mengikutinya. Setelahnya, dia tidak puasa karena NASA mengharuskannya makan tiga kali sehari supaya kesehatannya terjaga.
Sedangkan ketika salat di pesawat ulang alik Al Saud punya cara khusus, meski agak ribet.
"Saya mengikatkan kedua kaki di tali yang dililit ke lantai pesawat. Tujuannya agar tidak melayang karena gravitasi nol. Lalu saya tidak sujud karena tidak memungkinkan," tulisnya dalam Seven Days in Space (2018)
Al Saud bukan Muslim pertama yang pergi ke luar angkasa dan berupaya beribadah. Pada 2007, astronot Malaysia, Sheikh Muszaphar Shukor, melakukan perjalanan sembilan hari selama bulan suci Ramadan ke Stasiun Luar Angkasa International.
Sebagai Muslim yang taat dia tidak mau meninggalkan kewajibannya. Untuk merealisasikan hal ini Badan Antarika Malaysia harus mengadakan konferensi dengan 150 ilmuwan dan cendekiawan Islam untuk mengurus satu astronot yang ingin beribadah di luar angkasa.
Singkat cerita, konferensi itu menghasilkan satu pedoman. Mengutip Wired, pedoman itu berisi anjuran bahwa: 1) Jika memungkinkan salat dianjurkan menghadap ke Mekkah, tetapi jika tidak mereka boleh menghadap ke Bumi saja; 2) Untuk memutuskan waktu shalat dan berpuasa, mereka harus mengikuti zona waktu dari tempat yang mereka tinggalkan di bumi; 3) Lalu untuk gerakan salat para ulama menyatakan harus disesuaikan, bisa kepalanya saja yang gerak. Terpenting adalah esensi pengucapan doa.
Jadi kesimpulannya, jika umat Muslim tinggal di luar angkasa lalu hidup di planet lain, maka tetap bisa menjalankan ibadah. Meski saat berdiam di Mars, misalkan, gerakan rotasi planetnya berbeda tetap saja mereka harus berpatokan di Bumi. Ibadahnya harus menghadap ke bumi. Begitu pula saat menjalankan puasa.Â
Karena Islam, pada dasarnya, tidak pernah mempersulit pengikutnya untuk beribadah.
(mfa)
