²©²ÊÍøÕ¾

RI Kecanduan Parah, Harus Ada Tindakan Sebelum Terlambat

Novina Putri Bestari, ²©²ÊÍøÕ¾
21 June 2024 08:20
Ilustrasi warga menggunakan aplikasi sosial media di Kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa, (19/7/2022). (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi warga menggunakan aplikasi sosial media di Kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa, (19/7/2022). (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Indonesia adalah negara yang paling kecanduan internet, terutama media sosial yang dinilai sudah mengancam kesehatan mental. Pakar di RI sepakat bahwa bahaya media sosial terhadap anak dan remaja harus disikapi lebih serius oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, seperti yang mulai terjadi di Amerika Serikat.

Dalam State of Mobile 2024 yang dirilis oleh Data.AI warga Indonesia menjadi pengguna yang paling lama menghabiskan waktu dengan perangkat mobile seperti HP dan tablet pada 2023, yaitu 6,05 jam setiap hari.

Warga RI adalah satu-satunya masyarakat yang menghabiskan waktu di HP lebih dari 6 jam tiap hari. Pada posisi kedua, warga Thailand hanya menghabiskan 5,64 jam per hari. Argentina ada di posisi ketiga yaitu 5,33 jam per hari.

Dalam beberapa waktu terakhir, banyak pihak yang mengatakan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Twitter X berdampak buruk pada penggunanya. Mulai dari menyebabkan kecanduan, bahkan ada yang menghubungkannya dengan kesehatan mental pengguna.

Atas dasar itu, Kepala Asosiasi Dokter Amerika Serikat (Surgeon General) Vivek Murthy mengusulkan adanya pencantuman label pada media sosial. Ini sama seperti label berbahaya pada rokok, yang juga disematkan oleh surgeon general.

Dalam artikel opini di surat kabar New York Times, Vivek mengatakan pelabelan itu perlu dilakukan karena berdasarkan data memang media sosial berbahaya pada kesehatan mental anak saat tumbuh dewasa.

Menurutnya label memang tak cukup untuk mengatasi masalah kesehatan anak dan remaja dengan penggunaan media sosial. Namun merujuk pada label rokok, ini bisa menciptakan kesadaran dan perubahan perilaku pengguna.

Dia juga mendorong Kongres AS bisa menerbitkan aturan kewajiban untuk mencantumkan label bahaya di media sosial.

"Ini waktunya untuk kewajiban pencantuman label peringatan surgeon general di platform media sosial, menyatakan bahwa media sosial berdampak pada ancaman kesehatan mental di anak dan remaja," kata Murthy seperti dikutip oleh Reuters.

Ditanya soal usulan ini, Pengamat Budaya & Komunikasi Digital UI, Firman Kurniawan mengatakan bahwa strategi label patut untuk ditinjau. Dia setuju perlu memperingatkan adanya bahaya yang ditimbulkan dari media sosial.

"Mungkin pencantuman logo sebagai produk berbahaya pada rokok dan hendak ditiru persis sama pada media sosial, perlu ditinjau strateginya," ujarnya kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Kamis (20/6/2024).

"Namun memperingatkan bahaya penggunaan berlebih maupun tanpa memahami konsekuensi yang ditimbulkan media sosial, sangat perlu," imbuhnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar tak setuju dengan pemberian label bahaya. Memang ada dampak buruk, namun di sisi lain media sosial juga memberikan banyak peluang bagi para pengguna.

Wahyudi mengatakan model yang digunakan bisa dengan membuat rating, seperti yang diterapkan pada tontonan TV atau film. Beberapa platform juga telah berusaha menyediakan fitur atau aplikasi untuk membatasi konten berbahaya diakses oleh anak-anak.

"Sebenarnya model seperti itu pada beberapa platform sudah mengembangkan. ada youtube kids, sebenarnya kesesuaian pengguna di dalam mengakses konten. Bukan kemudian justru memberikan label bahaya terhadap konten-konten media sosial," jelas Wahyudi.

Cara Menghindari Bahaya Pengguna Medsos

Firman menjelaskan media sosial memang menimbulkan beberapa dampak. Misalnya kecanduan karena kenyamanan yang diberikan media sosial pada penggunanya secara terus menerus.

Penggunaan yang intensif ini juga menyebabkan kedangkalan berpikir. Yakni adanya sistem biner yang lazim di media digital.

"Wujudnya sebagai sikap: Benar-salah, kawan-musuh, didukung-dimaki, adalah bentuk bentuk perilaku yang tak disadari para pengguna intensif media sosial. Seluruhnya ini mendorong munculnya masyarakat tanpa konteks. Menilai peristiwa tanpa membedakan variasi ruang dan waktunya," jelas Firman.

Wahyudi juga mengatakan memang banyak dampak buruk. Termasuk kondisi adiktif, kesehatan mental, terorisme, hingga terkait pornografi.

Namun itu semua tergantung pada pengguna sendiri. Selain juga mengajak platform untuk bisa terlibat aktif dalam penguatan literasi digital pada para pengguna.

"Artinya memiliki kapasitas dan kemampuan kritis untuk memilih konten-konten apa saja bagi media sosial," kata Wahyudi.


(dem/dem) Next Article Anak Kecanduan Instagram, Keluarga Ini Minta Ganti Rugi Rp 80 Triliun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular