
Diet Puasa Intermiten Jadi Sorotan, Studi Terbaru Picu Debat Panas

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Intermittent Fasting atau merupakan salah satu metode diet yang paling populer saat ini. Metode ini dilakukan dengan cara mengatur jendela makan menjadi hanya 8 jam dalam satu hari atau bahkan 3 jam.
Metode lainnya adalah dengan berpuasa selama 2 atau 3 hari dalam periode satu pekan. Meskipun dipercayai efektif menurunkan berat badan, apakah benar metode diet ini sehat bagi orang yang melakukannya?
Penelitian paling awal yang dilakukan pada 2019 telah menunjukkan pembatasan waktu makan memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam tinjauan penelitian yang dilakukan pada hewan dan manusia itu, manfaat dari membatasi asupan kalori per hari dianggap memberikan umur panjang, penurunan tekanan darah dan penurunan berat badan.
Akan tetapi, beberapa penelitian itu diragukan karena dilakukan kepada tikus dan manusia serta durasi yang relatif lebih singkat, yaitu hanya beberapa bulan.
Penelitian lain yang diterbitkan pada April 2022 mengamati 139 orang dewasa di China yang melakukan Intermittent Fasting selama 1 tahun. Hasilnya tidak ditemukan manfaat pembatasan kalori untuk menurunkan berat badan atau meningkatkan kesehatan jantung.
Penelitian Terbaru Picu Debat
Penelitian terbaru mengenai Intermittent Fasting telah dipublikasikan pekan ini. Hasil penelitian itu memuat keraguan dan kritik dari para ahli mengenai pola diet ini. Para ahli menyatakan makan dalam jangka waktu 8 jam atau kurang secara signifikan dikaitkan dengan 91% peningkatan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular, jika dibandingkan dengan makan lebih dari 12 hingga 16 jam.
Abstrak dari penelitian tersebut (yang belum ditinjau atau dipublikasikan) dipresentasikan pada Senin kemarin di Chicago dalam konferensi American Heart Association.
"Kami terkejut menemukan bahwa orang yang mengikuti jadwal makan selama 8 jam dan dibatasi waktu lebih besar kemungkinannya meninggal karena penyakit kardiovaskular," kata penulis studi senior Victor Wenze Zhong, seorang profesor dan ketua departemen epidemiologi dan biostatistik di Fakultas Kedokteran Universitas Shanghai Jiao Tong di China, dikutip dari CNNÂ International, Sabtu (23/3/2024).
"Temuan penelitian kami mendorong pendekatan yang lebih hati-hati dan personal terhadap rekomendasi diet, memastikan bahwa rekomendasi tersebut selaras dengan status kesehatan individu dan bukti ilmiah terbaru," kata Zhong dalam sebuah pernyataan.
Masih dikutip dari CNN International, studi baru ini menganalisis data 20.000 orang yang menjawab pertanyaan tentang kebiasaan makan 24 jam mereka dalam dua hari selama tahun pertama. Penelitian kemudian melihat kembali catatan kematian pada tahun-tahun berikutnya.
Analisis tersebut menunjukkan adanya hubungan antara jendela makan delapan jam dan kematian akibat penyakit kardiovaskular, namun penelitian tersebut tidak dapat menentukan apakah pola makan ini menyebabkan kematian, kata para penulis.
Banyak ahli menyatakan keprihatinannya tentang penelitian baru ini.
"Ringkasan konferensi cukup untuk menimbulkan keraguan besar apakah penelitian ini dapat menunjukkan apa yang ingin ditunjukkan," kata Kevin McConway, profesor emeritus statistik terapan di The Open University di Inggris, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
"Para peneliti mengklasifikasikan orang ke dalam pola makan yang berbeda berdasarkan apa dan kapan mereka makan hanya dalam dua hari, selama periode penelitian rata-rata 8 tahun," kata McConway dalam sebuah pernyataan. "Menghubungkan pola-pola tersebut dengan intervensi makan jangka panjang yang dibatasi waktu tampaknya jauh melampaui data."
Jadi Apakah Puasa Intermiten Itu Baik?
Seperti banyak penelitian dalam sains, penelitian dapat memperoleh hasil yang bertentangan, sering kali bergantung pada kualitas penelitian dan apakah semua penelitian mengukur hal yang sama dengan cara yang sama.
Dalam hal puasa, para ahli mengatakan bahwa banyak penelitian yang bisa dilakukan, ada yang mempelajari puasa selama dua hari atau lebih dalam seminggu, ada yang mempelajari puasa antara jam 8 pagi dan 4 sore, dan yang lainnya dari siang hingga jam 8 malam. atau waktu lain.
"Menurut saya, datanya tidak terlalu meyakinkan untuk puasa intermiten. Sulit untuk mempelajari dan mempublikasikan dengan hasil yang bersih," kata peneliti nutrisi Christopher Gardner.
Gardner melanjutkan penerapan jendela makan bisa menimbulkan kerugian bila tidak dilakukan secara hati-hati. Dia menilai orang-orang menjadi terlalu fokus kepada jendela makan dan menganggap bisa makan apa saja selama masih pada periode 'buka puasa' itu.
"Saya khawatir orang-orang berkata, 'Itu jendelanya, jadi saya bisa pesan es krim atau kue, atau apa pun, karena yang paling penting adalah jendelanya'," kata dia.
(dce) Next Article Alasan Ilmiah Kenapa Makin Tua Makin Susah Turun Berat Badan